Kamis, 05 Januari 2012

kajian RITUAL & COMMUNITY

RITUAL & COMMUNITY:
Teori Dasar Pendekatan Dalam Pengkajian Islam

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I

A.    Pendahuluan
Sebelum lebih dalam menyoroti ataupun menjamah dasar pendekatan (approach) dalam pengkajian Islam, ada uniknya jika kita “melototi” sejenak sebuah resonansi (dengungan suara) yang cukup menggertak. Resonansi Ahmad Syafi’i Ma’arif yang mengutip sebuah keluhan Muhammad Iqbal dalam karyanya Sikwah Wa Jawab-i Syikwah  tentang kondisi dunia Islam yang terbelah berserakan, berikut adalah keluhan getir Iqbal itu: [1]
“Pikiranku tinggi menerawang mencapai langit.
Tapi di bumi aku terhina, gagal dan dalam sekarat.
Aku tak mampu menangani masalah dunia ini,
dan tetap saja menghadapi batu penarung di jalan ini.
Mengapa urusan dunia terlepas dari kontrolku?
Mengapa si Alim dalam agama, bahlul dalam dunia?”

Penyair sufi dari Persia yang bernama Jalal al-Din Al-Rumi (1207-1273) dengan enteng menjawab keluhan Iqbal itu, tapi langsung menusuk jantung persoalan :
“Seseorang yang (mengaku mampu) berjalan di langit;
mengapa bagitu sulit baginya berjalan di bumi?”

Sekilas kita dibuat bingung dengan permainan kata-kata indah para penyair sufi ini. Seolah menyihir pikiran kita, pertanyaan yang dijawab dengan bertanya pula. Tapi yang jelas ini bukan sekedar kata-kata indah, Ini adalah masalah serius dunia Islam yang masih berlangsung sampai hari ini, kita mengaku sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, tetapi dalam kenyataannya di bumi tersungkur, dimainkan pihak lain dan kitapun rapuh tak berdaya. Terlalu berjibun masalah yang mengitari kita, di manapun di sudut dunia, tetapi perpecahan umat dan perselingkungan ulama dan penguasa yang semakin memperburuk keadaan belum juga usai. Untuk berapa lama lagi suasana sekarat semacam ini “setia” bersama kita? Kita lah yang akan menjawabnya bersama-sama. Jawaban solutif yang diungkap Syafii Maarif berdasarkan yang terbaca dalam “Jawab-i Syikwah” adalah beracu pada syarat tunggal : beriman dan berislam secara autentik di bawah bimbingan kenabian. Bukan yang lainnya. Jawaban yang terasa mahal, tetapi menuntut ketulusan dan sikap hati yang bening. Karena ada kekhawatiran menempuh jalan di luar itu, hanya akan menyeret kita ke dalam “lingkaran setan” yang tak jelas ujung pangkalnya. 
Ilustrasi resonansi  tadi (entah) sedikit mengantarkan kita pada satu titik opini realitas tentang teologis dan normatifis yang selama ini menjadi panorama “mimpi indah” bagi kalangan umat beragama (terutama umat muslim). Lalu bagaimana kita memahami Islam secarah universal jika selama ini Islam banyak dipahami dari segi teolgis dan normative saja. Karena sifatnya (teolgis dan normative) yang partikularistik, M. Amin Abdullah-pun mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.[2]
Berdasar pada probema tersebut, berbagai upaya solutif telah dicoba dalam kajian dan penelitian agama-agama, tentu ada banyak pendekatan yang kemudian muncul sebagai titik cahaya berkedap-kedip bagi tujuan esensial dari agama itu sendiri (baca : Islam), muncul berbagai pendekatan lain seperti Antropologis, Sosiologis, Filosofis, Historis, kebudayaan, hingga Psikologis. Inilah yang kemudian mengokohkan Abudin Nata untuk memuntahkan argumentasinya, bahwa agama dapat dipahami bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normative belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.[3]
Agama yang bersifat substantif, fungsional, dan simbolik tentu akan melahirkan banyak fenomena dalam pemahamannya esensialnya. Selain kajian terhadapn Scripture and prophet, Ritual And Community juga merupakan hal yang seharusnya sangat berperan urgen dalam kajian Agama (Islam).
Studi ritual dalam Islam merupakan studi yang agak terbengkalai dalam ranah studi Islam, padahal Islam sangat menekankan aspek ritual. Begitu pentingnya aspek ritual, sehingga studi yang terfokuskan pada tema ini merupakan suatu upaya memberikan penjelasan komprehensif dan kontruktif dari makna-makna yang sebenarnya. Penting dilakukan pada kajian ini adalah mengconstruct sebuah perspektif baru dan dengan teori-teori modern sebagai terobosan studi tentang ritual Islam kontemporer. Hal inilah yang menarik perhatian Fredrick M. Denny.
Fredrick M. Denny mencoba memberikan sebuah pemahaman pada kita tantang cakupan studi riual yang lebih baru sebagaimana yang diterapkan pada Islam. baginya pertanyaan bagi studi agama bukanlah “apakah ritual banyak terdapat dalam Islam?”, melainkan “bagaimana mendekati studi aneka macam aktivitas ritual di dalam Islam?”. Singkatnya, tren yang lebih baru dalam studi ritual bukan untuk mengidentifiksi dan mengisolasi data ritual bagi analisis tetapi agaknya untuk menempatkan data itu dalam matrik budaya yang lebih luas yang di dalamnya data itu ada dan barang kali menemukan maknanya.[4]  

B.     Memahami Ritual Dalam Agama.
Salah satu aspek dari kehidupan beragama adalah bahwa agama mengandung usur ajaran yang disebut ritual (rites), ibadat, atau upara keagamaan tertentu yang harus dilakukan oleh penganutnya, seperti menyembah Tuhan, berdo’a, berkorban, tawaf, dan lain sebagainya. Adanya ibadat atau ritual ini juga merupakan kelanjutan dari kepercayaan kepada hal-hal yang sakral. Kepercayaan kepada yang sakral menghendaki sikap tertentu dan melarang melakukan pantangan tertentu. Tuhan sebagai yang Maha suci harus disembah dalam berbagai kesempatan. Kitab suci Al-Qur’an harus dibaca secara rutin dan dipelajari isinya dengan penuh kesadaran.
Ritual dalam Islam yang terinklud dalam pilar-pilar Iman dan Islam, serta berkembang dalam ritus popular atau local, semuanya merupakan prilaku yang terstruktur dan bermakna dalam budaya Islam. 
Tidak heran jika upaya pemeliharaan terhadap ritual keagamaan ini perlu mendapat perhatian khusus. Agama sebagai sumber system nilai merupkan pedoman dan pendorong bagi manusia untuk memecahkan berbagai masalah hidupnya, tentu pada prilaku manusia yang menunjukan pada keridhaan Allah. Agama Islam adalah agama yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan (akidah), ibadah, mu’amalah (syari’ah) yang menentukan proses berfikir, berbuat, dan proses terbentuknya kata hati.[5] 
Dari harapan inilah kemudian rukun iman sangat urgen untuk mejadi hal yang akan dipelihara sebagai ajaran asli agama Islam. begitupun dalam ritual seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji sebagai yang disebut 5 rukun Islam, begitupun dengan ritual-ritual lainnya yang kemudian berkembang dalam lingkungan tertentu (ritus local).[6]
Dari ulasan tersebut, tampak jelas jika Islam sangat memberi penekanan yang besar pada aktivitas ritual. Dan melahirkan sebuah pernyataan tentang seluruh korpus kewajiban, perbuatan apakah wajib, haram, atau sunnah, dan sebagainya yang kemudian dibebankan pada umat manusia. Istilah ini kemudian dikenal dengan deontologi dalam fiqh.
Ritual agama tentu memiliki ciri dan kekhasan tersendiri dari agama yang lainnya. Bentuk ritual yang berbeda inipun dalam perkembangannya memerlukan sikap dan nilai etika dalam hal menyikapi kekhasan masing-masing ritual agam-agama. Menurut Haryatmoko, Masalah kekhasan suatu agama tidak identik sama sekali dengan superioritasnya. Hendaknya tidak mencampur adukkan masalah kebenaran dengan masalah superioritas. Permasalahan utama ialah identitas khas (ritual) suatu agama, yang tetap menghormati identitas religious yang lain. Perbedaan agama menjadi tantangan untuk dijawab.[7] Dari sinilah tampak bahwa ritual yang bersarang sebagai aspek penting dalam agama tentu memerlukan responsibility internal dan eksternal, baik individual maupun kelompok.

C.    Sekilas : Mengenal Frederick. M. Denny
Frederick. M. Denny adalah profesor dan ketua studi agama di University of Colorado di Boulder. Beliau adalah lulusan dari College of William dan Mary dalam filsafat. Dia menerima gelar B.D. di Andover Newton Theological School, MA dalam sejarah agama di Universitas Chicago, dan gelar Ph.D. dalam studi Islam dan sejarah agama di universitas yang sama. Penelitian  Profesor Denny dan ublikasi telah difokuskan pada interpretasi Al-Qur'an. Esai ini diekstraksi dari presentasi slide lagi pada peran perempuan di Indonesia kontemporer. [8]
Frederick M. Denny, Profesor Emeritus (Ph.D., University of Chicago), adalah editor dari University of South Carolina Press seri buku ilmiah "Studi Perbandingan Agama", yang saat ini memiliki ca. 35 judul buku yang diterbitkan. Dia adalah penulis Pengantar Islam (4 edisi Prentice-Hall, 2010) dan berbagai artikel mengenai Islam dan Studi Agama topik. Dia co-menulis (dengan John Corrigan, Carlos Eire, dan Martin Jaffee) Yahudi, Kristen, Muslim: Sebuah Pengantar Perbandingan untuk monoteistik Agama (Prentice-Hall: 1998). daerahnya jangka panjang dari bunga telah hafalan Al Qur'an, ritual komparatif, dan Muslim dan komunitas mereka di Mesir, Pakistan, Asia Tenggara dan Amerika Utara. Penelitiannya terakhir dan saat ini dan telah menulis terutama tentang Islam dan hak asasi manausia dan ekologi, kartografi agama-fokus, dan Unitarian Universalis sejarah dan pemikiran.[9]

D.    Ulasan Problematika Awal  (Sebuah Kegelisahan Akademik Akademik)
Kegelisahan Fredrick M. Denny diawali dari merosotnya studi-studi sistematika tentang ritual dalam studi Islam, sejalan dengan diabaikanya studi Islam dalam sejarah agama-agama. Padahal Islam sendiri memberikan tekanan yang besar pada aktifitas ritual.
Problem selanjutnya bagi Fredrick adalah berkaitan dengan penelitian ritual dalam praktek semata-mata, tanpa menganalisis sumber-sumber ritual yang dijadikan patokan dalam perilaku ritual. Contohnya penelitian S.F Nadel tentang agama Nupe di Afrika. Fredrick M. Denny mengkritik pola-pola penelitian semacam ini. menurutnya. Pola ini harus dibalik, menganalisis sumber-sumber perilaku ritual, kemudian menganalisis perilaku ritual dengan simbol-simbolnya. Perilaku ritual dapat menyimpang jauh dari “perintah atau larangan” dari sumber-sumber ritual. Disinilah yang kemudian sering menimbulkan tekanan “frustasi” dan jengkel begi kalangan Akademik terutama Mahasiswa, karena akan ditabrakkan oeleh konflik antara pendekatan normatif dengan pendekatan deskriptif dalam analisa prilaku.[10]
Denny menginginkan, ritual harus diletakkan sebagai kerangka perilaku yang diwajibkan dalam agama (fiqh), atau ritual sebagai korpus kewajiban (deontologi) yang menyatu dengan fiqh bahkan etika yang disebut “ortopraksis” oleh Smith.  Selanjutnya Denny mempertanyakan juga apakah orang luar yang mengkaji Islam harus tunduk pada wahyu karena alasan metodologis?,[11] dapatkah kita melakukan penelitian secara objektif sementara dalam kesempatan yang sama kita harus mempertahankan kenyakinan dan partisipasi kita dalam objek yang diteliti? Adakah hubungan antara memahami iman dan memiliki iman? Kegelisahan-kegelisahan ini berpangkal dari problem untuk memulai penelitian ini secara mendasar mencakup dua hal, yaitu problem ritual yang kompleks itu sendiri yang menjadi objek penelitian dan problem pada diri peneliti yang berusaha menempatkan diri sebagaimana seorang peneliti atau harus menjadi partisipan dengan memiliki peran ganda yaitu peneliti sekaligus yang diteliti.
Ia kemudian mempertanyakan beberapa hal diantaranya: Apakah kunci untuk memahami ritual Islam dari luar tradisinya? Dan Apakah orang luar yang mengkaji Islam harus tunduk pada wahyu karena alasan metodologis? Hal senada juga ditanyakan oleh Geertz, agama pada saat yang sama adalah model dari dan model untuk dunia. Apakah seorang perlu menjadi Muslim dalam rangka “menangkap esensial” tersebut. Bagi Denny memiliki agama bukan dimaksudkan sebagai meahami agama dan memahami tidak sama dengan mempercayai. Memiliki adalah salah satu bias rasa ingin tahu yang tak kunjung hilang tentang masyarakat dan pandangan dunia orang lain.[12]  
Hal senada juga di ungkapkan oleh Fazlur Rahman, menurutnya, menjadi muslim tidak dengan sendirinya menjamin eksplikasi (penjelasan) dan interpretasi seseorang tentang Islam akan menjadi jelas dan seimbang. Melihat diri sendiri, tradisi sendiri dari ‘dalam’ setidaknya sama sulitnya dengan upaya memahami dari luar.[13]   
Fredrick M. Denny ingin menekankan bahwa aspek ritual terkait erat dengan keseluruhan korpus kewajiban yang dapat diterjemahkan sebagai fiqh, kebenaran dalam beribadah (perilaku). Pola ini disebut ‘ortopraksis’. Secara sederhana pola ini adalah tauhid sebagai proposisi teologis juga sebagai realitas yang hidup ‘mengesakan’ Tuhan dengan ketundukan total.[14]

E.     Pentingnya Topik Penelitian
Pentingnya penelitian Fredrick M. Denny adalah untuk menjelaskan fenomena yang terkait dengan perilaku ritual yang ideal (ritual ‘resmi’) dan praktek ritual yang berkembang di beberapa masyarakat tertentu (ritual ‘local’ atau ‘popular’). Kemudian materi ini dilihat dari sudut pandang sejarah, pendekatan ilmiah dan memperhatikan stuktur makna yang singkronik. Sumbangan lainnya adalah adanya analisis-analisis yang relevan bagi sejarawan dalam menganalisis permasalahan ritual dan simbol-simbol agama.
Freedrick M. Denny telah menelaah penelitian terdahulu yang berhubungan dengan ritual antara lain karya Clifford Geertz, Nadel, Snouck Hurgronje dengan kata-kata kunci kewajiban-kewajiban ritual (ritual duties), pengosongan (Kenosis), pengisian (Plerosis), ritus-ritus peralihan (rites of passage).
Dalam penelitiannya, dia memulai dengan mengungkapkan beberapa kegelisahan akademik yang dialaminya dan menjelaskan beberapa alasan yang menjadikan ketertarikannya terhadap kajian ritual Islam. Kemudian ia menjelaskan beberapa unsur-unsur ritual (Islam), teori waktu suci dan tempat suci yang diaplikasikan dalam ritual Islam seperti sholat, puasa, dan haji serta ritual ‘lokal’ atau ‘popular’ lainya. Ketika mengkaji tentang ritual suci, ia menyelipkan teori Theodore Gaster (sebuah fenomena yang disbut dengan toposcome), kemudian ia menganalisis beberapa ritual dengan teori Arnold van Genep (dengan fase pemisahan. Transisi, dan penyatuan Dalam status baru). Pada bagian akhir tulisan ini, ia menyarankan untuk melakukan kajian lebih lanjut dalam persoalan ritual termasuk dalam persoalan zakat yang belum disinggung dalam kajian ini.
Topik penelitian ini penting untuk menjelaskan fenomena keagamaan yang terkait dengan perilaku ritual yang ideal dan praktek ritual yang berkembang. Usaha Denny adalah terobosan memecah kebuntuan dalam studi tentang ritual-ritual yang masih banyak diabaikan begitu saja oleh pengkaji Islam baik di kalangan Muslim atau orientalis. Sejumlah teori yang ditawarkan dapat digunakan oleh pengkaji sesudahnya dalam menganalisis makna-makna yang tersembunyi dibalik pelaksanaan ritual-ritual dalam agama-agama dan Islam.

F.     Kajian Freedrick M. Denny terhadap Penelitian Terdahulu.           
Sebagai penguat argumentasi ilmiyahnya, Denny menelaah penelitian-penelitian terdahulu yang cukup relevan terhadap obyek penelitiannya (ritual islam), diantaranya; karya Clifford Geertz, Nabel, Sir Richad Filsafat Burton dan Snouck Hurgronje.
Pertama, Geertz dalam Islam Observed menggambarkan pemahaman adanya konflik antara pendekatan normatif dan deskriptif dalam persoalan ritual, sekaligus mengkontraskan agama di Maroko dan Indonesia.[15]
Kedua, S.F Nabel dalam Nupe Religion menyatakan untuk membaca praktek-praktek yang berhubungan dengan Islam yang akan menjadi muslim yang paling liberal adalah tidak mudah, namun dalam karya ini, ia tidak menganalisis lebih jauh lagi tentang kesesuaian antara praktek-praktek keagamaan dengan ajaran-ajaran yang ada. Kekurangannya tidak adanya abstraksi yang dikenal ‘Islam resmi’, tetapi sekedar masyarakat dan nilai-nilai, serta agama Nupe.[16]
Ketiga, Snock Hugronje dalam Mekkah in the Letter Part of the 19th Century dan Sir Richad F Burton dalam Personal Narrative of al- Madinah and Meccah, keduanya merupakan karya monografi yang menurut Denny sangat berharga dalam kajian tentang ibadah haji dalam perspektif sejarah. Untuk karya Snouck sendiri diakui sebagai karya orientalis yang secara tradisional didasarkan pada teks dan mengambarkannya dalam latar akademik. Segala hal yang ingin diketahui tentang haji dalam sudut pandang resmi tersedia dalam sumber-sumber tertulis. Fiqh yang dijadikan hukum positif tidak dibutuhkan rihlah, tetapi cukup kitabah dari teks-teks yang tersedia. Rihlah yang dilakukan Snouck membuatnya mungkin untuk menyediakan penjelasan kontekstual tentang Mekkah dan penduduknya. “Islam yang diamati” pada masa awal.[17]

G.    Kerangka Teori (Approach) & Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan Denny adalah dengan menggunakan pendekatan fenomenologis dengan sandaran Antropologi agama yang bertujuan menangkap “pengertian” pola umum (general pattern) dan pola partikuler (particular pattern). Fenomenologi pada dasarnya merupakan upaya fenomenolog untuk menunjukan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi terhadap pemahaman kita tentang humanitas dengan cara yang positif.[18] Pemahaman yang ingin dibangun oleh Denny seolah ingin menampilkan maind set yang hadir pra upaya descriptive dalam kasus ritual fenomenologis, inilah yang dimaksud dengan Building bridge, sebagai permulaan dan pengantar diskusi dalam pikiran sebelum beranalisa dalam teori-teori ritual yang ada.
Dengan kata lain, Denny menggunakan teori waktu suci dan ruang suci untuk menjelaskan perilaku-perilaku ritual secara detil dan hati-hati. Ia juga menggunakan teori Theodore Gaster tentang fenomena yang ia sebut sebagai topocosme yang mengambil bentuk ritus knosis (pengosongan) dan ritus plerosisi (pengisian), Teori-teori ini kemudian disisipkan pada teori tempat dan waktu suci untuk memberi interpretasi terhadap berbagai ritual. Teori lainnya dalam memahami ritual adalah rites of passage model Arnold van genep dengan fase-fase pemisahan (separation), transition dan bergabung dengan status baru.
Cara-cara tersebut diterapkan dalam mencari pola umum (genaral pattern) dalam ritual, ditemukan adanya waktu suci dan ruang suci. Ruang dan waktu adalah kategori universal dan banyak cara yang digunakan orang beragama untuk menjelaskan hubungannya. Dalam penjelasan tentang waktu suci, Denny memulai dari pembahasan tentang kalender Islam (kalenderis) dengan makna ritual. Walaupun ada banyak ibadah lokal dan popular (Islam ‘popular’) di luar ibadah resmi (Islam ‘resmi’) yang terkait dengan waktu suci seperti peringatan orang-orang suci, namun waktu suci dalam kehidupan masyarakat muslim sangat dominan yaitu dapat dibuktikan dengan shalat lima waktu dengan azan. Dalam haji, terkait dengan waktu suci. Haji merupakan ekspresi liminalitas[19] dan komunitas dalam pengertian Victor Turner adalah upaya untuk mengkombinasikan ruang dan waktu yang terfokus pada pusat dunia, Mekkah (Ka’bah). Demikian juga sholat, sholat memiliki orientasi ruang yang kuat, yaitu menghadap kiblat (ka’bah di Makkah). Demikian juga bulan suci puasa (Ramadhan).
Denny, dalam menjelaskan ruang suci, menegaskan, ada perbedaan ruang suci dalam Islam dengan tradisi-tradisi lainya khususnya agama kuno. Untuk menjelaskan ruang suci, Denny menggunakan teori Theodore Gasper yang menjelaskan thepis sebagai sebuah fenomena yang ia sebut sebagai topocosme[20]. Dalam pandangan Gasper komponen utama pola musim adalah ritual yang kemudian ia bagi menjadi dua kategori yaitu ritus knosis (pengosongan) dan ritus plerosisi (pengisian). Dalam hal ini, Denny seolah membagi ritual dalam dua kategori yaitu :
  1. Sistem pemisahan yang didasarkan pada ruang dan waktu,
  2. Sistem pemisahan yang didasarkan pada kesucian dan keharaman.              
Yang masuk kategori pertama adalah sholat, puasa Ramadhan, dan haji, untuk kategori ritual local atau popular untuk ritus knosis dapat dicontohkan adalah perayaan 10 Muharram. Kategori kedua, menggambarkan dan menyimpulkan revitalisasi yang terjadi pada permulaan kesempatan baru dan ditunjukan oleh ritus-ritus perkawinan massal, upacara penebusan dosa dan prosedur magis untuk membangkitkan kesuburan dan sebagainya. Persoalan ruang suci dapat juga dilihat dari kultus terhadap orang-orang suci yang bertujuan untuk memuaskan keinginan orang-orang terdekat dengan tempat-tempat suci.  
Pemahaman tentang ritual dengan model rites of passage Arnold van Genep dengan fase-fase pemisahan, transisi dan bergabung dalam status baru dicontohkan Frederik ketika terjadi konversi agama, aqidah, khitan, perkawinan, penguasaan terhadap maqam-maqam dalam praktek sufi dan sebagainya. Dalam ritus pubertas laki-laki adalah berhubungan dengan perhitungan-perhitungan waktu sekaligus kritis sekaligus kalenderis[21], berfugsi sebagai simbol kekuatan yang diperbaruhi dan kepemimpinan masa depan, sebagaimana upacara sekitas khitan pada masyarakat Mesir yang tahapan liminalnya dapat berupa pemakaian pakaian perempuan sebelum perubahan status dengan pemotogan kulup.[22]
Terakhir, Denny mengusulkan untuk mengkaji permasalahan zakat yang menurutnya dapat dilihat dengan model ruang suci yang merujuk pada kalender Islam, jenis-jenis kekayaan yang wajib dizakati dan zakat fitrah pada akhir Ramadhon. Zakat yang merupakan praktek ritual ekonomis unik ini integral dengan praktek ritual lainya dan merupakan kunci yang saling menghubungkan bidang-bidang pengalaman ritual seperti waktu suci, menjauhi polusi dan perbaikan komunitas.
Dari ulasan tersebut, dapat memberi keterangan, bahwa ritual dapat dipahami dengan 3 teori kajian M. Danny, inilah kerangka teori yang ingin dibagikan oleh beliau : Topscosmos, Rite de Faasege, dan Liminalitas. Dan tentu, ketiganya dapat dipahami melalui konsep deskriptif  dan hubangan timbal balik terhadap General Pattern dan Partikular Pattern

H.    Ruang Lingkup dan Istilah Kunci Penelitian
Ruang lingkup penelitian yang dilakukan Denny adalah ritual-ritual Islam dalam pengertian ibadah itu sendiri ia bagi menjadi dua aitu ibadah ‘resmi’ yang terdapat dalam sumbersumber Islam dan ibadah ‘lokal’ atau ‘popular’ yang berkembang di Masyarakat tertentu. Kemudian ritual ini ia jelaskan dengan menggunkan teori waktu suci dan ruang suci, teori Thoedore Gaster, dan Arnold van Genep. Maka kata kuncinya adalah kewajiaban ritual (ritual duties), waktu suci, ruang suci, pengosongan (emptying), pengisian (filling), ritus peralihan (rites of passage).

I.       Kontribusi dalam Ilmu Keislaman
Sedikitnya ada dua Kontribusi umum yang sekiranya dapat menjadi benih “cahaya” selanjutnya dari penelitian M. Denny ini, yakni:
Pertama, sumbangan terhadap pemahaman ritual agama terutama ritual-ritual Islam serta keterkaitan dengan waktu dan tempat suci yang berguna bagi sejarawan dan ilmuan lainya dalam menangkap makna ritual dan simbol-simbol dalam Islam.
Kedua, memberikan kerangka teori untuk menjelaskan aspek-aspek ritual yang berkembang dalam masyarakat.
     
J.      Sistematika Penulisan
Sejauh tela’ah kami, dapat kami petakan alur penulisan ataupun system analisis yang di gunakan Frederick M. Denny adalah :
  1. Memulai kajiannya dengan mengungkap prolem studi ritual Islam.
  2. Mencoba mendeskripsikan dengan penjelasan unsur-unsur ritual dalam objek penelitiannya.
  3. Menerangkan teori waktu suci dan tempat suci yang pada pembahasan lebih lanjut diapliksikan dalam ritual Islam seperti sholat, puasa dan haji serta ritual ‘local’ atau ‘popular’ lainya.
  4. Ketika mengkaji ritual suci, ia menyelipkan teori Theodore Gaster.
  5. Menganalisis beberapa ritual dengan teori Arnold van Genep.
  6. Pada bagian akhir tulisannya, ia menyarankan untuk melakukan kajian lebih lanjut dalam persoalan ritual termasuk dalam persoalan zakat yang belum disinggung sama sekali dalam kajian ini. dan ini mungkin akan menjadi tantangan bagi penelit setelahnya.



K.    Penutup
 “Saya (Denny–pen.) akan mencoba menjadi Socrates dan mendorong mereka untuk menggali derkripsi secara bersama-sama dengan data normative, sekalipun saya simpatik terhadap titik yang tidak ingin mereka (Muslim –pen.) buat.”

Itulah kalimat terakhir yang dimuntahkan oleh seorang yang “bukan Islam sejati”. Dialah Dr. Denny. Sangat terang maknanya –untuk tidak mengatakan ibarat kata “Wallahu A’lam bi Ash Showwab” di akhir argumentasi Para Sarjana Muslim–, seolah ingin menginspirasikan para sarjana dalam memahami suatu ritual agama. Studi tentang ritual adalah studi tentang prilaku actual sekaligus penguasaan atas bentuk-bentuk ideal. Islam seharusnya mendefinisikan diri tidak hanya dengan norma-normanya, etapi juga dengan tindakan, yakni Muslim mendefinisikan Islam dengan berbagai bentuk tanpa sadar tentang apa yang dilakukannya.
Ulasan dari upaya tela’ah terhadap lintas penelitian keagamaan, khususnya kajian ritual keagamaan yang menjadi obyek penelitian Frederick M. Denny, telah memberikan sumbangsih besar dalam upaya pemahaman ritual keagamaan secara metodologis-analitis. Setidaknya walaupun ada upaya menghindari antagonisme yang berakar dalam memandang praktek-praktek ritual pada umat Islam dari sekedar system simbolik, bukan berarti upaya definitive tentang apa yang menyusun praktek normative terabaikan.
Secara konstruksinya, Dr. Denny telah memberikan kata kunci dalam penelitian terhadap ritual (rites) keagamaan. Analisisnya terhadap waktu suci dan ruang suci knosis (pengosongan) dan ritus plerosisi (pengisian), rites of passage   adalah untuk mencari pola umum (genaral pattern) dan pola partikuler (particular pattern) dalam ritual. Tentu pencapaian ini semua dilakukan dengan pendekatan fenomenologis.
Kiranya yang terpenting dalam penelitian agama adalah lebih bijaksana apabila metodologi ataupun pendekatan yang digunakan lahir dan tumbuh dari proses seleksi dan mengkristal dari berbagai pengalaman dalam menggunakan berbagai metode penelitian social. Untuk mendapatkan metode seperti ini dibutuhkan kesabaran dan kehati-hatian.[23]  Karena sebenarnya polemic yang berkembang saat ini adalah kesalahan paradigma yyang saling menuduh satu sama lain. Bukan secara metodologis sistemik, apalagi normativis terhadap segala fenomenologi ritual.
Inilah singkat bahasa yang bisa kami uraikan secara sederhana agar bisa menjadi tela’ah yang normatif-deskriptif dalam mencari sebuah esensial kajian penelitian keagamaan (ritual agama) hingga pemahaman terhadap hakikat agama itu sendiri. sebagaimana Fredrick M. Danny yang masih menitipkan kajian-kajian lanjutann terhadap hasil penelitiannya –untuk tidak mengatakan terlupakan– pada makalahnya, semisal penelitian terhadap zakat sebagai bentuk ritual ekonomi terpadu dalam Islam, ataupun ritual-ritual lain yang belum terjamahkan dalam penelitiian beliau. Kami kiranya juga merasa perlu menitipkan harapan penyempuranaan analisis dan tela’ah terhadap hasil penelitian Dr. Denny tersebut.

***
     

PUSTAKA PENDAMPING

Abdullah, Amin, 1996, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
____________, dkk. (ed), 2000, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, (Yogyakarta, Sunan Kalijaga Press)
Abdullah, Yatimin, 2006, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah)
Al-Ghazali, Muhammad, 1980, Hakikat Kebenaran Islam, cet. 4, (Jakarta : Bulan Bintang)
Martin, Richard C. (ed.), 2010, Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama, Zakiyuddin Baidhawy (penj.) (Yogyakarta : SUKA Press UIN Sunan Kalijaga)
Mudzhar, Atho, 1998, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
Nata, Abudin, 2010, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Rajawali Pers)
Peter Connolly (ed),  2002, Aneka Pendekatan Studi Agama, Imam Khairi (penj.), (Yogyakarta : LKiS)


Harian Republika, edisi Selasa 22 Maret 2011.


        
       




[1] Lihat (Resonansi) : Ahmad Syafi’i Maarif, Pengaduan Iqbal Pada Allah dan Rumi, dalam Harian Republika, edisi Selasa 22 Maret 2011.
[2] Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 30
[3] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hlm. 51
[4] Richard C. Martin (ed.), Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama, Zakiyuddin Baidhawy (penj.) (Yogyakarta : SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 67
[5] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 89
[6] Muhammad Al-Ghazali, Hakikat Kebenaran Islam, cet. 4, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hlm. 57-58
[7] Haryatmoko, Paradigma Hubungan Antar agama : Pluralisme De Jure Dan Kritik Ideologi, dalam Amin Abdullah, dkk., Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, (Yogyakarta, Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 37
[8] Diterjemahkan dari http://rsc.byu.edu/pubFDennyAnotherIslam.php [posting, 11/04/2011].  

[9] Diterjemahkan dari http://rlst.colorado.edu/Faculty/Frederick-Denny/ [posting. 11/04/2011]
[10] Richard C. Martin (ed), hlm. 71
[11] Ibid. hlm. 72
[12] Ibid.
[13] Ibid. hlm. 73
[14] Ibid. hlm. 70

[15] Ibid. hlm. 71
[16] Ibid.
[17] Ibid. hlm. 74
[18] Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis. dalam Peter Connolly (ed),  Aneka Pendekatan Studi Agama, Imam Khairi (penj.), (Yogyakarta : LKiS, 2002), hlm. 107
[19] Liminality (dari līmen kata Latin, yang berarti "threshold" : ambang dasar) adalah sebuah lokasi subjektif psikologis, neurologis, atau metafisik, sadar atau tidak sadar, dari berada di "ambang" atau antara dua pesawat eksistensial yang berbeda, sebagaimana didefinisikan dalam neurologis psikologi ("negara liminal") dan dalam teori antropologi ritual oleh para penulis seperti Arnold van Gennep dan Victor Turner. Seperti yang dikembangkan oleh van Gennep (dan kemudian Turner), istilah ini digunakan untuk "merujuk pada-antara situasi dan kondisi yang ditandai dengan dislokasi struktur -didirikan, pembalikan hierarki, dan ketidakpastian mengenai kelangsungan tradisi dan hasil masa depan. Diterjemahkan dari http://en.wikipedia.org/wiki/Liminality#Liminality_and_Rites_of_Passage  [Posting, 11/04/2011]
[20] Toposcome : suatu hubungan kompleks antara individu, masyarakat, waktu, dan lokasi yang berpusat dalam lingkaran musim dengan kosmologi (lmu cabang astronomi yg menyelidiki asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dari alam semesta–pen.) yang konperhensif. Lihat Dalam Richard C. Martin (ed), hlm. 79
[21] Richard C. Martin (ed), Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama, Zakiyuddin Baidhawy (penj.), … hlm. 82
[22] Ibid.
[23] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar