Kamis, 05 Januari 2012

Analisa Kebijakan Pendidikan Islam

A K R E D I T A S I :
ANTARA ANCAMAN DAN ANJURAN BAGI MUTU PENDIDIKAN
(Analisa Peningkatan Mutu dan Kualitas Pendidikan Islam/Madrasah)

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I


A.            Pendahuluan
Sebagai salah satu pranata sosial yang sangat penting, pendidikan telah berupaya mencerdaskan bangsa guna maraih kehidupan masyarakat yang maju, demokratis, mandiri dan sejahtera. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
Pembaharuan pendidikan dilakukan terus-menerus agar mampu menghadapi berbagai tantangan sesuai dengan perkembangan zamannya. Pada era reformasi dan demokrasi pendidikan ini, tantangan yang dihadapi oleh system pendidikan nasional kita adalah terkait dengan pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan.[1] 
Penyelenggaraan akreditasi sebagai salah satu kegiatan peningkatan mutu di bidang pendidikan, pada hakikatnya adalah agar penyelanggaraan pendidikan dapat mencapai standar kualitas yang ditetapkan dan pada gilirannya peserta didik dapat mencapai keberhasilan baik dalam penguasaan ilmu, keterampilan maupun dalam pembentukan keperibadian. Disamping itu penyelenggaraan akreditasi diupayakan sesui dengan paradigma baru dalam penyelenggaraan akreditasi sekolah/madrasah dan madrasah, di antaranya adalah tidak lagi membedakan antara lembaga negeri dengan swasta, serta mendayagunakan keterlibatan masyarakat dengan menjunjung prinsip keterbukaan dan akuntabilitas, sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang  no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dituntut untuk selalu berupaya meningkatkan kualitas dalam penyelenggaraan pendidikan, hingga dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, mampu bersaing serta mampu menghadapi tantangan zaman. Oleh karena itu penyelenggaraan akreditasi madrasah, sebagai upaya pengendalian mutu, baik melalui sistem penilaian hasil belajar, penerapan kurikulum, sarana, tenaga kependidikan terutama bagi pengaturan sistem belajar mengajar.[2]
Seiring dengan sarana peningkatan mutu ini (akreditasi), sistem pendidikan (dalam hal ini pelaksana akreditasi) seharusnya — bisa dikatakan— menjadi  “dewan juri” yang konstruktif bagi para peserta (Sekolah/madrasah) dalam ajang kompetensi akreditasi ini, namun bagaimanakah hasilnya selama ini? Apakah mutu pendidikan bisa dijamin dengan suksesnya proses akreditasi saja? atau justru akreditasi masih perlu diakreditasi terlebih dahulu agar mendapat perhatian yang serius dari lausnya masalah-masalah pendidikan negeri ini, sehingga tidak menjadi bumerang bagi ketidak kredibel-an dan ketidak komperhensif-an  sistem akreditasi itu sendiri. Disamping itu apakah akreditasi hanya menjadi informasi di atas kertas cantik yang tidak bersesuaian dengan kondisi obyaktif lapangan? Atau kemungkinan lain adalah akan terjadi daya saing antara lembaga pendidikan dalam memajukan mutu lembaganya masing-masing (seirama dengan mutu pendidikan), transparansi mutu dan kualitas sebuah lembaga pendidikan akan “terukir terang” dalam berbagai simbolik nilai hasil penilaian akreditasi yang kemudian menyertai nama lembaga pendidikan tersebut bahkan akan ditulis besar di papan nama sekolah/madrasah, tentu hal yang sangat konstruktif sekali jika persaingan kompetensi yang transparansi ini (baca: akreditasi) menjadi anjuran bagi lembaga pendidikan, namun tidak menutup kemungkinan juga mejadi ancaman bagi sebagian lembaga pendidikan yang skornya masih rendah dan (bisa saja) masih terpaksa menuliskan nilainya di sebelah nama sekolah/madrasahnya itu, lantas akan adakah pertimbangan lain dari Lembaga Pendidikan yang sedang “haus” akan pengembangan pendidikan namun masih “kering” Kuantitas dan berpotensi tinggi kualitasnya?

B.            Pengertian Akreditasi sekolah/madrasah
Undang-undang sistem pendidikan nasional No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diriya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Akreditasi didefinisikan sebagai suatu proses penilaian kualitas dengan menggunakan kriteria baku mutu yang ditetapkan dan bersifat terbuka.
Akreditasi sekolah/madrasah adalah kegiatan penilaian (asesmen) sekolah/madrasah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi diri dan evaluasi eksternal (visitasi) untuk menentukan kelayakan dan kinerja sekolah/madrasah.[3]
Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 29 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional sekolah/madrasah menyebutkan bahwa yang dimaksud Akreditasi sekolah/madrasah adalah suatu kegiatan penilaian kelayakan suatu sekolah/madrasah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh BAN-S/M yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan.[4]
Dalam melaksanakan akreditasi, BAN-S/M dibantu oleh Badan Akreditasi Propinsi yang dibentuk oleh Gubernur. BAN-S/M melaksanakan akreditasi terhadap program dan / atau satuan pendidikan jalur formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.[5]
Pengertian lain mengenai akreditasi adalah  sebuah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan dan / atau program pendidikan, yang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Di dalam proses akreditasi, sebuah sekolah/madrasah dievaluasi dalam kaitannya dengan arah dan tujuannya, serta didasarkan kepada keseluruhan kondisi sekolah/madrasah sebagai institusi belajar. Akreditasi merupakan alat regulasi (self-regulated) agar sekolah/madrasah mengenal kekuatan dan kelemahan serta melakukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kekuatan dan memperbaiki kelemahannya.
Dalam konteks akreditasi madrasah, dapat diberikan pengertian sebagai suatu proses penilaian kualitas madrasah, baik madrasah negeri maupun madrasah swasta dengan menggunakan kriteria baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga akreditasi.[6]

C.             Landasan Hukum Akreditasi              
Bagian penting dari terwujudnya standar nasional pendidikan maka pemerintah melakukan akreditasi pada lembaga pendidikan yang dalam  pembahasan ini diarahkan pada akreditasi sekolah/madrasah dan madrasah.
Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab XVI pasal 60 tentang akreditasi dijelaskan bahwa :

  1. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
  2. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
  3. Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
  4. Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.[7]

Akreditasi sekolah/madrasah mengacu pada praturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab XIII tentang Akreditasi yang memuat pasal:
Pasal 86
1.      Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pedidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan.
2.      kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat pula dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh pemerintah untuk melakukan akreditasi.
3.      akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 sebagai bentuk akuntabilitas kepada publik dilakukan secara obyaktif, adil, transparan, dan komperhensif dengan menggunakan instrument dan criteria yang mengacu kepada standar pendidikan.[8] 
Pasal 87
  1. Akreditasi oleh pemerintah sebagaimana di maksud dalam pasal 86 ayat 1 dilaksanakan oleh :
a.       BAN-S/M terhadap program dan/atau satuan pendidikan, pendidikan jalur formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
b.      BAN-PT terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi; dan
c.       BAN-PNF terhadap program dan/atau satuan pendidikan jalur nonformal.   
  1. Dalam melaksanakan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, BAN-S/M dibantu oleh badan akreditasi provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
  2. Badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
  3. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat mandiri.
  4. Ketantuan mengenai badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.[9] 
Pasal 88
  1. Lembaga mandiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 ayat 2 dapat melakukan fungsinya setelah mendapat pengakuan dari Menteri.
  2. Untuk memperoleh pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 lembaga mandiri wajib memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya:
a.       berbadan hukum Indonesia yang bersifat nirbala.
b.      Memiliki tenaga ahli yang berpengalaman di bidang evaluasi pendidika.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 diatur dengan peraturan pemerintah.[10]

Sementara belum ada peraturan pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah, Keputusan Mendiknas tentang akreditasi sekolah/madrasah dan Kepmen No. 039/0/2003 tentang Badan Akreditasi sekolah/madrasah Nasional dapat merupakan panduan operasional pelaksanaan akreditasi sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2003. Badan Akreditasi sekolah/madrasah Nasional kemudian menyusul berbagai panduan operasional yang isinya lebih rinci.[11]

D.            Fungsi dan Tujuan Akreditasi Madrasah
Akreditasi madrasah memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
1)      Perlindungan Masyarakat (Qualitiy Assurance)
Maksudnya agar masyarakat memperoleh jaminan tentang kualitas pendidikan madrasah yang akan dipilihnya sehingga terhindar dari adanya praktik yang tidak bertanggung jawab.
2)      Pengendalian Mutu (Qualitiy Control)
Maksudnya agar madrasah mengetahui akan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya sehingga dapat menyusun perencannaan pengembangan secara berkesinambungan.
3)      Pengembangan Mutu (Qualitiy Improvment)
Maksudnya agar madrasah merasa terdorong dan terteantang untuk selalu mengembangkan dan mempertahankan kualitas serta berupaya mengupayakan dari berbaga kekurangan.[12]
Semantara tujuan akreditasi madrasah adalah untuk memperoleh gambaran keadaan dan kinerja madrasah dan untuk menentukan tingkat kelayakan suatu madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan, sebagai dasar yang dapat digunakan sebagai alat pembinaan dan pengembangan, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di madrasah.[13]   

E.            Persyaratan Madrasah yang diakreditasi
Untuk memperoleh pengakuan status dan tingkat kelayakan madrasah melalui akreditasi, sekurang-kurangnya satuan pendidikan madrasah harus telah memenuhi persyaratan sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, yaitu;
  1. Tersedianya komponen penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada satuan pendidikan, yaitu:
a.       Kepala Madrasah
b.      Pendidik dan tenaga kependidikan, terdiri dari sekurang-kurang seorang guru untuk setiap kelas bagi madrasah dan sekolah/madrasah seorang guru untuk masing-masing mata pelajaran bagi MTs dan MA
c.       Siswa, sekurang-kurangnya 10 orang setiap tingkatan
d.      Kurikulum yang diterapkan
e.       Ruang belajar
f.       Buku pelajaran, peralatan dan media pendidikan yang diperlukan
g.      Sumber dana tetap
  1. Penyelenggara pendidikan, baik itu dari pemerintah maupun dari masyrakat. adapun penyelenggaraan pendidikan dari masyarakat. Harus berbentuk yayasan  atau organisasi sosial yang berbadan hukum.
  2. Telah memiliki piagam terdaftar atau izin operasional penyelenggaraan pendidikan madrasah dan sekolah/madrasah dari instansi yang berwenang.[14]
  3. Madrasah Memiliki surat keputusan kelembagaan Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) sekolah/madrasah.[15]

Secara umum pedoman penilaian akreditasi itu meliputi aspek berikut: pertama, dari segi kelembagan meliputi organisasi, sarana dan prasarana, keuangan, dan tenaga pendidikan.  Kedua, dari segi Akademik meliputi kurikulum, guru dan siswa, perpustakaan, dan penyelenggara.[16]

F.            Penilaian /Akreditasi Madrasah
Dari segi lingkup komponen madrasah yang dinilai dalam akreditasi, meliputi penilaian proses belajar mengajar, sumber daya, manejemen, kultur dan lingkungan madrasah. Adapun jabaran dari komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut[17]:

  1. Proses Belajar Mengajar (PBM)
Pengajaran yang dilkukan oleh seorang guru dapat disebut efektif jika sebagian besar siswa menguasai sebagian besar dari materi yang diajarkan. Dalam hal ini, kegiatan pembimbingan akademis terhadap siswa sangat menentukan kemajuan belajar siswa. Oleh sebab itu, kegiatan akreditasi madrasah harus mencakup hal-hal yang berkenaan dengan proses belajar mengajar secara utuh. Dalam komponen proses belajar mengajar ini dijabarkan sub-sub komponen sebagai berikut:
a.       Perencanaan
Perencanaan proses belajar mengajar yang dianggap sangat penting untuk dicermati dalam akreditasi madrasah meliputi:
1)      Kesesuaian perencanaan proses belajar mengajar dengan visi dan misi madrasah.
2)      Dokumen persiapan mengajar dan analisis materi pelajaran.
3)      Penyiapan sumber belajar dan alat peraga.
b.      Pelaksanaan program kulikuler
Pelaksanaan programkulikuler merupakan inti dari proses belajar mengajar yang harus diperhatikan dalam akreditasi madrasah, dalam hal ini meluputi:
1)       Kegiatan siswa.
2)       Kegiatan guru.
3)       Interaksi belajar mengajar.


c.       Pelaksanaan program ekstra kurikuler
Program ekstra kurikuler juga merupakan hal penting yang perlu diperhatikan karena merupakan kegiatan pendukung utama dalam proses belajar mengajar, dalam hal ini meliputi:
1)      Kegiatan siswa.
2)      Kegiatan guru.
3)      Interaksi belajar mengajar.
d.      Hasil
Hasil yang dimaksud disini adalah hasil (outcome) yang dicapai dari proses belajar mengajarang secara garis besar dapat menggambarkan mutu / kualitas dari suatu madrasah, baik itu rendah maupun tinggi. Hal ini meliputi:
1)       Nilai ujian ahir nasional
2)       Nilai ujian ahir madrasah
3)       Prestsi non akademik
4)       Sikap dan kepribadian siswa
5)       Tinggal kelas
e.       Dampak yang dicapai dari proses belajar mengajar.
Yang dimaksud dengan dampak disini adalah akibat yang dicapai dari proses belajar mengajar, diantaranya adalah:
1)       Penerimaan siswa
2)       Keterterimaan dijenjang pendidikan selanjutnya
3)       Dropout (putus sekolah/madrasah)

  1. Sumber daya
Untuk mendukung tujuan pembelajaran agar efektif dan efisien, madrasah membutuhkan ssumber daya yang memadai komponen sumber daya ini kemudian dijabarkan menjadi sub-sub komponen sebagai berikut:


a.       Sarana dan prasarana pendidikan
Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah berupa perlengkapan dan peralatan pendidikan yang dimiliki serta dimanfaatkan dalam mendukung proses belajar mengajar. Dalammhal ini meliputi:
1)       Tanah dan gedung
2)       Ruang (kelas, perpustakaan, laboratorium, dan ruang lainnya)
3)       Peralatan (olah raga, alat peraga, komputer, dan sarana lainnya)
b.      Sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang dimaksud adalah pendidik dan tenaga kependidikan dalam madrasah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mencapai peningkatan mutu madrasah, khususnya kualitas lulusan. Dalam hal ini meliputi:
1)      Kepala sekolah/madrasah
2)      Guru madrasah
3)      Tenaga lainnya
c.       Sumber daya keuangan
Sumber daya keuangan merupakan salah satu tulang punggung penyelenggaraan pendidikan madrasah. Secara khusus yang dicermati disini lebih pada sumber keuangan berasal, serta kreatifitas penggaliannya. Dalam hal ini meliputi:
1)       Swadana
2)       Pemerintah

  1. Manajemen Madrasah
Kemampuan kepala madrasah serta seluruh perangkat dalam menyusun perencanaan, mengkoordinasikan dan mengelola seluruh sumber daya yang tersedia, serta komitmen terhadap pencapaian visi dan misi madrasah, merupakan hal yang amat menentukan bagi keberhasilan dalam menjaga dan meningkatkan mutu madrasah. Hal yang sangat menentukan dalam penilaian adalah ada tidaknya praktek manajemen mutu terhadap seluruh sumber daya pendidikan di madrasah. Komponen manejemen ini kemudian dijabarkan menjadi sub-sub komponen sebagai berikut:
a.       Manajemen sarana dan prasarana
Dalam konteks manajemen sarana dan prasarana yang perlu menjadi perhatian adalah sejauh mana seluruh perlengkapan dan peralatan madrasah berfungsi dengan baik serta telah melalui suatu perencanaan yang terprogram, aksesibilitas dalam proses belajar mengajar, serta administrasinya. Dalam hal ini meliputi:
1.       Perencanaan (adanya tujuan, rencana jangka panjang, dan rencana tahunan).
2.       Pemanfaatan (kelas, ruang guru, laboratorium, perpustakaan, sarana/alat).
3.       Pengendalian (pemantauan penggunaan ruang, kebersihan, perbaikan, perawatan).
b.      Manajemen sumber daya manusia
Dalam kontek manajemen, sumber daya manusia lebih dititik beratkan pada perencanaan rekrotmen, penempatan (match), aktimalisasi tugas dalam jangka waktu tertentu, serta administrasi sumber daya manusia warga sekolah/madrasah. Dalam hal ini meliputi:
1)      Perencanaan SDM (tujuan dan rencana pengembangan, jamgka pendek dan jangka panjang)
2)      Pengorganisasian SDM (penempatan, pengoptimalan tugas dan fungsi, pemerataan beban tugas)
3)      Pengerahan SDM (pembinaan sistemik, mekanisme penghargaan dan sanksi, penegakan aturan)
4)      Pengendalian SDM (panduan monitorin, rekomendasi, dan tindak lanjut)
5)      Implementasi kebijakan (majelis madrasah, pemilihan kepala madrasah KKM dam lainnya)

c.       Manajemen keuangan
Manajemen keuangan adalah suatu  keharusan karena sebagian besar program kegiatan sekolah/madrasah disesuaikan secara administrasii dengan kemampuan keuangan. Yang menjadi penekanan disini adalah perencanaan anggaran, efisiensi penggunaan, administrasi serta peraporan. Dalam hal ini meliputi:
1)      Perencanaan anggaran (tujuan pengembangan, analisis kebutuhan, RAPBM)
2)      Pelaksanaan (aturan penggunaan anggaran, dokumen dana keluar masuk, transparansi)
3)      Laporan dan pertanggungjawaban () mekanisme, penyusunan laporan, dan monitorin.

  1. Kultur dan lingkungan
Kultur dan lingkungan pendidikan yang efektif selalu ditandai dengan suasana dan kebiiasaan kondusif untuk kegiatan belajar baik secara fisik, sosial, mental-psikologis maupun sepiritual selain itu, hal ini juga dapat menunjukan sampai sejauh mana proses belajar mengajar di madrasah dapat membentuk karakter yang diinginkan. Dalam komponen kultur dan lingkungan madrasah ini dijabarkan menjadi sub-sub komponen sebagai berikut:
a.       Suasana keislaman.
Suasana keislaman yang dimaksud adalah sejauh mana sekolah/madrasah telah menjadi bagian dalam pembentukan karakter keislaman terhadap siswa didiknya baik secara fisik maupun dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang bernuansa islami. Dalam hal ini meliputi:
1)      Kondisi fisik yang islami
2)      Kegiatan-kegiatan yang islami


b.      Suasana sosial.
Suasana sosial yang dimaksud adalah berkaitan tentang hubungan sekolah/madrasah dengan masyarakat, lembaga pendidikan lain, serta berkenaan dengan peran serta majelis sekolah/madrasah. Sejauh mana suasana sosial sekolah/madrasah dapat menjadi lingkungan yang kondusif dalam peningkatan mutu kualitas sekolah/madrasah. Dalam hal ini meliputi:
1)      Hubungan sekolah/madrasah dengan masyarakat
2)      Hubungan sekolah/madrasah dengan lembaga pendidikan lain
3)      Peran komite sekolah/madrasah

  1. Bobot dan nilai komponen
Adapun bobot dan nilai komponen meliputi :
1.      Kondisi dan kinerja madrasah yang dinilai dalam kegiatan akreditasi ini meliputi 4 komponen, yaitu : proses belajar mengajar (PMB), Sumber Daya, Manajemen, Kultur dan Lingkungan Madrasah.
2.      Setiap komponen memiliki beberapa sub komponen yang diajukan dalam bentuk kuesioner yang berisi item pertanyaan dan pernyataan. Jumlah kuesioner dalam setiap komponen sekaligus menunjukan bobot komponen tersebut.
3.      Jumlah kuesioner unntuk seluruh komponen sebanyak 100 item, terdiri dari :
a.       Komponen Proses Belajar Mengajar  35 item.
b.      Kompoonen Sumber Daya (Sarana, Ketennagaan, dan keuangan) 25 item.
c.       Komponen Manajemen 23 item.
d.      Komponen Kultur dan Lingkungan Madrasah 17 item.
4.      Setiap item kuesioner terdapat berbagai indikator yang menggambarkan tentang kondisi dan kinerja madrasah.
5.      Angak 1-5 yang tercantum pada setiap indikator merupakan nilai yang diperoleh kuesioner. Jumlah nilai yang dapat diperoleh suatu madrasah minimal 100 dan maksimal 500.
6.      jumlah nilai rata-rata setiap komponen mejadi pertimbangan penetapan status dan kualifikasi akreditasi madrasah.
Untuk lebih jelasnya, bobot dari tiap komponen dapat dilihat pada tabel berikut: [18]

No
Komponen
Bobot (%)
1
Proses Balajar Mengajar
35 %
2
Sumber daya
25 %
3
Manajemen
23 %
4
Kultur & lingkungan Madrasah
17 %
Total
100 %
  

G.            Prinsip-Prinsip dan Rambu-Rambu Akreditasi
Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang perlu dinamkan dalam proses akreditasi :
1.      Objektif
2.      Komprehensif
3.      Adil
4.      Transparan
5.      Akuntabel

Demi terciptanya system akreditasi yang benar-benar sejatinya akreditasi yang diharapkan oleh seluruh pelaksana pendidikan nasional, kami merasa penting untuk memaparkan sikap dan tata tertib/larangan-larangan bagi pelaksana visitas maupun asesor.[19] Karena bagaimanapun suksesnya Akreditasi yang jujur dan adil tergantung dari sikap dan profesionalitas yang terjalin antara visitas dan asesor.
                  1.            Tata Krama Pelaksanaan Visitasi
Pelaksanaan Visitasi mengikuti tata krama sebagai berikut:
a)     Lakukan wawancara dengan suasana yang kondusif;
b)     Hindari kesepakatan atau bargaining yang negatif;
c)     Jangan mendebat argumentasi yang disampaikan oleh nara sumber (responden);
d)    Jangan menggurui nara sumber (responden);
e)     Jangan merasa berkedudukan lebih tinggi;
f)      Bersahabat dan membantu secara professional;
g)     Hindari suasana menekan;
h)     Jangan mengada-ada;
i)       Jangan meminta hal-hal yang tidak diperlukan untuk akreditasi;
j)       Sesuaikan diri dengan budaya setempat;
k)     Tunjukan kekompakan tim.
                  2.            Tata Tertib Pelaksanaan Visitasi
Pelaksanaan Visitasi mengikuti tata tertib sebagai berikut :
a)     Datang ke sekolah/madrasah tepat waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan;
b)     Tunjukkan surat tugas tanpa diminta oleh pihak sekolah/madrasah;
c)     Sampaikan secara jelas mengenai tujuan, mekanisme dan jadwal visitasi;
d)    Tidak diperkenankan untuk menerima pemberian dalam bentuk apapun (uang atau barang);
e)     Agar berpakaian rapih dan sopan.

                  3.            Larangan bagi Asesor
a)     Asesor dilarang keras melakukan intimidasi agar sekolah/madrasah berkeinginan atau memberikan sesuatu dalam bentuk apapun.
b)     Asesor dilarang keras melakukan perjanjian/kesepakatan yang dapat mengakibatkan tidak objektifnya hasil visitasi.
c)     Asesor dilarang keras menerima sesuatu yang akan berdampak atau cenderung mempengaruhi objektifitas hasil visitasi.
d)     Asesor dilarang keras membuka kerahasiaan data/informasi yang diperoleh dan hasil visitasi
                  4.            Larangan bagi sekolah/madrasah
a)     Sekolah/madrasah dilarang keras melakukan kegiatan yang menghambat visitasi.
b)     Sekolah/madrasah dilarang keras memanipulasi data dan memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kondisi nyata sekolah/madrasah.
c)     Sekolah/madrasah dilarang keras memberikan apapun kepada asesor yang akan mengurangi objektifitas hasil visitasi
                  5.            Pembiayaan Visitasi
a)     Besarnya biaya visitasi per sekolah/madrasah ditentukan oleh BAN-S/M.
b)     Komponen pembiayaan antara lain; honor, transportasi dan akomodasi yang memadai dan layak bagi tim asesor.
c)     Sekolah/madrasah yang divisitasi tidak dikenakan dan tidak diperkenankan mengeluarkan dana untuk apapun selama berlangsungnya kegiatan visitasi.



H.            Prosedur dan alur Pelaksanaan Akreditasi Madrasah
1.      Pelaksanaan akreditasi MI dan MTs[20]
 






2.      Pelaksanaan akreditasi MA[21]
 









Sertifikat Akreditasi sekolah/madrasah adalah surat yang menyatakan pengakuan dan penghargaan terhadap sekolah/madrasah atas status dan kelayakan sekolah/madrasah melalui proses pengukuran dan penilaian kinerja sekolah/madrasah terhadap komponen-komponen sekolah/madrasah berdasarkan standar yang ditetapkan BAN-S/M untuk jenjang pendidikan tertentu.[22]
Masa berlaku akreditasi adalah selama 4 tahun, permohonan akreditasi ulang dilakukan 6 bulan sebelum masa berlaku habis. Akreditasi ulang untuk perbaikan diajukan sekurang-kurangnya 2 tahun sejak ditetapkan. Hasil akreditasi sekolah/madrasah dinyatakan dalam peringkat akreditasi sekolah/madrasah. Peringkat akreditasi sekolah/madrasah terdiri atas tiga klasifikasi sebagai berikut yaitu: A (Amat Baik/Unggul), B (baik), C (Cukup).[23] Adapun rincian rincian hasil nilainya adalah sebagai berikut:
a.       Akreditasi A (Amat Baik/Unggul) bagi madrasah yang nilai rata-ratanya antara 451-500.
b.      Akreditasi B (Baik) bagi madrasah yang nilai rata-ratanya antara 401-450.
c.       Akreditasi C (Cukup) bagi madrasah yang nilai rata-ratanya antara 351-400.[24]

I.            Gejolak Mutu Pendidikan Madrasah
Sejauh ini madrasah masih dipandang sebagai lembaga pendidikan yang diminati masyarakat, khususnya masyarakat yang berlatarbelakang religius. Lembaga pendidikan Islam ini diminati oleh masyarakat yang menghendaki para putra-putrinya memperoleh pendidikan agama yang cukup sekaligus pendidikan umum yang memadai. Jika dilihat dari sisi sejarah, eksistensi madrasah memiliki peran yang besar terhadap upaya pencerdasan bangsa. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kini madrasah seolah-olah hanya bagian dari sistem pendidikan nasional yang tak jarang diperlakukan sebagai “anak tiri”.
Kenyataan itu dapat dilihat dari segi minimnya perhatian pemerintah terhadap nasib madrasah. Dalam pengalokasian anggaran misalnya, madrasah dalam naungan Depag hanya dipatok 6,9 triliun, termasuk untuk gaji gurunya, sedangkan anggaran pendidikan di Depdiknas sampai puluhan triliun, dan masih ditambah lagi dengan alokasi dari APBD di daerah-daerah.
Padahal, berdasarkan catatan pemerintah dari segi kuantitas madrasah dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah saat ini hampir mencapai 39 ribu unit. Secara kuantitas, jumlah siswa madrasah dengan berbagai tingkatan tersebut diperkirakan mencapai 500 ribu.
Menurut catatan Departemen Agama (yang sekarang berubah menjadi Kementerian Agama) tahun 2005, bahwa jumlah madrasah aliyah tercatat 3.772 unit, terdiri atas 577 (15,3%) berstatus negeri dan 3.195 (84,7%) berstatus swasta. Jumlah madrasah tsanawiyah di seluruh Indonesia sebanyak 10.792, meliputi 9.624 (89,2%) madrasah swasta dan hanya 49,7% yang baru terakreditasi. Sementara madrasah ibtidaiyah (MI) berjumlah 22.799, meliputi 1.482 (6,5%) negeri dan 21.317 (93,5%) berstatus swasta. Dari keseluruhan MI swasta yang baru terakreditasi 59 buah, sisanya 8.730 (41%) berstatus terdaftar atau belum terdaftar.[25]
Bila dipahami secara mendasar bahwa data di atas menunjukkan kualitas madrasah masih di bawah standar rata-rata. Ini artinya madrasah masih menghadapi persoalan yang perlu mendapat perhatian serius, terutama pemerintah dan praktisi pendidikan.
Dengan mengemban dua tujuan sekaligus (duniawi dan ukhrawi), membuat pelaku manajemen madrasah jauh lebih berat dibandingkan dengan sekolah/madrasah. Sehingga berbicara tentang pemberdayaan mutu madrasah harus dimulai dari manajemennya terlebih dahulu.
Karena selama ini kondisi manajemen madrasah secara umum masih sangat memprihatinkan, baik dari segi kualitas guru, sistem manajemen dan administrasi maupun fasilitas dan dana yang dimilikinya. Kondisi tersebut secara mayoritas lebih banyak dihadapi madrasah swasta lebih besar daripada madrasah negeri, dan secara nasional problem ini menjadi lebih serius, karena sebagian besar madrasah berstatus swasta.
Telah menjadi gejala umum bahwa manajemen dan administrasi madrasah swasta sampai sekarang masih memprihatinkan. Manajemen konvensional misalnya, dengan tiadanya pemisahan yang jelas antara yayasan, pimpinan madrasah, guru dan staf administrasi, serta banyaknya penyelenggaraan administrasi yang tidak sesuai dengan standar membuat madrasah semakin terpuruk, terperangkap konflik dan sebagainya.
Untuk itulah berbicara pemberdayaan madrasah, maka berbicara tentang model-model manajemen yang sesuai dengan nilai-nilai modern. Madrasah dituntut bagaimana menerapkan model kurikulum dan pembelajaran yang efektif, penggunaan media elektronik dan komunikasi yang tepat sasaran, melakukan sistem penilaian dan pengendalian mutu pendidikan, sistem pelatihan dan pengembangan staf (SDM), manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah, sistem pendanaan pendidikan, dan inovasi lain yang relevan.
Madrasah –terutama yang swasta– lembaga yang banyak dikelolah oleh PP Ma’arif Nahdhatul Ulama ini juga telah banyak melakukan upaya dalam peningkatan kualitas dan mutu pendidikan pada madrasah-madrasah yang ada selama ini, madrasah memang harus bisa mengikuti kompetisi kualitas dengan sekolah-sekolah yang lainnya. Salah satu indikator kualitas pendidkan yang dimiliki sekolah/madrasah adalah akreditasi. “Jika sebelumnya belum mendapat akreditasi, jadi dapat. Jika sebelumnya akreditasinya C menjadi B, dan jika akreditasinya sudah B, kita tingkatkan menjadi A,” begitulah ucapan Sekretaris PP Maarif  NU, Dr  Mamat Burhanuddin.[26]
Perubahan sistem akreditasi yang sebelumnya akreditasi madrasah dilakukan oleh Dewan Akreditasi Madrasah (DAM) dan  kini dikelola oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) sekolah/madrasah-Madrasah (SM), tentu menjadikan salah satu penyemangat yang membara pada lembaga Pendidikan Islam ini. Dengan demikian, jika nilai akreditasinya sama, maka kualitas pendidikan antara madrasah dan sekolah/madrasah umum akan sama. Dengan tegas pula Dr  Mamat Burhanuddin mengatakan : “Makanya, kalau ingin madrasahnya memiliki mutu yang baik dan diakui, ya harus diakreditasi dan mendapatkan akreditasi yang baik,”.
Ingat!, dengan akreditasi yang baik saja!, Dengan akreditasi yang baik, madrasah memiliki nilai tambah dibandingkan dengan sekolah/madrasah umum, karena di dalamnya diajarkan materi-materi keagamaan yang cukup pula, sehingga dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan para siswa menuju ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang saat ini.

J.            Nasib Mutu Pendidikan Madrasah Dalam Akreditasi
Ilustrasi tentang Akreditasi tentu sedikit jelas telah memberi informasi adanya upaya yang luar biasa pada kubu pemerintah terhadap peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di negeri kita ini, seiring dengan upaya dan strategi yang positif itu, tentu juga akan mengukir fenomena yang “miring” bagi pihak lain.
Program baru yang sedang berkembang tahun ini pada Pendidikan Madrasah adalah Akreditasi seluruh Madrasah 2011-2014. hal ini dipicu dari hasil evaluasi pemerintah pada tahun 2010 yang akreditasi sepenuhnya belum terselenggarakan pada ratusan bahkan ribuan sekolah/madrasah dan madrasah yang ada di Indonesia, salah satunya adalah yang terjadi pada ribuan sekolah/madrasah dan madrasah di kota pelajar Yogyakarta. Informasi yang kami peroleh dari berbagai  media massa dan elektronik mengatakan hal yang senada, harian Kompas misanya, di akhir tahun 2010 memberitakan hal tersebut[27] :
Tahun 2010, sebanyak 1.226 sekolah/madrasah di DI Yogyakarta batal diakreditasi karena ketiadaan biaya. Dana akreditasi sekolah/madrasah dan madrasah selama satu tahun dari Badan Akreditasi Provinsi sekolah/madrasah dan Madrasah DIY hanya cukup untuk akreditasi sekitar 500 sekolah/madrasah.
”Padahal, setiap tahun ada lebih dari 1.000 sekolah/madrasah mengantre proses akreditasi,” kata Kepala Badan Akreditasi Provinsi sekolah/madrasah dan Madrasah (BAP SM) DI Yogyakarta Suhadi usai pemberian sertifikat akreditasi pada sekolah/madrasah se-DIY, Rabu (29/12).
Konsekuensi ketiadaan biaya itu, jumlah sekolah/madrasah yang menunggu diakreditasi menumpuk.
Menurut Suhadi, proses akreditasi membutuhkan biaya sekitar Rp 4 juta untuk satu sekolah/madrasah. Biaya itu dilarang diminta dari sekolah/madrasah dan harus dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Secara rinci, biaya tahun ini hanya cukup untuk proses akreditasi 526 sekolah/madrasah, terdiri 50 TK/RA (raudatul anfal), 255 SD/MI, 66 SMP/MTs, dan 90 program keahlian SMK. Sertifikat akreditasi berlaku lima tahun
Solusi
Solusi sementara, BAP SM DIY memperpanjang akreditasi sejumlah sekolah/madrasah. Tahun ini, sebanyak 1.226 sekolah/madrasah itulah yang diperpanjang akreditasinya.
Artinya, sekolah/madrasah yang harus diakreditasi 2011 setidaknya 1.800 sekolah/madrasah. Itu terdiri atas sekolah/madrasah yang belum diakreditasi tahun ini dan sekolah/madrasah yang masa berlaku akreditasinya habis tahun depan. ”Bisa tidaknya semua terakreditasi sangat bergantung biaya. Kalau biaya cukup, kami yakin mampu,” ujar Suhadi.


Ilustrasi tersebut di atas tak ubahnya menjadi problema tahunan bagi BAN S/M dari tahun ke tahun, dana menjadi kendala gagalnya proses akreditasi, sebagaimana juga yang telah dialami oleh BAN S/M tahun 2009 di DIY.[28] Tentu sangat tegas kalau biaya dan system pelaksanaan masih menjadi problematika utama dalam proses Akreditasi yang dilaksanakan oleh BAN/BAP S/M ini.
Problema pendanaan tersebut ternyata sudah diwaspadai oleh Kepala Badan Akreditasi Provinsi Sekolah dan Madrasah (BAP SM) DI Yogyakarta sejak sejak tahun 2009 beliau mengatakan :
“Namun dari 1.008 sekolah/madrasah tersebut ternyata dana dari APBN didukung APBD tujuh persen hanya cukup untuk biaya akreditasi 600 sekolah/madrasah saja. Total dana untuk akreditasi 600 sekolah/madrasah tersebut mencapai Rp 1 miliar termasuk untuk dana operasional,”[29]

Sedangkan untuk memfasilitasi sekolah/madrasah yang belum terakreditasi tersebut, Suhadi mengusulkan kepada DPRD DIY untuk menambah dana alokasi akreditasi bagi sekolah/madrasah itu menjadi Rp 2 miliar pada tahun depan. Terlebih pada 2010, semestinya 1.500 sekolah/madrasah di DIY ini sudah harus diakreditasi.

Saat ini dana selalu menjadi problem utama dalam pendidikan Indonesia, Menteri Agama Suryadharma Ali mengaku prihatin terhadap realisasi anggaran kementerian yang dipimpinnya karena hingga 5 Agustus 2010 baru mampu menyerap sebesar 36 persen dari total anggaran Rp 30 triliun. Sehingga Madrasah yang ingin mencapai akreditasi memuaskan, secara serentak dengan berbagai pertimbangan untuk pengakuuan serta penyetaraan statusnya sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang juga memberi sumbangsi penting dalam pengembangan negeri ini, berbagai upaya yang dilakukan oleh Kemenag dan Kemendiknas, salah satunya (karena problem utamanya adalah dana) adalah kerjasama dengan LSM Australia, LAPIS (Learning Assistance Program for Islamic Schools) untuk merampungkan proses akreditasi madrasah. Hingga tahun 2010 baru 25 persen dari seluruh madrasah yang berjumlah lebih dari 40 ribuan madrasah, diharapkan pada tahun 2014 semua sudah terakreditasi.[30]
 Begitu rumitnya pencapaian mutu dan kualitas ini, terlebih pada madrasah yang masih memerlukan pembenahan administrasi dan manajemen yang lebih. Sebenarnya upaya pemerintah harus mempertimbangkan lost and benefit-nya secara matang dan tegas, sebenarnya pemerintah adalah bisa saja menjadi korban yang teraniyaya akibat akreditasi ini, khususnya akreditasi yang menghabiskan banyak finansial namun tidak memberikan sumbangsi terbalik bagi pengembangan pendidikan (tanpa adanya efek sama sekali).
Maka tak heran jika penyimpangan sesekali mengahantui proses akreditasi ini, entah dari pihak Asessor ataupun sasaran visitasinya sendiri, sebagaimana beberapa temuan yang kami peroleh di wilayah Kab. Brebes, misalnya. Temuan Kasus Akreditasi, Sertifikat akreditasi salah dalam penulisan, antara lain; salah menuliskan nama sekolah/madrasah dan salah menuliskan nilai termasuk status atau predikat Tim asesor salah alamat mendatangi visitasi. Ada sekolah/madrasah yang memberikan amplop/suap atau tip kepada tim asesor bahkan yang menyambut dengan berlebihan yaitu pakai group drum/marching band sekolah/madrasah sampai pada penjamuan rumah makan yang terpilih sehingga kegiatan asesor tidak terfokus, ada juga yang melaksanakan visitasi 1 hari dari jam 09.00 mulai selesai sebelum dhuhur.[31]
Temuan atau kasus seperti tersebut di atas, bisakah menjadi indikasi mutu penilaian visitasi untuk akreditasi sekolah/madrasah dipertanyakan keobyektifannya, Apalagi mutu pendidikan di Indonesia mungkinkah? secepat kilat bisa berubah baik. Budaya sekolah/madrasah memberi jenis pelayanan yang lebih bahkan pemberian tip mengarah pada suap kepada asesor dalam visitasi akreditasi ke sekolah/madrasah, dan asesor termasuk yang kurang tegas sehingga malah arogan permintaannya jelas ini semua merupakan pertanda buruk dunia pendidikan kita, serta tidak bisa menjadi jaminan ke depan mutu pendidikan kita naik secara signifikan. Sikap mental dan perilaku, tabiat Sumber Daya Manusia Indonesia masih selalu butuh pencerahan dan penyegaran ke arah keadilan, kebenaran, ketegasan, kedisiplinan, ketekunan, keuletan, kebersamaan, dan kejayaan.
Selain itu, bagaimana dengan pertimbangan analisa mutu dan kualitasnya, institusi pendidikan tentu akan berperan sebagai pemberi jasa, sehingga bisa dikatakan setiap institusi memiliki pelanggan yang bermacam-macam. Jika tujuan mutu adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan, maka hal penting yang perlu diperjelas adalah kebutuhan dan keinginan siapa yang harus terpenuhi?
Istilah pelanggan dalam dunia pendidikan tentu akan terkesan komersial, biasanya akan diperhalus dengan istilah klien atau yang lebih tepat adalah pelajar atau murid. Namun masalahnya bukan pada istila-istilah itu, akan tetapi bagaimanakah fokus perhatian lembaga pendidikan pada keinginan para pelanggan dan mengembangkan mekanisme yang untuk merespon mereka, sehingga sifat jasa yang diberikan lemaga pada pelanggannnya menjadi hal yang sangat penting. Disinilah kemudian akan lahir bentuk pemasaran semu, dan yang paling baik adalah pemasaran yang dipilih oleh para pelajar untuk kepentinggan mereka masing-masing. Satu hal yang perlu diingat adalah kesuksesan pelajar (bisa dikatakan pendidikan) adalah kesuksesan lembaga/institusi pendidikannya.
Jika kita kembali pada akreditasi dan meninjau peran “pelanggan[32]” tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan besar, seberapa besar jaminan mutu pendidikan yang dinilai di atas kertas oleh tim assesor baik secara lokal maupun nasional? Akan terjadi kesulitan dalam mempertemukan kebutuhan pelanggan yang bervariasi dalam satu wadah dan dalam prosesnya akan ada konflik yang potensial dan aktual. Pelajar/pelanggan akan mencari keadilan pula. Mutu dan keadilan harus berjalan seiring.
Inilah yang kemudian memaksa institusi mempertemukan kebutuhan pelajar dan mekanisme dana, dan sebagian institusi pendidkan merasa kesulitan untuk mendahulukan pelajar. Penekanan efisiensi mutu  melalui mekanisme dana inilah yang menjadi penyebab utama, sementara penilaian menurut mekanisme dana tidak selamanya sesuai dengan umpan balik mutu yang diharapkan pelanggan. Ini merupakan isu-isu yang cukup sulit untuk dipecahkan dan TQM tidak memberi jawaban yang siap pakai untuk hal itu.[33] Yang penting bagi TQM adalah fokus terhadap pelajar.
Hal ini (akreditasi)—tidak berlebihan untuk dikatakan ancaman— bagi lembaga yang teragreditasi tinggi atau justru menjadi anjuran meraka dalam pertimbangan mutu dan kualitasnya. Dan ancaman yang tidak kalah menantang juga terjadi pada lembaga yang nilai akreditasinya (nilai mutunya) rendah (terlebih yang belum terakreditasi) akan manjadi “tawar menawar” kualitas bahkan penggadaian jaminan mutu demi akreditasi, karena “konsumen” akan menentukan pilihannya di pasar pendidikan negeri ini yang secara transparansi dan reformasi. 
           
K.            Kesimpulan dan Penutup
Penyelenggaraan akreditasi madrasah merupakan kebutuhan bersama, baik pemerintah, masyarakat, maupun bagi lembaga pendidkan itu sendiri. Bagi pemerintah penyelanggaraan akreditasi memiliki arti yang penting, walau secara kuantitas jumlah madrasah sangat banyak dan tersebar hingga pelosok daerah; mengingat sebagian besar madrasah adalah inisiatif masyarakat secara swadaya, namun demikian keterbatasan sumber daya keuangan dan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan akreditasi madrasah merupakan masalah yang tentu membatasi jumlah madrasah yang dapat diakreditasi setiap tahunnya.    
Menurut sigkat penulis, akreditasi bisa saja menjadi bumerang kecil bagi pihak pengelola pendidikan yang ada jika dalam meningkatkan mutu kualitas madrasah secara yuridis hukum menjadi ajang konflik internal bahkan eksternal dalam mencapai target kuantitas dari pelanggan bukan kualitasnya dan melalaikkan kepuasan terselubung atas mutualisme yang terjadi dalam transaksi nilai pendidikan di madrasah, tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa akreditasi sekolah/madrasah dapat bersudut pada marketable yang bermuara pada financial education yang mendapat “surplus” adalah yang laris di pasaran pendidikan, dan yang “defisit” adalah yang sepi pelanggan, akankah persaingan semacam (dianggap ancaman dan anjuran) ini terus berlangsung? Jawabannya adalah ya, persainggan dalam dunia pendidikan memang harus terjadi secara positif, dan jika kita ingin mengetahui  mutu atau tidaknya suatu madrasaah kita harus terpaksa bisa menilai otu put dan out come, toh walaupun itu bukan jaminan pasti.
Namun jika kita keluar dari problematika finansial pendidikan tentu kita bisa mencoba dan mempelajari kembali TQM yang bisa menjadi pertimbangan mutu pendidikan nasional yang masih duduk di gerbong 111 dari sekiang negara di dunia ini, serta mulai mengaktualisasikan sikap-sikap kebenaran dan menjunjung semua tata tertib yang menjadi tanggungjawab masing-masing pelaksana akreditasi demi tercapainya kualitas dan mutu pendidikan yang diharapkan sesuai dengan pembukaan UUD 1945. dengan tidak adanya diskriminasi dan penyelewengan yang bersifat politis ataupun akademis yang berlebihan tanpa mengetahui standarisasi pendidikan nasional secara utuh. Jika hal itu bisa tercapai, minimal  kesetaraan pendidikan antara sekolah umum dan madrasah, tidak menutup kemungkinan bisa imbang dalam kapasitas status dan pengakuan public tentang akuntabilitasnya dan profesionalitasnya. Walau bagaimanapun pendidikan di Idonesia terutama madrasah memang sangat memerlukan hal tersebut (baca: akreditasi), selain harapan minimum berupa kesetaraan status di mata publik  dengan sekolah umum lainnya.
Pendidikan Islam / madrasah  yang mengandung keungglan komparatif, seharusnya sudah saatnya bisa menanggulagi berbagai masalah yang dialaminya, menurut Abudin Nata, penyebab utama keterbelakangan Islam dalam berbagai aspek adalah karena keterbelakangan dalam bidang pendidikan.[34] Sehingga tak heran jika normatif filosofis Islam selalu ditabrakkan dengan masalah-masalah yang kompleks dalam dunia pendidikannya, yang saat ini di Indonesia menjelma-wadah dalam suatu lembaga penndidikan (madrasah).
Demikianlah uraian dari makalah kami ini, semoga bisa memberi manfaat bagi pembaca. Menurut kami, konsep akreditasi yang begitu kompleks dan tidak bisa kami paparkan secara detil, sudah bisa dikatakan merupakan konsep yang bisa bersaing dengan sistem evaluasi yang dikembangkan oleh  “International Organization for Standardization Technical Committee (ISO/TC) dengan sistem penilaian ISO 9000 yang merupakan kumpulan standar untuk sistem manajemen mutu (SMM), namun itu mungkin hanya sebatas konsep dan fungsi/tugasnya, berbeda dengan rekontruksi konsep yang masih memerlukan pembenahan secara  berkesinambungan agar tidak ada yang dirugikan satu sama lain sehingga persaingan mutu bukan menjadi ancaman yang menakutkan bagi sebuah lembaga pendidikan, terutama madrasah. Dan karena keterbatasa segala halnya, tentu uluran kritik dan saran yang konstruktif dapat dimuntahkan sebagai kajian dan tela’ah kami kedepan. 



 
























DAFTAR PUSTAKA


- Buku-buku
Departemen Agama RI, Pedoman Akreditasi Madrasah, Jakarta: direktorat jendral kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2005.
Departemen Agama RI, UU dan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2006.
Hidayat, Ara, Imam machali, 2010, Pengeloolaan Pendidikan, Bandung: Pustaka Educa.
Mastuhu, , 1999, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Mulyono, 2008,  Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Nata, Abudin, 2008, Manajemen Pendidikan : Mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonesa, edisi II, Jakarta: kencana.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Sallis, Edwar, 2008, Total Quality Management in Education (Terjemah), Yogyakarta, IRCiSoD.
Tilaar, 1995, 50 Tahun pembangunan Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Grasindo.
Umaedi, 2004, Manajemen Mutu Berbasis sekolah/madrasah, Jakarta, Pusat Kajian Manajemen Mutu Pendidikan.
UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bandung : CV. Tamita Utama, 2006.

- Media Massa & Elektronik
Harian Kompas [Sabtu, 30 Desember 2010]
Harian Joglosemar [Selasa, 01 Desember 2009]
Artikel, Mujtahid, Upaya Membenahi Mutu Madrasah, sumber : www. mujtahid -komunitaspendidikan.blogspot.com [05/2010]  
www.arifyazid.wordpress.com [12/10/2009]
www.nu.or.id [2 November 2010 & 25 Januari 2011]
www.pationet.wordpress.com  [Oktober 09]


[1]  Departemen Agama RI, Pedoman Akreditasi Madrasah, Jakarta: direktorat jendral kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2005, hlm. 4
[2] Ibid, hlm. 4-5
[3] Ara hidayat, Imam machali, Pengelolaan Pendidikan, (Bandung: Pustaka Educa, 2010), hlm. 182
[4] Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm 47-48
[5] Departemen Agama RI, UU dan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2006), hlm. 204

[6] Departemen Agama RI, Pedoman Akreditasi Madrasah..., hlm. 5
[7] UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bandung : CV. Tamita Utama, 2006, hlm. 119-120
[8] Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm 47-48
[9] Ibid, hlm. 48
[10] Ibid.
[11] Umaedi, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/madrasah/Madrasah, (Jakarta, Pusat Kajian Manajemen Mutu Pendidikan, 2004), hlm. 294
[12] Departemen Agama RI, Pedoman Akreditasi Madrasah, 2005, hlm. 6
[13] Ibid. hlm. 6
[14] Ibid, hlm. 7-8
[15] Umaedi, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/madrasah/Madrasah, Jakarta : Pusat Kajian Manajemen Mutu Pendidikan, 2004, hlm. 417
[16] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 82
[17] Mulyono, Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 281-287
[18] Departemen Agama RI, Pedoman Akreditasi Madrasah, 2005, hlm. 9-16
[19] Diperoleh dari data merujuk pada kumpulan Materi Pelatihan Asesor SMA. BASPROP Jawa Barat Tahun 2004, dan disesuaikan dengan materi pelatihan terbaru. Lihat : www.arifyazid.wordpress.com/ category/akreditasi/.htm [12/10/2009]


[20] Mulyono, Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan,…, hlm. 298
[21] Ibid, hlm. 299
[22] Ara hidayat, Imam machali. Pengeloolaan Pendidikan, Bandung: Pustaka Educa, 2010, hlm. 183-185
[23] Tilaar, 50 Tahun pembangunan Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Grasindo, 1995, hlm. 78
[24] Mulyono, Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan,… hlm. 291

[25] Mujtahid (Dosen Tarbiyah UIN Maliki Malang), Upaya Membenahi Mutu Madrasah (Artikel) lihat di : mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/05/upaya-membenahi-mutu-madrasah.html

[26] Jakarta, Warta NU Online Selasa (25/1/2011) lihat : http://www.nu.or.id/page.php?lang= id&menu=news_view&news_id=27075


[27] Kepala Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/madrasah dan Madrasah (BAP SM) DI Yogyakarta Suhadi usai pemberian sertifikat akreditasi pada sekolah/madrasah se-DIY, Rabu (29/12).lihat Kompas 30 Desember 2010
[28] Lihat harian Joglosemar, Selasa, 01/12/2009. Sebanyak 408 sekolah/madrasah dan madrasah di tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga SMU/SMK di Provinsi DIY tidak terakreditasi pada 2009.
[29] Lihat keterangan Suhadi (Kepala Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/madrasah dan Madrasah (BAP SM) DI Yogyakarta) Joglosemar Selasa, 01/12/2009

 [32] Menurut analisa Edwar Sallis dalam TQM-nya ; Ada pelanggan internal (terdiri dari: guru dan staff) dan eksternal (terdiri dari: pelajar, orang tua, kepala daerah, sponsor, pemerintah, masyarakat, dan bursa kerja), lih. Edwar Sallis, Total Quality Management in Education (Terjemah), Yogyakarta, IRCiSoD, 2008, hlm. 70
[33] TQM adalah sebuah filosofi perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya, saat ini dan utnuk masa yang akan datang. (Edwar Sallis), Total Quality Management in Education (Terjemah), Yogyakarta, IRCiSoD, 2008, hlm. 71

[34] Abudin Nata, Manajemen Pendidikan : Mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonesa, edisi II, Jakarta: kencana, 2008, hlm. 185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar