Kamis, 05 Januari 2012

Studi Qur'an

PERSOALAN NASIKH MANSUKH
DALAM AL-QUR’AN [1]
Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I


                A.            Pendahuluan

Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain Al-Hadist dalam menetapan hukum Islam. Sebagai Huda li An-Naas, Al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’ yang tidak terlepas dari aspek sosiocultural masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau tidak turunnya Al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu.
Dalam kerangka itu, untuk menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa Al-Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
Al-Nasakh Wa Al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang termaktub dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak. dengan demikian betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwasanya wahyu Allah di turunkan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad SAW. Pengangsuran ini sesuai dengan peristiwa dan kejadian waktu itu. Dengan memperhatikan marhalah-marhalah yang beriringan tentang turunnya ayat-ayat makkiyah dan madaniyah, nyatalah bahwa kita memerlukan suatu ilmu yang menyoroti langkah-langkah itu dan menolong kita dalam meneliti satu persatunya dengan serapi mungkin. Nasikh Mansukh merupakan ilmu yang dapat dipandang sebagai suatu cara pengangsuran dalam turunnya wahyu tersebut.[2]
Jika kita menganalisa firman Allah swt :
 xsùr& tbr㍭/ytFtƒ tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã ÎŽöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmŠÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZŽÏWŸ2 ÇÑËÈ      
Artinya:
“Seandainya (Al-Qur’an ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak.” (QS 4:82).

Ayat Al-Qur’an tersebut di atas merupakan prinsip yang di yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh.       
Dalam perkembangannya, sebagai salah satu tema dalam Ulumul Qur’an, kajian Nasakh Mansukh telah menjadi perdebatan diantara para ulama, perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidak adanya ayat-ayat Mansukh (dihapus) dalam Al-Qur’an, perdebatan ini berotasi dalam permasalahan kontradiksi antara ayat-ayat Al-Qur’an dari segi lahiriyahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa di antara ayat-ayat tersebut, ada yang tidak bisa dikompromikan. Merekalah yang kemudian menerima teori nasikh (penghapusan) dalam Al-Qur’an. Begitupun sebaliknya bagi sebagian ulama berpendapat bahwa semua ayat-ayat Al-Qur’an bisa dikompromikan, dan merekalah yang tidak mengakui teori penghapusan itu.[3]
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulma’ tentang adanya teori nashk-mansukh ternyata teori tersebut telah berkembang dalam masyarakat Islam, bahkan mendapat dukungan dari kebanyakan Ulama’ (Jumhur Ulama’). Dengan demikian adanya teori naskh-mansukh dalam Al-Qur’an seperti yang telah diakui oleh Jumhur Ulama’ menunjukan bahwa dalam Al-Qur’an senantiasa terjadi perubahan orientasi penetapan hukum.[4]
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam perannya terhadap penetapan hukum Syara’ bagi ummat Islam.


                 B.            Pembahasan Naskh Mansukh

1.      Pengertian Naskh dan Mansukh
Nasakh-Mansukh Berasal dari kata Naskh. Dari segi etimologi kata ini di pakai dalam beberapa pengertian.
Di dalam Al-Qur’an, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS Al-Baqarah [2] :106, Al-A’raf [7] :154,  Al-hajj [22] :52, dan  Al-Jatsiyyah [45] : 29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.[5]
Lebih spesifiknya, secara lughowi ada empat makna yang sering diungkapkan ulama mengenai istilah Nasikh, yaitu:[6]
a.       Izalah (menghilangkan),
Seperti dalam ayat berikut :
!$tBur $uZù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB 5Aqߧ Ÿwur @cÓÉ<tR HwÎ) #sŒÎ) #Ó©_yJs? s+ø9r& ß`»sÜø¤±9$# þÎû ¾ÏmÏG¨ÏZøBé& ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ムß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÎËÈ
Artinya:
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (QS. Al-Hajj : 52)

Selain itu juga dalam ungkapan-ungkapan lain seperti, نَسْخَتِ الّشـمْسِ الّظلّ artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang; dan وَ نَسْخَتِ الرِّيْحُ أثَرَ المَشْيِ artinya, angin menghapus jejak perjalanan.[7]

b.      Tabdil (penggantian)
Seperti dalam ayat berikut :
#sŒÎ)ur !$oYø9£t/ Zptƒ#uä šc%x6¨B 7ptƒ#uä   ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ム(#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤ŽtIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçŽsYø.r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÉÊÈ
Artinya:
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui.” (QS. An. Nahl : 101)

c.       Tahwil (pengalihan)
Seperti ungkapan kalimat  تَـنَسَّخُ المَوَارِيث artinya, memalingkan pusaka dari seorang kepada orang lain. Maksudnya adalah pengalihan harta waris dari si A kepada     si B.[8]

d.      Naql (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain)
Seperti dalam perkataan نَسْخَتُ الـْكِتَابَ  artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. Atau semakna dengan kita menukilkan apa yang ada dalam kitab itu, meniru lafal dan tulisannya.[9]
Diantara pengertian etimologinya itu, ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis. Para ulama mendefinisikan Naskh, dengan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dengan pengertian yang sama, dengan :                            “رفع الحكم الشرعي بالخطاب الشرعي” (menghapuskan hukum syara’ dengan khithob syara’ pula) atau   “رفع الحكم بالدليل الشرعي” (menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syarra’ yang lain). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.[10]
Sementara menurut Qurais Shihab antara ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian naskh secara terminologi. Hal itu telihat dari kontroversi yang muncul di antara mereka dalam meneapkan adanyya naskh dalam Al-Qur’an.  Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhir sebenarnya hanya terkait pada sudut pandang masing-masing dari segi etimologi kata naskh itu. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti naskh hingga mencakup:
·         Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetpkan kemudian;
·         Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
·         Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
·         Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu.[11]
Berbeda dengan ulama mutaakhirin, mereka justru mempersempit batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara Naskh, mukhashshish, atau muqayyid, dan lain sebagainya sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan adalah ialah kketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya.[12]
Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di pihak lain—dalam perkembangan selanjutnya—Naskh membatasinya hanya pada satu pengertian?.
Kata nasikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan “Allah”, seperti terlihat dalam QS. Al-Baqarah:106, مَا نَـنْسَخْ مِنْ آيَةٍ  ; atau dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya naskh di ketahui, seperti dikatakan: هذه الآية ناسخة الآية كذا (ayat ini menghapus ayat anu...); dan juga dengan “hukum yang menghapuskan” hukum yang lain.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh)  hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh).[13]  
Secara terminologi, Syekh Muhammad Al-Khudhari Beik mendefinisikan naskh sebagai ayat-ayat yang berfungsi membatalkan hukum-hukum tertentu dari nash yang datang terdahulu. Sedangkan mansukh adalah nash-nash yang dibatalkan oleh naskh. [14]

2.      Kriteria ayat-ayat mansukhah[15]
Berikut ini adalah Rukun dan syarat naskh: [16]
a.       Rukun Naskh
·         Adat Naskh, adalah pernytaan yang menunjukan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
·         Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada, pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena dialah yang membuat hukum dan dia pulalah yang menghapusnya.
·         Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
·         Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
a.       Syarat Naskh
·         Yang dibatalkan adalah hukum syayra’.
·         Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
·         Pembantalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
·         Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian dari khithab yang hukumnya mansukh.
Dengan demikian ada dua wilayah yang tidak menerima nasakh, yaitu:
a.       Seluruh khabar/akqidah baik dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah. Sebab pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah mustahil membuat kebohongan.
b.      Hukum-hukum yang disyari’atkan secara abadi.[17]

3.      Dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh
Menurut Manna’ Al-Qaththan ada tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain atau mansuk (dihapus). Ketiga dasar itu adalah:
a.       Melalui pentransmisian yang jelas (النقل الصريح) dari nabi atau para sahabatnya, seperti hadist:
 كنت نهيتكم عن زيارة القبور. ألا فزورها. (رواه الحاكم)
 “Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka kini berziarahlah” (Hadis Hakim).
b.      Melalui kesepakatan ummat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
c.       Melalui study sejarah, mana ayat yang lebih belakangan turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun sehingga disebut mansukh.[18]
Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau latar belakang keislaman salah seorang dari pembawaa riwayat.
Dasar hukum penetapan teori naskh dan Mansukh ialah berdasarkan ayat Al-Qur’an :
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ



Artinya :
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah : 106)

Berdasarkan ayat diatas mayoritas ulama menetapkan kemungkinan terjadinya naskh Mansukh dalam Al-Qur’an, sebab jika Allah SWT berkehendak, menghapus ayat-ayatnya yang lalu dan menggantinya dengan ayat-ayat-Nya yang baru tidak ada masalah, karena Dialah yang mewahyukan ayat-ayat Al-Qur’an.[19]
Hal senada juga di ungkapkan oleh Ibnu Nashshar, dalam me-nasakh ayat, kita harus berpegang pada :
a.       Nash yang Sharih[20] dari Rasul.
b.      Keterangan para sahabat, dan
c.       Perlawanan yang tak dapat dipersesuaikan serta dapat diketahui tarikh turunnya ayat-ayat itu.
Dalam masalah naskh kita tidak dapat berpegang kepada pendapat para ahli-ahli tafsir, tidak pula pada ijtihad para mujtahid tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan yang nyata, karena naskh, berarti mengangkat suatu hukum  yang telah tetap dimasa Nabi. Pegangan kita dalam hal ini hanyalah naqal dan sejarah, bukan pendapat dan ijtihad. [21]



4.      Perbedaan pendapat antara ayat Mansukhah, dan Makhshushah[22].
Terdapat perbedaan diametral antara ibnu katsir, Al-Maraghi dan Abu Muslim Al-Ashfahani dalam persoalan naskh. Ibnu Katsir dan Al-Maraghi menetapkan adanya pembatalan hokum dalam Al-Qur’an. Namun, dengan tegas Al-Ashfahani menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak pernah disentuh “pembatalan”. Perbedaan pendapat tersebut terjadi dalam hal pernyataan ketentuan naskh dan takhshish. [23]  

5.      Bentuk-bentuk dan macam-macam naskh-mansukh dalam Al-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasakh dalam Al-Qur’an di bagi menjadi empat macam: [24]
a.       Nasakh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (Qital) pada surat Al-Anfal :65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan spuluh kafir :
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym šúüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øótƒ $Zÿø9r& z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% žw šcqßgs)øÿtƒ ÇÏÎÈ
Artinya:
“Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.[25] (QS. Al-Anfal: 66). 

Ayat ini menurut jumhur ulama di-Naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 surta yang sama :
z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur žcr& öNä3ŠÏù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ öNä3ZÏiB ×#ø9r& (#þqç7Î=øótƒ Èû÷üxÿø9r& ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 3 ª!$#ur yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÏÏÈ
Artinya:
“Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal: 66).  

b.      Naskh Dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-duanya diketahui waktu turunnya, ayat yang dating kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapt dalam surat Al-Baqarah :180:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
 Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[26], (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah : 180)

Ayat ini menurut teori naskh di-Naskh oleh hadist لا وصية لوارث , artinya, tidak ada wasiat bagi ahli waris.

c.       Naskh kully, yaitu menghapus yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya ketentuan iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 :
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[27] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah : 234)

Ayat tersebut di nasakh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 pada surat yang sama :
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB šÆù=yèsù þÎû  ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îƒÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ

Artinya:
 Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS Al-Baqarah : 240 ).

d.      Naskh Juz’iy, yaitu menghapus hukum umu yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat mutlaq dengan hukum yang muqayyad , contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur : 4:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ
Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[28] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(QS. An-Nur : 4)

Ayat tersebut kemudian di-nasakh oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah jika si penuduh suami yang tertuduh. Pada ayat 6 surat yang sama :
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ    

Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An-Nur : 6)

Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh kepada tiga macam, yaitu :[29]
1)      Menaskhkan hukum, tidak tilawah (bacaannya tetap ada)
Contohnya,[30] ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat islam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketanntuan ayat Qital (peperangan). Akan tetapi bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat Al-kafirun : 6 :
ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ
Artinya:
 “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun : 6)

Contoh lainnya adalah ayat tentang mendahulukan sedekah (QS. Al-Mujadalah : 12)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãLäêøyf»tR tAqߧ9$# (#qãBÏds)sù tû÷üt/ ôytƒ óOä31uqøgwU Zps%y|¹ 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ö/ä3©9 ãygôÛr&ur 4 bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊËÈ
Artinya:
Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al-Mujadalah : 12)

Ayat ini di naskh oleh surat yang sama ayat 13:
÷Läêø)xÿô©r&uä br& (#qãBÏds)è? tû÷üt/ ôytƒ óOä31uqøgwU ;M»s%y|¹ 4 øŒÎ*sù óOs9 (#qè=yèøÿs? z>$s?ur ª!$# öNä3øn=tæ (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qßuur 4 ª!$#ur 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÌÈ
Artinya:
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) Karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah Telah memberi Taubat kepadamu Maka Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah : 13)

2)      Menaskhkan tilawah, tidak hukum (hukumnya tetap berlaku)
Contoh kategoi ini  biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan Mansukh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah :
إذَا زَانَا الشَّيْخُ وَ الشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا...
Artinya :
“ Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya…”

Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat ubay bin ka’ab bin abu umamah bin sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaannya Mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
الشَّيْخُ وَ الشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُـمَا البَتَةَ بِمَا قَضَيَا مِنَ الَّلذَّةِ 
Artinya:
“seorang pria tua dan wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina)”

3)      Menaskhkan hukum dan tilawah secara bersamaan.
Ayat-ayat yang terbilang dalam kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya sebuah riwayat Al-Bukhari dan muslim, yaitu hadist ‘Aisyah r.a.
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ القُرآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَهُنَّ فِيْمَا يَقْرَأُ مِنَ القُرْآنِ
Artinya:
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-Qur’an) adalah sepuluh radha’at (isapan susu) yang diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan susu) yang diketahui. Setelah Rasulullah  wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian dari Al-Qur’an.” [31]

Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh ke dalam empat bagian :[32]
1)      Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Pada bagian ini ulama sepakat akan kebolehannya, dan telah terjadi dalam pendanggan mereka yang mengatakan adanya Naskh.

2)      Naskh Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
Naskh ini ada dua macam :
a.       Naskh Qur’an dengan hadist Ahad, Jumhur berpendapat Qur’an tidak boleh di naskh oleh hadist ahad, sebbab Al-Qur’an adalah mutawattir dan menunjukan yakin. Sedangkan hadist ahad adalah dzanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dan yang maznun (diduga).
b.      Naskh Qur’an dengan hadis mutawattir. naskh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifa dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman :
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$#  ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya;
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”(QS. An Najm : 3-4)
Dan firmanNya pula ;
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ .
Artinya :
“Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[33] dan supaya mereka memikirkan,”(QS. An-Nahl : 44)[34]

Akan tetapi, dalam konteks yang berbeda, pada saat itu As-Syafi’i, ahli Dzahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah :
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3...  ÇÊÉÏÈ
Artinya :
“Ayat mana saja[35] yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (QS. Al-Baqarah : 106)
Menurutnya hadist tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-Qur’an.


3)      Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an.
Ini dibolehkan oleh jumhur ulama’, sebagai contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukannya, ketetapan itu di naskh oleh Al-Qur’an dengan firmanNya :
4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ..... ÇÊÍÍÈ

Artinya :
“...Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram...”(QS. Al-Baqarah : 144)

Kewajiban puasa pada hari ‘Asyura yang ditetapkan berdasarkan Sunnah, juga di naskh oleh firman Allah :
`yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( ÇÊÑÎÈ
Artinya:
“...Barangsiapa di antara menyaksikan bulan itu (Ramdhan), Maka hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqarah : 185)


4)      Naskh Sunnah dengan As-Sunnah.
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk :
a.       Naskh mutawatir dengan mutawatir,
b.      Naskh ahad dengan ahad,
c.       Naskh ahad dengan mutawatir,
d.      Naskh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk pertama di bolehkan, sedangkan pada bentuk keempat terjadi konroversial pendapat seperti halnya naskh Qur’an dengan hadist ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapun menaskh ijma’ dengan ijma’, dan qiyas dengan qiyas atau menaskh dengan keduanya, maka pendapat tidak ada dan tidak diperkenankan.[36]
Ibnu salamah dalam kitabnya An-naskh wa al-mansukh mengatakan bahwa golongan yang menetapkan adanya naskh dalam Al-Qur’an telah membagi surat-surat Al-Qur’an kepada beberapa bagian :
a.       43 surat yang tidak ada naskh mansukh
b.      6 surat yang terdapat naskh saja
c.       40 surat terdapat Mansukh saja
d.      31 surat yang terdapat nasikh mansukh.[37]
Akan tetapi dalam kajiannya, para ulama ahli tahqiq dalam memeplajari ayat mansukhah, mereka membatasi ayat-ayat mansukhah dan memperoleh bilangan yang kecil. Hal ini kemudian di kaji lagi oleh ulama-ulama belakangan dan ternyata masih dapat mengurangi jumlah ayat-ayat mansukhakh itu. Seperti As-Sayuthy dalam kitab Al-Itqannya, yang mengatakan bahwa ayat-ayat mansukhakh hanya 21 ayat, akan tetapi yang sebagiannya diperselisihkan pula, kemudian dia mengecualikan ayat isti’zhan dan ayat qismah yaitu surat An-Nur [24] ayat 58 dan surat An-Nisa’ [4] ayat 7. As-Sayuthy menegaskan bahwa ayat ini muhkamah. Maka tinggallah 19 ayat yang mansukhakh menurut As-sayuthy.[38] Bahkan menurut Syah Waliy Allah Al-Dahlawi hanya menemukan sekitar 5 ayat.[39]



6.      Implikasi konsep nask-mansukh dalam Al-Qur’an
a.       Kedudukan naskh
Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul fiqh. Karena itu masalah naskh merupakan technisereterm dengan batasan pengertian yang baku. Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh : apakah ia berfungsi mencabut (raf’) atau menjelaskan (bayan). Ungkapan ini dapat kita kaittkan dengan jenis-jenis naskh yang telah diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih tampak. Tapi bila ditinjau dari segi materinya maka fungsi penjelasannya llebih menonjol. Meski demikian pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu interpretasi hukum.[40]   

b.      Hirarki penggunaan naskh
Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari’at baik Al-Qur’an maupu hadist setiap ketentuan hukum itu harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, agar kepastian hukumnya terjamin. Jika tingkatan interpretasi ini telah ditempuh dan ternyata kontradiksi antar kedua ketentuan hukum itu sudah teratasi. Maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan adanya naskh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan hukum tersebut. Faktor asbab an-nuzul bagi ayat dan asbab al-wrud bagi hadist ada dalam tingkatan ini. Maka setia masalah naskh-mansukh berada apada tinkat akhir dari suatu upaya interpretasi.[41]

c.       Kawasan penggunaan naskh
Sebagaimana beberapa persyaratan naskh Mansukh yang telah kami paparkan sebelumnya, kawasan atau batasan penggunaan naskh ini adalah semata-mata persoalan hukum, hanya menyangkut perintah dan larangan. Namun masalah ini merupakan masalah yang tidak kurang pentingnya untuk disoroti, sejauh manakah jangkauan naskh itu?, apakah semua ketentuan hukum di dalam syari’at ada kemungkinanya terjangkau naskh? Dalam hal ini imam Subki menukil pendapat imam Al-Ghazali bahwa esensi taklif[42]  sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya syaikh Ash-Shobuni mencuplik pendapat jumhur ulama’ bahwa naskh hanyya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena  mustahil Allah berdusta. Begitu pula dengan pendapatnya imam Thabari. [43]


                C.            Hikmah naskh mansukh

Adanya naskh Mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya Al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Proses tadarruj dalam proses penurunan Al-Qur’an misalnya, hal ini merupakan didikan sang Khalik pada bangsa Arab selama 23 tahun. Dalam artian pencapaian kesempurnaan memerlukan proses dan perantara secara rutin. Begitu pula dengan proses penetapan hukum dalam Al-Qur’an yang di atur oleh Allah melalui proses naskh sebagai bukti undang-undang yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual.[44]

Menurut Manna Al-Qaththan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh, yaitu :[45]
a.       Menjaga kemaslahatan hamba
b.      Pengembangan pensyari’atan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
c.       Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
d.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat, sebab apabila ketentuan naskh lebuh berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi penambahan pahala. Sebaliknya jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.    

Sebagai hikmah adanya naskh, Menurut Al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa : “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berada akibbat perbedaan waktu dan tempat sehingga apabila ada satu hukum  yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (karena itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia mmenjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah”.[46]

                D.            Kesimpulan dan Penutup

Dalam sumbangsinya, Hikmah naskh mansukh ini dapat “kita”[47] analogikan dalam berbagai aspek kehidupan (bidang pendidikan misalnya), nilai-nilai pendidikan yang tertuang di dalamnya merupakan sebuah esensial dalam hal bersikap dan mengambil suatu keputusan serta kebijakan aturan-aturan pendidikan yang normatif, inovatif dan kreatif. Ber-tadabbur dalam tela’ah nasikh mansukh dapat melahirkan referensi untuk berinspirasi dan mengokohkan pemikiran dan pendapat akan perlunya suatu proses (step by step) dan adanya perubahan (jika perlu) yang lebih baik berdasarkan hasil evaluasi yang kondusif sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman dan “cuaca” pendidikan di negeri ini, tentunya semua perubahan itu demi terciptanya kemaslahatan dan sebuah kesuksesan, serta dalam rangka mencapai cita-cita nasional.
Nasikh Mansukh merupakan suatu tawaran interpretasi sebelum menentukan suatu kebijakan, hal ini penting dilakukan sebagai sarana pengkristalan keilmuan dan penetapan hukum atau keputusan yang berkaitan dengan berbagai kebijakan pada berbagai aspek kehidupan manusia, begitu pula dalam dunia pendidikan yang benar-benar menjadi lahan subur serta jalan menuju keilmuan. Perubahan demi perubahan yang terjadi dalam kebijakan tentu bukan karena tanpa alasan yang mendasar. Keterkaitan mengenai harapan dan landasan historis dari beberapa problema yang juga hadir beriringan dengan kompleksnya perkembangan zaman dan globalisasi adalah pijaran yang mengandung magnet bagi sebuah sikap pembangunan hukum (kebijakan), namun tidak semua problema yang berbeda harus diselasaikan secara serampangan dan buta terhadap kondisi ataupun kontekstual yang ada. Dengan demikian, tak heran jka berbagai problematika yang hadir pada pembahasan Nasikh  Mansukh ini juga akan serupa dengan sosil-antropologis yang hadir dalam dunia pendidikan kita saat ini, yaitu propaganda yang berlebihan antara satu aktor kebijakan pendidikan dengan aktor yang lainnya, oleh karena itu, solusi konstruktif yang perlu di tanamkan pada pelaksana pendidikan (pengambil kebijakan) adalah sikap pertimbangan kemaslahatan kontekstual serta pengembangan nilai-nilai moralitas-sosial, bukan hanya sibuk bertumpu pada pertahanan analisa yang individualistik.

Demikianlah pembahasan makalah ini, makalah yang telah berusaha menguraikan  persoalan naskh dan mansukh yang cukup kopleks secara uneversal, namun demikian harus dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan acuan dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang baik terkait data yang disajikan maupun konten dari makalah. Dengan demikian (semoga) kita akan memperoleh pemahaman yang holistik terhadap segala bentuk kebutuhan keilmuan yang sedang kita proses secara bersama-sama sebagai bentuk aplikasi Syawwir fi Al-Amr (bermusyawarah dalam persoalan). Akhirnya (tak ada gading yang tak retak) kami sebagai pemakalah juga merasa penyusunan makalah ini masih ada yang perlu di evaluasi (“bila perlu di-naskh-mansukh-kan). oleh karena itu, demi kesempurnaan dan motivasi muthala’ah kami kembali, kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan dari pembaca.
~o0o~

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khudhari Beik, Syekh Muhammad. 1954. Tarikh Tasyri’ Al-Islam.  Mesir : Maktabah Al-Sa’adah.

Al-Qattan, Manna’ Kholil. 2007. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa.

Anwar, Rosihon. 2008. Ulum Al-Qur’an. Bandung : Pustaka setia.

As-Shalih, Shubhi.  1999. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Hasbi, Teungku M. Ash-Shiddieqy, 2010. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum Al-Qur’an), Semarang : Cet III. Pustaka Rizqi Putra.

Hasan, Ahmad. The Early Development of Islamic Yurispundence, Terjemah Agah Ganardi, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup.1984. Bandung : Pustaka.

Musthafa,  Ahmad Al-maraghi. 1946. Tafsir Al-Maraghi Jilid I. Mesir : Al-Halabiy.

Rahmat, Jalaluddin .et. all. 2002. Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Lentera basritama.

Shihab, Umar. 2005. Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an.  Jakarta  : Penamadani.

Shihab, Qurais. 1992. Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Mizan.

Syafi’, Rachmat : Ilmu Ushul Fiqh. 1999. Bandung : Pustaka setia.


[1] Makalah ini disampaikan dalam perkuliahan Studi Al-Qur’an - Teoti dan Metodologi, pada tanggal 11 Okt 2010.    
Kata naskh dan Mansukh sengaja tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia guna menghindari kekaburan maknanya.  
[2] Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum Al-Qur’an), Semarang, Pustaka Rizqi Putra, cet III, 2010, hlm. 137
[3] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung, Pustaka setia, 2008, hlm. 163
[4] Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an, Penamadani, Jakarta, 2005, hlm. 413
[5] Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 143
[6] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an …., hlm. 164
[7] Manna’ kholil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta, Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hlm. 326
[8] Shubhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 338
[9] Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum Al-Qur’an), hlm. 138
[10] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, ....., hlm. 165
[11] Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ….., hlm. 144-147
[12] Jalaluddin Rahmat .et. all, Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an, Lenteraa Basritama, Jakarta, 2002, hlm. 171
[13] Manna’ kholil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,...., hlm. 327
[14] Lihat. Syekh Muhammad Al-Khudhari Beik, Tarikh Tasyri’ Al-Islam, Maktabah Al-Sa’adah, Mesir, 1954, h 23
[15] Ayat-ayat yang termasuk naskh wa al-mannsukh.
[16] Rachmat Syafi’, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka setia, Bandung, 1999, 232
[17] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, ........, hlm. 2008, hlm. 166
[18] Manna’ kholil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,....,  hlm. 330-331
[19] Umar shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an,....., hlm. 441.
[20] Jelas, rinci, atau detil
[21] Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum Al-Qur’an), ......., hlm. 113
[22] Mansukhah berarti ayat-ayat yang termasuk naskh-mansukh, sedangkan Makhshushah adalah ayat-ayat yang termaksud pen-takhshishan.
[23] Takhshish : Mengeluarkan sebahagian (afrad) dari satuan-satuan yang tercakum dalam lafadz ‘amm. Qurais Shihab, op. cit., hlm. 144, lihat perbedaan naskh dan takhshish dalam Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an...., hlm. 167.
[24] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an....., hlm. 172
[25] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa perang itu haruslah untuk membela keyakinan dan mentaati perintah Allah. mereka berperang Hanya semata-mata mempertahankan tradisi Jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah lainnya.

[26] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat Ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
[27] Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
[28] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akil balig dan muslimah.
[29] Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum Al-Qur’an),.…., hlm. 141
[30] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an.,….., hlm. 176


[31] Maksudnya: mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah seeorang diantara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan ini kemudian di Naskh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu kepada seorang ibu, sekarang ini tidak termasuk ke dalam mushaf karena baik bacaannya maupun hukumnya telah di Naskh.      
[32] Manna’ kholil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, ……., hlm. 330-331
[33] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
[34] Dan Naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasannya.
[35] Para Mufassirin berlainan pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
[36] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, op. cit., 2008, hlm. 178
[37] Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum Al-Qur’an), ........, hlm. 146.
[38] Ibid.
[39] Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Yurispundence, Terjemah Agah Ganardi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Pustaka, bandung, 1984, hlm. 123.
[40] Jalaluddin Rahmat.et. all, Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an, ......,  hlm 174
[41] Ibid.
[42] Beban tugas keagamaan
[43] Ibid.
[44] Jalaluddin Rahmat.et. all, Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an.,...., hlm. 176.
[45] Manna’ kholil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, ......., hlm. 339.
[46] Ahmad Musthafa Al-maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid I, hlm. 187.
[47] Mahasiswa dalam konsentrasi dunia ilmu pendidikan Islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar