Kamis, 05 Januari 2012

Politik Pendidikan Nasional


R S B I dan/atau S B I:
 Tawaran Kebijakan Sisdiknas
Dalam Peningkatan Mutu dan Daya Saing Pendidikan

 Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I


A.            Latar Belakang
Urgensi pendidikan sebagai pilar pembangunan bangsa kini tidak pernah diperdebatkan lagi secara diametral. Tiada pro kontra soal ini. Demikian halnya di Indonesia. Namun ketika masuk kedalam ruas yang lebih teknis, akan terjadi tarik ulur. Soal filosofi, konsepsi, penyelenggaraan, pendanaan, dan aspek teknis lainnya mewujudkan isu yang terus aktual untuk menjadi bahan dialektikal. Dengan kata lain pendidikan kita akan ditabrakkan dengan globalisasi. Diskursus pendidikan kontemporer tidak pernah bisa dilepaskan dari isu pembangunan, globalisasi, dan nasionalisme.
Tentu kita menyadari bahwa mulai dari perkembangan awal pendidikan di Indonesia, negara kita memerlukan sumber daya manusia yang berilmu pengetahuan untuk dapat menjadi negara bangsa yang “selamat” dan menjadi “warga global” jika mempunyai warga negara yang berilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan itu adalah kapital yang dikuasai oleh setiap warga negara melalui proses pelembagaan ilmu pengetahuan. Pada masyarakat modern, peran tersebut dilaksanakan oleh pendidikan sebagai institusi kapitalisatoris ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, mutu dari pendidikan akan menentukan seberapa unggul sumber daya manusia suatu negara dalam menguasai ilmu pengetahuan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah pendidikan di Indonesia sudah bermutu untuk mampu menghasilkan manusia yang diperlukan guna menghadapi tantangan global ?
Berkenaan dengan masalah pendidikan, Dr. Rian Nugroho salah seorang konsultan pendidikan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia ini, mulai melakukan penelitiannya tentang pendidikan melalui media massa “Kompas” (2003-2005), hasil penelitiannya tentang masalah pendidikan melahirkan berbaggai isu-iisu pendidikan ke depan, yakni isu utama yang diungkapkan olah pimpinan politik, para ilmuan pendidikan, prektisi pendidikan, dan masyarakat umum adalah rendahnya mutu dari kebijakan pendidikan Indonesia.[1] 
Dari sinilah sebenarnya kita akan menyadari bahwa diperlukannya upaya yang lebih keras dari pihak pemerintah dalam meningkatkan mutu dan kualitas system pendidikan agar hasil pendidikan juga bisa bermutu dan berkualitas, persaingan dunia global tidak bisa  dihindari dengan menutup diri dalam dekapan dan ketebatasan nasional saja, namun bagaimana kita menyikapi globalisasi tersebut dengan suatu sikap yang konsttruktif bagi negeri kita, sehinggga perlu kiranya secara berkesinambungan adanya inovasi pendidikan terkait dengan isu-isu kontemporer yang mulai marak sejak Indonesia masuk dalam daftar pasar bebas untuk kawasan Asia Tenggara (AFTA) sejak 1 Januari 2003. konsep AFTA 2003 ini mengandung pengertian bahwa negara-negara di Asia Tenggara (anggota ASEAN) telah melakukan suatu kesepakatan bersama untuk melaksanakan program pasar bebas ASEAN 2003.[2]
Era globalisasi merupaka suatu kondisi yang memperlihatkan bahwa dunia ini semakin mengecil. Kita mungkin tidak akan bisa lagi menyembunyikan kebobrokan atau keadaan yang buruk dari suatu negara. Dengan demikian peradaban yang universal akan akan membuat kemajuan dan keterbelakangan suatu negara menjadi demikiian transparan. Posisi dan kedaan suatu negara dibandingkan dengan negara lain demikian jelas. Indonesia sebagai bagian dari proses global tentu harus dapat menunjukan komitmennya dalam menghadapi tuntutan tersebut.
Sejak 60 tahun usia kemerdekaan pendidikan Indonesia masih tampak involution, atau “jalan di tempat”, mutu pendidikan Indonesia masih rendah disbanding negara-negara tetangga, walaupun sebagian putra-putri Indonesia menjuarai olimpiade ilmu pengetahuan dunia, namun menurtu Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia masih beradai pada urutan 111 dari 177 negara anggoga PBB.[3]
Kiranya ulasan tersebut memberi analisa tajam pada kita semua kalau hakikatnya pendidikan akan menjadi tulang punggung dan perlu megambil langkah-langkah konkrit dalam menghadapi kecendrungan global tersebut.  Hal ini telah diupayakan pula ulleh pemerintah dalam hal ini adalah Kemendiknas, Sebuah kebijakan peningkatan mutu dan daya saing pendidikan yang ditawarkan pemerintah adalah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau/dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang termaktub dalam UU sisdiknas No 20 tahun 2005 dan PP turunannya. Namun apakah upaya pemerintah dalam kompleksnya kebijakan yang dicanangkan dalam pendidikan itu telah memberi jawaban tentang pertanyaan mutu dan daya saing pendidikan di negeri ini? Atau hanya menjadi konsep yang menjadi momok bagi pengguna kebijakan tersebut?    
     
B.            Gambaran Umum RSBI/SBI
RSBI/SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia berkarakter dan berkualitas Internasional serta lulusannya berdaya saing Internasional. [4]
RSBI atau SBI merupakan kemajuan di dunia pendidikan dengan memperhatikan kualitas pendidikan di mana secara awam ditafsirkan sekolah dengan kualitas lulusan yang mampu menggunakan bahasa inggris khususnya yang sampai saat ini atau bahkan untuk tahun ke depanpun merupakan tolak ukur utama siswa atau seseorang dikatakan mempunyai kemampuan lebih di dunia pendidikan.[5] 
RSBI/SBI dimaksudkan agar mutu pendidikan dapat dimaksimalkan dengan melakukan rintisan sekolah bertaraf internasional dengan menggunakan pengantar bahasa inggris meskipun tidak mengesampingkan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa seseorang dalam merintis arah kehidupan sangat ditentukan oleh kemampuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki, di mana sampai saat ini untuk memasuki sekolah yang lebih tinggi dibutuhkan kemampuan lebih atau bahkan untuk memasuki dunia kerja nantinya diutamakan seseorang yang mempunyai berbagai keahlian dan kemampuan.
Salah satu yang sampai saat ini yang sangat penting adalah kemampuan menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, dalam arti mampu aktif berbahasa inggris. Lebih-lebih diprasyaratkan adanya sertifikat TOEFL yang menjadikan momok bagi sebagian besar lulusan sekolah untuk memasuki dunia kerja. Hal ini tidak mengesampingkan pentingnya kemampuan yang harus dimiliki seseorang seperti Komputer, Bahasa Asing yang lain, dan lain-lain.[6]
Sebagaimana amanat dalam UU Sisdiknas No  20 tahun 2005, bahwasanya “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.[7]  Peluang peningktan mutu ini menjadi daya tarik dan daya saing bagi sebagian sekolah yang dianggap mampu dalam pencapaian taraf internasional baik bagi sekolah jenjang dasar maupun menengah.

C.            Landasan hukum RSBI/SBI
Berikut ini adalah beberapa acuan hukum lahirnya RSBI/SBI terhadap beberapa kebijakan pemerintah:
1.      UUD 1945, pembukaan dan pasal 31.
2.      UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikkan Nasional pasal 50 ayat 3 :
“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”[8]
3.      PP No. 19 Tahun 2005 tantang Standar Nasional Pendidikan pasal 61 ayat 1-2:
“(1) Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan  ekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah  untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. (2) Menteri menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.”[9]

4.      Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI No. 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (12 BAB, 35 Pasal) [10]
5.      PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelanggaraan pendidikan satuann pendidikan bertaraf internasional, pasal 143- pasal 154.

D.            Karakteristik RSBI/SBI
Berikut ini adalah karakteristik yang ada pada proses pembentukan RSBI/SBI [11] :
1.      Menerapkan KTSP yang dikembangkan dari standart isi, standart kompetensi kelulusan dan kompetensi dasar yang diperkaya dengan muatan Internasional.
2.      Menerapkan proses pembelajaran dalam Bahasa Inggris, minimal untuk mata pelajaran MIPA dan Bahasa Inggris.
3.      Mengadopsi buku teks yang dipakai SBI (negara maju).
4.      Menerapkan standar kelulusan yang lebih tinggi dari standar kompetensi lulusan (SKL) yang ada di dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP).
5.      Pendidik dan tenaga kependidikan memenuhi standart kompetensi yang ditentukan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP).
6.      Sarana/prasarana memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP).
7.      Penilaian memenuhi standar nasional dan Internasional.
E.            Visi dan Misi RSBI/SBI
Visi  RSBI/SBI dirancang agar memnuhi tiga indikator, yaitu:
1.      Mencirikan wawasan kebangsaan,
2.      Memberdayakan seluruh potensi kecerdasan (multiple inteligencies)
3.      Meningkatkan daya saing global
Misi RSBI/SBI merupakan jabaran visi SBI yang dirancang untuk dijadikan referensi dalam menyusun/mengembangkan rencana program kegiatan, indikator untuk menuyun misi  ini terangkum pada akronim SMART:
1.      Specific
2.      Measurable (terukur)
3.      Achievable (dapat dicapai)
4.      Realistis
5.      Time Bound (jelas jangkauan waktunya)[12]
F.            Tujuan penyelenggaraan SBI
Tujuan penyelenggaraan SBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki:
a.       Kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota OECD[13] atau negara maju lainnya;
b.      Daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan keunggulan lokal ditingkat internasional;
c.       Kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya;
d.      Kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan;
e.       Kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5 dalam skala internet based test bagi SMA, skor TOEIC 450 bagi SMK), dan/atau bahasa asing lainnya;
f.       Kemampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan hidup;
g.      Kemampuan menggunakan dan mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi secara professional.[14]

G.            Rambu-Rambu Sekolah Bertaraf Internasional
Di Indonesia, standar pendidikan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan (SNP). Dalam PP ini disebutkkan bahwa SNP adalah criteria minimal tentang system pendidikan di seluruh wilayah hukum negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar yang dimaksud meliputi :  standar isi, standar proses, standar kompetisi kelulusan, standar guru dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiyaan, dan standar penilaian pendidikan. Hal ini tentu terkait pula dengan SBI dalam pembahasan kita saat ini, kedelapan standar itu merupakan acuan dasar manajemen pendidikan Dalam penyelenggaraan pendidikan. Beriku ini adalah sajian rambu-rambu standar pendidikan yang dikembangkan menuju standar internasional.[15]

Tabel : Rambu-Rambu SNP RSBI/SBI
No
Dimensi
Deskripsi/ Ciri dominan
1
Standar kompetensi kelulusan
Siap bekerja, mandiri, atau elanjutkan studi secara kompetitif di dalam dan di luar negeri
2
Standar isi
a.       muatan internasional
b.      Muattan local bernilai Internasional
c.       Muatan minimum menurut KTSP
d.      Beban belajar yang up to date
e.       Kalender pendidikan berbasis MBS
3
Standar guru dan tenaga kependidikan
a.       Merujuk pada SNP
b.      kemampuan berbahasa Internasional
c.       Berwawasan kultur internasional
d.      Memiliki akses dari kolaborasi Internasional
e.       Melek teknologi pembelajaran atau ICT
4
Standar proses
a.       Merujuk pada SNP
b.      Transfformasi materi berbahasa Internasional
c.       Pendekatan teknologis
d.      Menggunakan internasional bencmark
e.       Praktik pada lembaga internasional
5
Standar sarana dan prasarana
a.       Sesuai dengan SNP
b.      Akses Internasional
c.       Tekno-informasi atau ICT
d.      Bersifat up to date
e.       Mendukung pembelajaran teori dan praktek
6
Standar pembiyaan
a.       Biaya investasi bertaraf internasional
b.      Biaya personal bertaraf internasional
c.       Biaya operasi bertaraf internasional
d.      Penganggaran berbasis institusi
e.       Akses pembiayaan internasional
7
Standar pengelolaan
a.       Otonomi pengelolaan
b.      Fleksibilitas
c.       Akuntabilitas
d.      Manajemen Partisipatif
e.       Sustainabilitas program
f.       Pengembangan jangka panjang
8
Standar penilaian pendidikan
a.       Merujuk pada SNP
b.      Ujian Internasional
c.       International benchmark dalam evaluasi
d.      Evaluasi komperhensif

H.            Fenomena RSBI/SBI
Secara kuantitas, Sekolah RSBI/SBI ini mulai marak dan seolah mulai berjamur di ladang yang lembab, Berdasarkan catatan Kemendiknas, jumlah sekolah RSBI di Indonesia mencapai 1.110 sekolah. Terdiri dari 997 sekolah negeri dan 113 sekolah swasta. Dari jumlah itu, jumlah SD RSBI tercatat sebanyak 195 sekolah, SMP RSBI sebanyak 299 sekolah, SMA RSBI sebanyak 321 sekolah, dan SMK RSBI sebanyak 295 sekolah.[16] Tentu ini jumlah yang tidak sedikit untuk kalangan Nasional kita, namun tingkat kuantitas RSBI/SBI yang mulai marak ini ternyata hanya menimbulkan berbagai kesimpangan di sana-sini, berbagai opini tentang kecaman kebijakan pemerintah tentang RSBI/SBI ini bagaikan angin ribut di berbagai media informasi.
Sesulit apa pun kendala yang dihadapi, penyediaan layanan pendidikan yang bagus bagi seluruh masyarakat di sekolah-sekolah publik mutlak merupakan tanggung jawab pemerintah. Menggulirkan RSBI/SBI terbukti bukan merupakan solusi tepat dalam pemerataan kualitas pendidikan nasional jika hanya untuk tujuan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah internasional.
Berdasarkan catatan yang diambil oleh Kompas.com[17] dari hasil penelitian Hywel Coleman, peneliti senior bidang pendidikan keguruan di University of Leeds, Inggris, selama kurun waktu 2009-2010, terangkum bahwa pengertian tentang konsep "Pendidikan Bertaraf Internasional" yang selama ini digulirkan oleh pemerintah Indonesia pada RSBI/SBI masih terlalu sempit. Dari beberapa dokumen resmi yang ditemukan, tujuan dari pendidikan tersebut adalah untuk menciptakan lulusan yang mampu "Bersaing Pada Tingkat Internasional".[18]
Hasil penelitian yang telah dibukukan dan diterbitkan oleh British Council Asia Tenggara berjudul Teaching other Subjects through English in Two Asian Nations: Teacher's Response to Globalisation itu tentu sangat relevan dengan perjalanan sekolah-sekolah negeri di Indonesia yang berstatus RSBI/SBI. "Sebenarnya pendidikan internasional bertujuan untuk menciptakan lulusan yang bisa menjadi duta bagi negara, yang dapat memahami dan bekerja sama dengan bangsa lain, yang bisa memainkan peran dalam pembangunan dunia yang damai dan sejahtera. Sayang sekali, SBI yang sudah ada hampir tidak pernah memerhatikan hal-hal ini," kata Hywel dalam penelitiannya itu.[19]
Kontroversi soal RSBI/SBI akhir-akhir ini jelas sekali menunjukkan ketidakmatangan kebijakan yang asal jadi, tanpa assessment dan identifikasi problem yang komprehensif. Akhirnya yang terjadi adalah hanya debat kusir para ahli yang tak berujung, hanya berbuah keputusan atau kebijakan baru yang bisa jadi malah akan membuat operator pendidikan di sekolah menjadi tambah bingung dan limbung. Yang akan merugi tentu saja anak didik dan para orang tua yang tidak sadar sedang dipermainkan sebuah keputusan /kebijakan yang salah bagi masa depan putra-putri mereka.
Sebuah opini dan kasus yang terjadi di Surabaya misalnya, pada dasarnya menggambarkan bahwa terobosan peningkatan dari sekolah bertaraf nasional ke taraf international merupakan program jitu yang dilakukan oleh Kemendiknas. Akan tetapi, dari kelebihan tersebut beberapa pertanyaan muncul. Sudah siapkah tenaga pengajar di sekolah yang sudah menjadi RSBI? Sudah siapkah mayoritas masyarakat Surabaya dengan keberadaan RSBI (Rintisan sekolah bertaraf International)/SBI?
Pertanyaan pertama merupakan tantangan bagi sekolah yang sudah di tunjuk menjadi RSBI. Sekolah tersebut bisa jadi dapat melakukan blunder. Artinya, Meskipun sudah menjadi RSBI tetapi masih menerapkan metode belajar-mengajar yang konvensional. Dibalik tantangan sekolah, ini juga merupakan tantangan bagi para tenaga pengajar (guru) yang berada di sekolah tersebut. Selama ini kecenderungan mengajar yang dilakukan oleh guru hanya sebatas formalitas saja. Dalam menerangkan pelajarannya, belum bisa menggunakan metode billingual (Bahasa asing) dan masih menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, Bahasa Indonesia hanya dipakai ketika dalam mata pelajaran PPKN dan Bahasa Indonesia. Jelas, ini sangat memiriskan dalam kesiapan perubahan status menjadi SBI.
Minimnya fasilitas alat tekhnologi dapat juga menjadi kendala guna benar-benar mewujudkan sekolah yang berstandar international. Di sinilah ketika sekolah sudah di tunjuk menjadi RSBI cenderung untuk menarik biaya yang sangat mahal kepada anak didiknya guna melengkapi fasilitas yang masih belum tersedia.
Dua pertanyaan tersebut begitu penting untuk diajukan kepada seluruh komponen pendidikan yang ada di Surabaya secara khusus dan Indonesia pada umumnya. Hal ini dikarenakan, seakan seperti sudah menjadi sindrom, sekolah-sekolah berlomba-lomba untuk menjadi RSBI dengan tidak melihat kapasitas sekolahnya dan masyarakat sekitarnya. Hal yang sangat dilematis sekali, disaat keinginan untuk meng-internasional-kan sekolah bagi kalangan sekolah, dan keinginan menyekolahkan anak dengan kualitas yang mmemadai justru menumbulkan stigma baru akan adanya Sekolah Bertarif Internasional pula. Inilah yang menjadi acuan pertanyan terhadap kesiapan negeri ini terhadap kebijakan RSBI/SBI yang dirumuskan pemerintah beberapa tahun yang lalu.[20]
   
I.            RSBI/SBI dan Nasionalisasinya
RSBI/SBI terkesan mengalami perubahan dari proses internasionalisasi dari sekolah nasional, sekolah yang mengalami prubahan standarisasi dan kebijakan yang sedikit berbeda dari sekolah konvensiaonal lainnya, tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Amanat UUD 1945 yang mengharapkan pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut andil dalam ketertiban dunia tentu dalam prosesnya akan ditabrakkan dengan berbagai tantangan dunia, UU Sisdiknas No. 20 Tahin 2003 dan peraturan turunannya cukup signifikan untuk meningkatkan mutu dan daya saing pendidikan kita, perkembanagn teknologi dan informasi yang cepat dalam berbagai aspek kehidupan merupakan suatu upaya yang menjembatani masa sekarang dan masa yang akan dating dengan jalann memeperkenalkan pembahararuan-pembaharuan yang cendrung mengejar evisiensi dan efektifitas.
Pembaharuan mengiringi perputaran zaman yang tak henti-hentinya berputar sesuai dengan kurun waktu yang telah ditentukan. Kebutuhan akan  layanan individual terhadap peserta didik dan perbaikan kesempatan belajar bagi mereka telah mejadi pendorong utama timbulnya pembaharuan pendidikan, sehingga lembaga pendidikan harus mampu mengantisipasi perkembangan tersebut dengan terus menerus mengupayakan suatu pogram yang sesuai dengan perkembangan anak, perkembangan zaman, situasi, kondisi, dan kebutuhan peserta didik.[21]
Adalah suatu kenyataan bahwa tata kehidupan lokal dan keragaman daerah-daerah lengkap dengan tradisi, budaya, kebiasaan-kebiasaan, dan ikatan-ikatan social dalam berbagai aspek kehidupan terus akan masuk ke dalam tata kehidupan nasional kemudian masuk kedalam tata kehidupan global atau internasional. Masalahnya adalah bagaimana orang lokal, dan nasional mampu menjadi warga global atau internnasional tanpa tercabut dalam akarnya atau tanpa kehilangan jati dirinya. Menutup diri atau bersikap eksklusif akan ketinggalan zaman, membuka diri beresiko kehilangan jati diri atau kepribadian.[22]
Inilah fenomena global yang menjadi tantangan bagi negara Indonesia, pembenahan yang harus dilakukan adalah mempertahankan nasionalisasi pendidikan pada RSBI/SBI, inilah yang mungkn jarang tersentuh oleh perhatian kita, diskursus ini seolah menempatkan isu-isu penndidikan ditengah belantara globalisasi. Pendidikan secara factual berkontribusi signifikan bagi implementasi agenda globalisasi, yang mensyaratkan liberalisasi. Ditengah-tengah pusaran globalisasi, pendidkan harus dikelola secara strategis. Dengan latar prespektif inilah Indonesia layak mengafirmasikan diskursus nasionalisasi pendidkan. Nasionalisasi pendidikan mengandung dua dimensi, pertama, internalisasi nilai-nilai lokal (nasional) dalam penyelenggaraan pendidikan (Terutama filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara), kedua mengarus-utama-kan nasionalisme dalam politik pendidkan. [23]
Mungkin yang perlu kita renungkan adalah, dengan filosofi pendidkan nasional yang kokoh, kita tidak mudah goyah tiap ganti  pejabat ganti kebijakan, Terombang ambing dalam percaturan masyarakat besar dunia (global village). RSBI/SBI yang sebenarnya merupakan ruang gerak terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing yang sebenarnya akan membawa dampak negatif, di antaranya; meningkatkan kesenjanggan baru antara lembaga pendidikan, dalam manajemen dan proses pendidikan, serta akses pendidikan, memudarnya nilai-nilai ke-Indonesia-an dan membabibutanya kosmopolitismme yang justru merugikan bangsa dan negara, dan melemahnya kelembagaan system pendidikan nasionalnya. Untuk membendung semua itu strategi alternatifyang diperlukan adalah; Pertama mengintensifkan kebijakan pendidikan yang sudah ada tentang RSBI/SBI, lembaga pendidikan tersebut dapat menghadirkan tenaga-tenaga pendidikan asing dengan proporsi tertentu, dalam rangka alih kualitas (Transfer of Quality), Kedua mengirim sebanyak-banyaknya SDM potensial untuk mengenyam pendidikan di luar negeri dengan dana publik dan kemudian mereka ditarik kembali untuk memajukan Indonesia. Bangsa harus mendapat manfaat dari generasi terbaiknya. Disinilah kemudian peran politik pendidikan yang tidak  pernah bisa diambil secra parsial, berdiri sendiri, apalagi berhadapan dengan arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan.[24]
Salah satu upaya yang sedang up to date untuk memelihara nasionalitas (Pemakalah: bahkan moralitas) RSBI/SBI adalah sebagaimana yang telah diuslkan oleh Direktur Pendidikan YTPS NU Khadijah Surabaya, Prof Surahmat mengatakan :
Data dari Dirjen PMPTK dan Mandikdasmen Kemendiknas itu merupakan masukan bagus untuk pengembangan format baru RSBI ke depan. RSBI/SBI tidak harus selalu diasosiasikan dengan kebarat-baratan. Untuk itu kita mencoba mencari format baru yang sesuai kultur Indonesia khususnya kultur Islam ahlussunnah wal jamaah, ”

Dengan model manajemen modern dan nilai-nilai keislaman ahlussunnah wal jamaah, Surahmat berharap bisa mencetak generasi bangsa yang tidak tercerabut dari akarnya,[25] terlebih negara kita yang memang sangat kental dengan nilai keislamannya.
     
J.            Kesimpulan dan Penutup
Pada dasarnya kebijakan pemerintah tentang RSBI/SBI yang dituangkan dalam bentuk UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 dan Peraturan Turunannya merupakan salah satu upaya pemerintah (baca: Kemendiknas) untuk meningkatkan mutu dan daya saing pendidikan nasional yang tentu akan terkait dengan pertimbangan perkembangan zaman globalisasi dan modernisasi yang harus dihadapi dengan berbagai konsekuensinya.
RSBI/SBI dimaksudkan agar mutu pendidikan dapat dimaksimalkan dengan melakukan rintisan sekolah bertaraf internasional dengan menggunakan pengantar bahasa inggris meskipun tidak mengesampingkan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional.  
Namun seiring dengan perjalannan dan aplikasinya ternyata Kebijakan yang ada itu seolah merupakan langkah kesewenang-wenangan pemerintah dalam menerjemahkan Pasal 50ayat 3 UU No20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 61 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional yang memberikan legal imperative kepada otoritas pendidikan daerah untuk membangun paling tidak sebuah SBI di daerah masing-masing, tanpa melalui sebuah assessment memadai. Seperti tradisi sebelumnya dalam dunia pendidikan kita, ketika berganti pejabat kebijakan pun berganti, problem RSBI pun mengalami hal yang sama, yaitu adanya keinginan dari Mendiknas baru untuk mengevaluasi secara ketat-untuk tidak mengatakannya akan dihapuskan-program SBI sampai ditemukan model pengambangan yang ideal. Akhirnya yang terjadi adalah hanya debat kusir para ahli yang tak berujung, hanya berbuah keputusan atau kebijakan baru yang bisa jadi malah akan membuat operator pendidikan di sekolah menjadi tambah bingung dan limbung. Yang akan merugi tentu saja anak didik dan para orang tua yang tidak sadar sedang dipermainkan sebuah keputusan /kebijakan yang salah bagi masa depan putra-putri mereka.
Berbagai kesimpangsiuran dalam aplikasi RSBI/SBI-pun kian berjamur di ladang lembab bumi pertiwi, berbagai kecaman angin ribut dalam berbagai opini yang dipostingkan oleh masyarakat bahkan pakar pendidikan-pun terus menhiasi media massa, seolah tidak ada habisnya tuntutan terhadap kebijakan pemerintah terutama terkait dengan RSBI/SBI ini, problem yang paling akut dalam (bisa dikatakan Sindrum) RSBI/SBI ini adalah (lagi-lagi) masalah “dompetinternasional dan “dompetnasional bahkan lokal, statemen yang muncul kemudian adalah korelasi antara taraf Internasional dan tarif  Internasional. solusi untuk hal ini menurut M. Nuh (Bapak Mendiknas) :
“Kalau penyebab siswa putus sekolah adalah Ekonomi, solusinya tentu dengan Ekonominya juga”[26] 

Namun itu hanyalah gerbang awal masalah RSBI/SBI, ketika masuk kedalamnya dan mengorek esensial penyelenggaraan lainnya akan ditemukan banyaknya ketidak-konsistensi-an penerapan konsep dengan realitanya. Itu memeng hal biasa yang terjadi pada kebijakan pendidikan negeri kita. Namun bukan berarti kita harus terus berteriak pada aktor dalam UU sisdiknas tersebut, karena suatu kebijakan bukan untuk diteriaki tapi lebih normatif untuk dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan pengawasan yang tegas dan bertanggung jawab (akuntability). Inilah yang belum menjamuri individual masyarakat kita. 
Bagi kami, kebijakan pemerintah tentang RSBI/SBI ini sudah cukup mapan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing pendidikan nasional, namun kemapanan konsep itu akan “pincang” jika tanpa pendukung yang memadai, dan memang salah satu tantangan bagi pemerintah adalah ketiadaan pendukung tersebut. Sejak awal harus disadari bahwa pemberian perubahan dan pembaharuan dalam pendidikan tidaklah mudah apalagi kalau sudah menyangkut status dan kemartabatan. Sudah nyata salah namun seringkali karena menyangkut harga diri akan sulit untuk menerimanya. Itulah sebabnya kompleksitas pembaharuan pendidikan yang harus dihadapi Indonesia adalah menyangkut sistem, financial, bahkan menyangkut psikologi : A Change has no constituency[27] (biasanya perubahan iitu tidak akan banyak pendukungnya).
Terlepas dari kemelut sudut pandang dan respon terhadap kebijakan RSBI/SBI, Hal yang tidak kalah urgenisitasnya dalam proses dan penyelenggaraan RSBI/SBI adalah ke-otentik-an nilai nasionalisasinya sendiri, sebab membangun sekolah di wilayah hukum Indonesia sama saja dengan upaya membangun pendidikan Indonesia, dan pendidikan Indonesia tentunya tidak bisa dilepaskan Dari filsafat pendidikan nasionalisnya. Hal ini diharapkan agar pendidikan Indonesia menjadi kokoh, dan tidak mudah goyah walaupun berganti-ganti pejabat (juga berganti kebijakan), bukan memulai dari nilai globalisasi, namun mencapai globalisasi lewat berpegang teguh pada lokalitas bangsa. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara Jepang dan India, memegang teguh lokalitas dan kini telah memberikan bukti kepada masyarakat global. Lantas bagaimana dengan negara kita?
Demikianlah pembahasan kami tentang RSBI/SBI sebagai sebuah tawaran kebijakan pemerintah dalam meningkatkan mutu dan daya saing pendidikan di negeri kita ini. Bagaimana menyikapi kebijakan tersebut, dan bagaimanakah mutu dan kualitas pendidikan kita saat ini? Tentu jawabannya sudah ada di benak pembaca makalah ini. Akhirnya semoga bermanfaat, dan kami berharap sumbangsi ide dan kritik konstruktif pada uraian kami yang masih tampak cacat di sana-sini.
Wallahu A’lam


 








DAFTAR PUSTAKA

Chan, Sam. M, Tuti T. Sam, 2007, Analisa SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta, Rajawali Press.
Danim, Sudarwim dan suparno, 2009, Manajemen Kepemimpinan dan Transformasional kekepalasekolahan: visi  dan Strategi Sukses Era Teknologi Situasi Kritis, dan Internasionalisasi Pendidikan,  Jakarta, PT. Rineka Cipta.
Mastuh, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sisdiknas Dalam Abad 21 (The New Mind Set of Nation Education in the 21 Contury), Yogyyakarta, Safiria Insan Press.
Nugroho, Rianto, 2008, Pendidkan Indonesia: Harapan, visi, Dan Strategi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Permen Diknas RI No. 78 tahun 2009 tentang  Penyelenggaraan  SBI Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Sa’ud, Udin Saefudin, 2008, Inovasi Pendidikan, Bandung, Alfabet.
Suprianto, Eko, dkk, 2009, Inovasi Pendidikan: Isu-Isu Baru Ppembelajaran, Manajemen, dan Sistem Pendidikan di Indonesia, Surakarta, Muhammadiyyah University Press, Cet V.
UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, 2006, Bandung : CV. Tamita Utama.
Wiyono, Teguh, 2010, Rekontruksi Pendidikan Indonesia selamatkan Pendidikan Kita Dan Kembali Ke Pendidikan Asli Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Harian Kompas.
www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/berita/637
www.edukasi.kompas.com/read/2010/06/03/14322174/.htm
www.sunan-ampel.ac.id-.htm
www.edu-media.org/sbi.php.htm
www.mandikdasmen.depdiknas.go.id-forum-viewtopic.phpid77.htm




[1]  Rianto Nugroho, Pendidkan Indonesia: Harapan, visi, Dan Strategi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 26
[2] Sam. M Chan, Tuti T. Sam, Analisa SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta, Rajawali Press, 2007, hlm. 141
[3] Rianto Nugroho, Pendidkan Indonesia: Harapan, visi, Dan Strategi, …hlm. 28
[4] www.edu-media.org/sbi.php.htm
[5] www.mandikdasmen.depdiknas.go.id-forum-viewtopic.phpid77.htm
[6] Ibid.
[7] Pasal 50 (3) UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bandung : CV. Tamita Utama, 2006.
[8] UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bandung : CV. Tamita Utama, 2006.
[9] Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
[10] Permendiknas ini lebih detil terhadap penyelenggaraan SBI secara kompleks antara lain: I. Ketantuan Umum, II. Standar Penyelenggaraan, III. Peserta Didik, IV Kultur Sekolah, V. Kewenangan Penyalenggara, VI. Perizinan Penyelenggara, VII. Pengendalian Penyelenggara, VIII. Pengawasan, IX. Pelaporan dan Tindak lanjut, X. Sanksi, XI. Ketentuan Peralihan, dan XII. Ketentuan Penutup.  lebih jelasnya bisa dilihat sendiri di www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/berita/637
[11] Lih. di  www.edu-media.org/sbi.php.htm
[12] Ibid.
[13] OECD (Organisation for Economic Co-Operation and Development)  yang selanjutnya disingkat OECD adalah organisasi internasional yang tujuannya membantu pemerintahan negara anggotanya untuk menghadapi tantangan globalisasi ekonomi. (Lih. Permen Diknas RI No. 78 tahun 2009 tentang  Penyelenggaraan  SBI Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (pasal 1ayat 7))
[14] Permen Diknas RI No. 78 tahun 2009 tentang  Penyelenggaraan  SBI Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (pasal 2) lih. www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/berita/637
[15] Sudarwim Danim dan suparno, Manajemen Kepemimpinan dan Transformasional kekepalasekolahan: visi  dan Strategi Sukses Era Teknologi Situasi Kritis, dan Internasionalisasi Pendidikan,  Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2009, hlm. 187-188
[16] Kutipan dari rangkaian paparan Dharmaningtias (Kompas,30/08/2010)
[17] Harian Kompas (Kompas.com) kami jadikan acuan karena selain eksistensi terbitannya yang kurang lebih 600.000 per terbit, juga merupakan Harian yang tidak memiliki pesaing yang memadai dalam menentukan arah opini publik. 
[18] www.edukasi.kompas.com/read/2010/06/03/14322174/.htm
[19] Ibid.
[20] Kasus ini merupakan Ilustraasi singkat dari realita RSBI/SBI yang terjadi di Kota Surabaya, Opini Rofiki Putra, Peneliti Muda di Lembaga Persemaian Kepemimpinan dan Pemikiran, Nusantara Centre Jakarta. Pada 28/10/2010, di www.edukasi.kompasiana.com/2010/10/24/dilema/sindrom/rsbi/.htm
Ini hanya sebagian kecil dari sekian kompleksnya angin ribut di media massa tentang kontroversial kebijakan dan realita RSBI/SBI (baik yang amatiran maupun yang tidak), lebih lengkapnya ke Search Engine dan Browsing Internet, atau Media Massa lainnya.  
[21] Udin Saefudin Sa’ud, Inovasi Pendidikan, Bandung, Alfabet, 2008, hlm.2
[22] Mastuh, Menata Ulang Pemikiran Sisdiknas Dalam Abad 21 (The New Mind Set of Nation Education in the 21 Contury), Yogyyakarta, Safiria Insan Press, 2003, hlm 126
[23] Teguh wiyono, Rekontruksi Pendidikan Indonesia selamatkan Pendidikan Kita Dan Kembali Ke Pendidikan Asli Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm.11
[24] Ibid. Hlm 13-14
[25] Data dari hasil Work Shop tentang Prospek RSBI/SBI yang digelar oleh Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial (YTPS) Nahdlatul Ulama (NU) Khadijah di Graha Residen Surabaya, Senin (4/10/2010). Lih. di www.sunan-ampel.ac.id-.htm
[26] Dikutip dari Haraian Kompas / Halaman Pendidikan, Edisi 30/09/2010
[27] Eko Suprianto, dkk, Inovasi Pendidikan: Isu-Isu Baru Ppembelajaran, Manajemen, dan Sistem Pendidikan di Indonesia, Surakarta, Muhammadiyyah University Press, Cet V, 2009, hlm. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar