Kamis, 05 Januari 2012

Studi Hadis 2

TELA’AH HADIS NABI TENTANG :
ADZAB BAGI JENAZAH
SEBAB TANGISAN / RATAPAN KERABATNYA

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I


A.            Pendahuluan
Diskursus tentang pemahaman Hadis nampaknya selalu menarik perhatian banyak orang, baik dikalangan muslim maupun non muslim. Terbukti hingga sekarang ini kajian-kajian terhadap hadis baik baik yang menyangkut kritik terhadap otentitasnya, maupun metode pemahamannya terus berkembang. Sejarah juga telah mencatat bahwa pada zaman nabi sampai zaman Khulafa’ ar-Rasyidin dan bani umayyah belum terlihhat secara jelas adanya kalangan yang menolak sunnah atau hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam . barulah pada masa bani Abasiyyah (750-1258 M) muncullah kelompok kecil yang berpaham Inkar as- Sunnah.[1]      
Hadis atau “Sunnah”[2] adalah segala sesuatu yang yang dinisbatkan kepada Nabi Saw baik berupa perkataan (qouwl), perbuatan (fi’lun) atau ketetapan (taqrir) atau sifat khuluqiyyah (sifat akhlaq Nabi) atau kholqiyyah (sifat ciptaan atau bentuk tubuh nabi) sebelum bi’tsah (diutus mennjadi rasul) atau sesudahnya.
Secara epistemologis, hadis dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sebab ia merupakan bayan (penjelasan) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global), ‘am (umum) dan muthlaq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri Hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Dalam pemahaman hadis tentu tentu banyak aspek yang perlu dijadikan pedoman utnuk “meloncat” pada arena memahami sebuah Hadis Nabi. Dalam ilmu Hadis tentu kita mengenal istilah Asbab an-Wurud yang bisa dijadikan landasan awal dalam memahami hadis berdasarkan historisitasnya, namun jika diperlukan kita juga bisa menggunakan pendekatan-pendekatan, seperti sosiologis, antropologis bahkan mungkin juga pendekatan psikologi.[3] Sehingga dapat lebih dekat dan mampu mmenganttarkan kita pada pemahaman yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Makalah yang berada di hadapan anda ini pada dasarnya akan membahas Hadis Nabi yang bersifat teknis dan kasuistik, karena mungkin ruhnya atau –meminjam istilahnya Fazrur Rahman – “ideal Moralnya ” bersifat universal, namun teksnya bersifat Bayani Waqi’i. Bahkan lebih dari itu, sekelumit problematika Jenazah tidak hanya bersifat literatur Hadis belaka  akan tetapi telah berkembang di berbagai literatur Hukum Islam (fiqih) sebagai bagian dari aplikasi syari’at Islam, tentu fungsi hadis yang sudah disaring inti-inti hukumnya itu juga akan membuat kita harus memilih antara anjuran yang bersifat ta’aquli dan yang ta’abbudi. Lantas bagaimanakah dengan memahami hadis nabi tentang “adzab” –yang merupakan kekuasaan Allah Swt – terhadap jenazah hanya karena tangisan kerabatnya?

B.            Mengenli Hadis-Hadis Nabi tentang “mayat yang diadzab sebab tangisan keluaranya”.
Ada banyak hadis yang  menerangkan hal ini, namun kami akan mengungkapkan sebagian saja sekaligus dengan Asbab Al-Wurudnya. Diantaranya adalah :

Hadis Dari Shahih bukhari :
Dalam :
كتاب الجنائز
باب: قول النبي صلى الله عليه وسلم: (يعذب الميت ببعض بكاء أهله عليه)
(BAB : Sabda Nabi, "Mayat Itu Disiksa Sebab Ditangisi Keluarganya, ...")

1226 - حدثنا عبدان: حدثنا عبد الله: أخبرنا ابن جريج قال: أخبرني عبد الله بن عبيد الله بن أبي مليكة قال:
 توفيت ابنة لعثمان رضي الله عنه بمكة، وجئنا لنشهدها، وحضرها ابن عمر وابن عباس رضي الله عنهم، وإني لجالس بينهما، أو قال: جلست إلى أحدهما، ثم جاء الآخر فجلس إلى جنبي، فقال عبد الله بن عمر رضي الله عنهما، لعمرو بن عثمان: ألا تنهى عن البكاء؟ فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه).
فقال ابن عباس رضي الله عنهما: قد كان عمر رضي الله عنه يقول بعض ذلك، ثم حدث قال: صدرت مع عمر رضي الله عنه من مكة، حتى إذا كنا بالبيداء، إذا هو بركب تحت ظل سمرة، فقال: أذهب فانظر من هؤلاء الركب؟ قال: فنظرت، فإذا صهيب، فأخبرته، فقال: ادعه لي، فرجعت إلى صهيب فقلت: أرتحل، فالحق أمير المؤمنين، فلما أصيب عمر، دخل صهيب يبكي، يقول: وا أخاه، وا صاحباه، فقال عمر رضي الله عنه: يا صهيب، أتبكي علي، وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه).
قال ابن عباس رضي الله عنهما: فلما مات عمر رضي الله عنه، ذكرت ذلك لعائشة رضي الله عنها، فقالت: رحم الله عمر، والله ما حدث رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله ليعذب المؤمن ببكاء أهله عليه، ولكن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إن الله ليزيد الكافر عذابا ببكاء أهله عليه). وقالت حسبكم القرآن: {ولا تزر وازرة وزر أخرى}. قال ابن عباس رضي الله عنهما عند ذلك: والله هو أضحك وأبكى. قال ابن أبي ملكية: والله ما قال ابن عمر رضي الله عنهما شيئا.
[ر: 1228، 1230].

Abdullah bin Ubaidillah bin Abu Mulaikah berkata, "Putri Utsman bin Affan meninggal dunia di Mekah dan kami datang hendak menghadirinya. Di sini datang pula Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Aku sendiri duduk di antara kedua orang itu atau aku duduk mendekati salah seorang dari keduanya. Kemudian ada orang lain yang baru datang dan langsung duduk di dekatku. Abdullah bin Umar berkata kepada Amr bin Utsman, 'Mengapa engkau tidak melarang menangis? Sebab, Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya atasnya.
' Ibnu Abbas r.a. berkata, 'Umar memang pernah mengatakan sebagian dari hadits itu.' Ibnu Abbas berkata, 'Aku pernah keluar untuk bepergian bersama Umar dari Mekah. Setelah kami berada di Baida' tampaklah di situ sebuah kafilah dengan beberapa ekor unta yang sedang bepergian dan jumlahnya lebih dari sepuluh ekor. Mereka sedang beristirahat di bawah pohon berduri. Umar berkata, 'Pergilah, perhatikanlah siapa rombongan itu.' Kemudian aku perhatikan, ternyata Shuhaib sebagai pemimpin mereka. Lalu saya memberitahukan kepada Umar, lalu dia berkata, 'Panggillah dia supaya datang kepadaku.' Kemudian aku kembali kepada Shuhaib dan aku berkata kepadanya, 'Pergilah menemui Amirul Mu'minin.' Ketika Umar terkena musibah (tusukan pisau yang menyebabkan kematiannya), Shuhaib datang sambil menangis dan berkata, 'Aduhai saudaraku, aduhai sahabatku!' Mendengar tangis Shuhaib itu, Umar berkata, 'Wahai Shuhaib, apakah engkau menangisiku, sedangkan Rasulullah telah bersabda, 'Sesungguhnya mayat itu disiksa karena sebagian tangisan keluarganya (dan dalam satu riwayat: tangisan orang yang hidup 2/82) atasnya (dan dalam riwayat lain: di dalam kuburnya, karena diratapi).'
 Ibnu Abbas berkata, 'Pada waktu Umar sudah wafat, aku menyebutkan hal itu kepada Aisyah r.a., lalu ia berkata, 'Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Umar. Demi Allah, Rasulullah tidak mensabdakan bahwa Allah menyiksa orang-orang mukmin karena ditangisi keluarganya. Akan tetapi, beliau bersabda, 'Sesungguhnya orang kafir itu semakin bertambah siksanya karena ditangisi keluarganya.' Cukup bagimu Al-Qur'an (surah al-Fathiir ayat 18) yang mengatakan, 'Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.'" Ketika terjadi hal tersebut, maka Ibnu Abbas berkata, "Allah itulah yang membuat orang tertawa dan menangis." Ibnu Abi Mulaikah berkata, "Demi Allah, Abdullah bin Umar tidak mengatakan sesuatu pun."

1227 - حدثنا عبد الله بن يوسف: أخبرنا مالك، عن عبد الله بن أبي بكر، عن أبيه، عن عمرة بنت عبد الرحمن أنها أخبرته:  أنها سمعت عائشة رضي الله عنها، زوج النبي صلى الله عليه وسلم، قالت: إنما مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على يهودية يبكي عليها أهلها، فقال: (إنهم يبكون عليها، وإنها لتعذب في قبرها).

Aisyah r.a., istri Nabi saw., berkata, "Nabi melewati seorang wanita Yahudi yang ditangisi oleh keluarganya. Lalu, beliau bersabda, 'Sesungguhnya mereka menangisinya, dan sesungguhnya ia sedang disiksa di dalam kuburnya.'"

 
1228 - حدثنا إسماعيل بن خليل: حدثنا علي بن مسهر: حدثنا أبو إسحاق، وهو الشيباني، عن أبي بردة، عن أبيه قال:
 لما أصيب عمر رضي الله عنه، جعل صهيب يقول: وا أخاه، فقال عمر: أما علمت أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إن الميت ليعذب ببكاء الحي). [ر: 1226].

Abu Burdah dari Ayahnya, berkata, "Ketika Umar terkena musibah, maka Shuhaib berkata, 'Aduhai saudaraku!' Kemudian Umar berkata, 'Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Nabi bersabda, 'Sesungguhnya mayat itu di siksa karena ditangisi orang yang hidup.'"

باب: ما يكره من النياحة على الميت.
(BAB :Tidak Disukai Meratapi Mayat)
1229 - حدثنا أبو نعيم: حدثنا سعيد بن عبيد، عن علي بن ربيعة، عن المغيرة رضي الله عنه قال:  سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (إن كذبا علي ليس ككذب على أحد، من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار).
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (من نيح عليه يعذب بما نيح عليه).

Al-Mughirah berkata, "Aku mendengar Nabi bersabda, 'Sesungguhnya berdusta atasku tidaklah seperti berdusta atas seseorang yang lain. Barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.' Aku (Mughirah) mendengar Nabi bersabda pula, 'Barangsiapa yang diratapi, maka ia disiksa sebab diratapi itu.'"[4]

Dari Shohih Muslim :
Dalam :
كتاب الجنائز
باب الميت يعذب ببكاء أهله عليه
حدثنا داود بن رشيد. حدثنا إسماعيل بن علية. حدثنا أيوب عن عبدالله بن أبي مليكة. قال:  كنت جالسا إلى جنب ابن عمر. ونحن ننتظر جنازة أم أبان بنت عثمان. وعنده عمرو بن عثمان. فجاء ابن عباس يقوده قائد. فأراه أخبره بمكان ابن عمر. فجاء حتى جلس إلى جنبي. فكنت بينهما. فإذا صوت من الدار. فقال ابن عمر (كأنه يعرض على عمرو أن يقوم فينهاهم): سمعت رسول الله صلى الله  عليه وسلم يقول "إن الميت ليعذب ببكاء أهله" قال: فأرسلها عبدالله مرسلة.
فقال ابن عباس:  كنا مع أمير المؤمنين عمر بن الخطاب. حتى إذا كان بالبيداء، إذا هو برجل نازل في شجرة. فقال لي: اذهب فاعلم لي من ذاك الرجل. فذهبت فإذا هو صهيب. فرجعت إليه. فقلت: إنك أمرتني أن أعلم لك من ذلك. وإنه صهيب. قال: مره فليلحق بنا. فقلت: إن معه أهله. قال: وإن كان معه أهله. (وربما قال أيوب: مره فليلحق بنا). فلما قدمنا لم يلبث أمير المؤمنين أن أصيب. فجاء صهيب يقول: وأخاه ! واصاحباه ! فقال عمر: ألم تعلم، أو لم تسمع (قال أيوب: أو قال: أولم تعلم أولم تسمع) أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "إن الميت ليعذب ببعض بكاء أهله". قال: فأما عبدالله فأرسلها مرسلة. وأما عمر فقال: ببعض.
فقمت فدخلت علي عائشة. فحدثتها بما قال ابن عمر. فقالت: لا. والله ! ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قط: "إن الميت يعذب ببكاء أحد". ولكنه قال "إن الكافر يزيده الله ببكاء أهله عذابا وإن الله لهو أضحك وأبكى. ولا  تزر وازرة وزر أخرى".

Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Dari Abdullah bin Abu Mulaikah, ia berkata: Aku sedang duduk di samping Ibnu Umar. Kami sedang menunggu jenazah Ummu Aban binti Usman. Bersamanya juga ada Amru bin Usman. Kemudian Ibnu Abbas datang dituntun oleh seseorang yang menunjukkan tempat Ibnu Umar. Ibnu Abbas datang dan duduk di sampingku. Aku berada di tengah-tengah antara Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Tiba-tiba terdengar suara dari rumah. Lalu Ibnu Umar berkata: Nampaknya ia berusaha menghalangi Amru untuk berdiri guna melarang mereka. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya mayit itu akan disiksa karena tangis ratapan keluarganya. Ia berkata: Abdullah menjadikannya mutlak (sebelumnya adalah dengan bersyarat).
Ibnu Abbas berkata: Kami sedang bersama Amirul mukminin Umar bin Khathab. Ketika kami tiba di Baida, tiba-tiba ada seseorang yang berteduh di bawah sebatang pohon. Amirul mukminin berkata kepadaku: Pergi dan lihat siapa orang itu! Aku pun pergi, ternyata orang itu Shuhaib. Aku kembali kepada Umar dan berkata: Engkau menyuruhku untuk melihat siapa orang itu. Dia adalah Shuhaib. Umar berkata: Suruh ia ikut bersama kita! Aku berkata: Jika ia bersama keluarganya? Umar berkata: Walaupun bersama keluarganya. Atau mungkin Ayyub berkata: Suruhlah ia menemuiku. Tidak lama setelah kami datang Amirul mukminin terkena musibah. Shuhaib datang menemuinya sambil meratap: Aduh saudaraku! Aduh temanku! Umar berkata: Tidakkah engkau tahu (atau tidakkah engkau mendengar) Ayyub berkata: Belum tahukah engkau atau Belum mendengarkah engkau bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya mayit itu akan disiksa karena tangis ratapan keluarganya. Adapun Abdullah ia menjadikannya umum, adapun Umar ia berkata: Pada keadaan tertentu. Maka aku (Abdullah bin Abdullah bin Abu Mulaikah) berdiri dan menemui Aisyah dan bercerita kepadanya apa yang dikatakan oleh Ibnu Umar Aisyah berkata: Tidak, demi Allah! Rasulullah saw. sama sekali tidak bersabda: Sesungguhnya mayit akan disiksa sebab tangis seseorang. Tetapi beliau bersabda: Sesungguhnya orang kafir itu ditambah siksanya oleh Allah sebab tangis keluarganya Sungguh, Allah adalah Zat yang membuat tertawa dan membuat menangis. Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain..
(Shahih Muslim No.1543)[5]

باب التشديد في النياحة
(BAB : Teguran keras terhadap perbuatan meratap)

وحدثنا ابن المثنى وابن أبي عمر. قال المثنى: حدثنا عبدالوهاب. قال:  سمعت يحيى بن سعيد يقول: أخبرتني عمرة؛ أنها سمعت عائشة تقول:  لما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم قتل ابن الحارثة وجعفر بن أبي طالب وعبدالله بن رواحة، جلس رسول الله صلى الله عليه وسلم يعرف فيه الحزن. قالت: وأنا أنظر من صائر الباب (شق الباب) فأتاه رجل فقال: يا رسول الله ! إن نساء جعفر. وذكر بكائهن. فأمره أن يذهب فينهاهن. فذهب. فأتاه فذكر أنهن لم يطعنه. فأمره الثانية أن يذهب فينهاهن. فذهب. ثم أتاه فقال: والله ! لقد غلبنا يا رسول الله ! قالت فزعمت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "اذهب فاحث في أفواههن من التراب". قالت عائشة : فقلت: أرغم الله أنفك. والله ! ما تفعل ما أمرك رسول الله صلى الله عليه وسلم. وما تركت رسول الله صلى الله عليه وسلم من العناء.

“Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Ketika berita gugurnya Ibnu Haritsah, Jakfar bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah sampai kepada Rasulullah saw., Rasulullah saw. pun duduk bersedih hati. Ia (Aisyah) berkata: Aku melihat dari celah pintu. Lalu datang seseorang mengabarkan kepada Rasulullah saw., katanya: Wahai Rasulullah saw., sungguh istri-istri Jakfar! Orang itu menceritakan tangis istri-istri Jakfar. Mendengar itu Rasulullah saw. menyuruh orang tersebut untuk melarangnya. Dia pun pergi, lalu kembali lagi, menuturkan bahwa istri-istrinya tidak mau menurut. Rasulullah saw. menyuruhnya lagi agar melarang istri-istri Jakfar meratap. Dia pun pergi menuju istri-istri Jakfar lalu kembali lagi kepada Rasulullah saw. sambil berkata: Demi Allah, mereka keras kepala, wahai Rasulullah. Aisyah menyangka bahwa Rasulullah saw. bersabda: Pergilah dan jejalkanlah debu tanah ke mulut mereka! Aisyah berkata: Aku berkata: Mudah-mudahan Allah menghinakanmu! Engkau tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan engkau tidak mau meninggalkan Rasulullah saw. bebas dari beban.” (Shahih Muslim No.1551)
حدثني أبو الربيع الزهراني. حدثنا حماد. حدثنا أيوب عن محمد، عن أم عطية. قالت:  أخذ علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم مع البيعة، ألا ننوح. فما وفت منا امرأة. إلا خمس: أم سليم، وأم العلاء، وابنة أبي سبرة امرأة معاذ، أو ابنة أبي سبرة وامرأة معاذ.

“Hadis riwayat Ummu Athiyyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. mengambil janji kami saat baiat, yaitu agar kami tidak meratapi mayit. Tidak ada di antara kami yang menepati baiat itu kecuali lima orang wanita; Ummu Sulaim, Ummul `Ala, putri Abu Sabrah (istri Muaz) atau putri Abu Sabrah dan istri Muaz.” (Shahih Muslim No.1552)


C.            Memahami Hadis Nabi Tentang : “Adzab bagi jenazah sebab tangisan / ratapan keluarganya”
Sekilas jika kita berusaha menela’ah beberapa hadis di atas, sangat terasa nuansa ta’budi yang sesekali muncul bersama tala’ah tersebut, mungkin paparan hadis-hadis di  atas bisa langsung dipahamai. Namun jika kita masuk pada rana justifikasi, boleh atau tidaknya menagisi/meratapi jenazah maka kita tentu perlu menanyakan beberapa item kasuistik baru yang muncul secara berkala terhadap hadis-hadis ini, apakah dosa orang lain bisa dilimpahkan pada orang lain?, kenapa harus tangisan/ratapan dan tengisan seperti apakah yang membuat Nabi Saw melarang menangisi jenazah?, disinilah perlunya diadakan beberapa pendekatan, jika sebagian pendekatan historis (Sababul Wurud) yang terpaparkan secara langsung pada hadis-hadis Nabi Saw tersebut, berikut akan kita kaji bersama bebrapa pendekatan lainnya terutama Psikologisnya.
ü  Menangis Menurut Psikologi.
Sudah banyak dilakukan penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa menangis memiliki manfaat bagi kesehatan manusia, baik manfaat fisik (jasmani) maupun manfaat psikis (ruhani). Dr Simon Moore, psikolog dari London Metropolitan University mengatakan, "Menangis adalah pelepasan emosi yang paling tepat saat kita tak bisa mengungkapkannya lewat   kata-kata " .  Menurut Profesor William Frey, ahli tangis dari AS, bahwa air mata yang dikeluarkan saat kita sedang emosional mengandung hormon endorphin atau stres sehingga bisa membuat perasaan lebih plong. Menangis juga diketahui bisa menurunkan tekanan darah dan denyut nadi.
Tangisan yang selalu disertai dengan keluarnya air mata dari kedua mata adalah reaksi alamiah ketika seseorang berada dalam kondisi tertentu, seperti gembira, sedih, sakit, takut. Memang tingkatan mental dan emosi manusia berbeda-beda; ada orang yang mudah menangis, ada pula yang sulit menangis. Artinya, ada orang yang menangis ketika merasakan sedikit saja gembira atau sedih, atau sakit, atau takut. Sementara orang lain tidak akan menangis kecuali jika sudah sangat gembira, sangat sedih dan sebagainya.
Tidak semua tangisan menunjukkan sifat cengeng atau lemah mental. Sebaliknya, orang yang jarang atau sedikit, atau bahkan tidak pernah menangis, belum tentu memiliki sifat pemberani atau kuat mental. Akan kita lihat nanti bahwa para Nabi termasuk Nabi Besar Muhammad Saw, Imam Ali as, para Imam dan para sahabat Nabi saw, sering kali menangis, padahal mereka adalah manusia-manusia pemberani dan tidak ada keraguan dalam hal ini.[6]
Jika melihat analisa Psikologi ilmiyah tersebut, kita akan berfikir menangis yang seperti apakah yang bisa melahirkan adzab bagi jenazah atau bahkan bagi orang yang menangis itu sendiri jika manfaatnya bagi naluri manusia sangat berharga terutama terhadap kesehatan dan emosional manusia sendiri.

ü  Perangai Jahiliyah yang masih merekat pada Umat Islam
وعن أبي مالك الأشعري رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « أربع في أمتي من أمر الجاهلية لا يتركونهن : الفخر بالأحساب، والطعن في الأنساب، والاستسقاء بالنجوم، والنياحة ». وقال : « النائحة إذا لم تتب قبل موتها تقام يوم القيامة وعليها سربال من قطران ، ودرع من جرب»  (رواه مسلم).
Dari shahabat Abu Malik Al-Asya’ri -radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya)-, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada umatku, ada empat sifat (perangai) Jahiliyyah yang belum mereka tinggalkan. (Sifat-sifat tersebut adalah): (1) berbangga dengan keturunan, (2) mencela nasab, (3) menyandarkan turunnya hujan kepada bintang-bintang, dan (4) Niyahah (meratapi orang yang telah meninggal dunia).” Kemudian Rasulullah bersabda: “Wanita yang meratapi kematian, jika dia tidak bertaubat sebelum ajal menjemputnya, maka kelak pada hari kiamat, dia akan dikenakan pakaian yang terbuat dari lelehan tembaga dan pakaian dari besi dalam keadaan tubuhnya berkudis dan berbau busuk.”[7]
Dengan demikian, meratapi orang yang telah meninggal dengan tangisan yang keras dan menyebut kebaikan-kebaikan si mayit berulang kali. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan  النائحة (orang yang melakukan niyahah)[8] dalam bentuk mu’annats (jenis wanita), bukan berarti hukum ini berlaku khusus untuk wanita saja, tetapi laki-laki pun masuk dalam konteks hadits tersebut. Kemudian mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan pelaku niyahah ini dalam bentuk mu’annats? Jawabannya adalah karena keumuman / kebanyakan yang melakukan niyahah seperti ini ketika terjadi prosesi kematian adalah wanita. Wallahu A’lam.
Orang yang meratapi mayat jika dia belum bertaubat sebelum meninggalnya, maka dia akan dibangkitkan di yaumul qiyamah dalam keadaan berpakaian dari lelehan tembaga dan memakai pakaian besi yang biasa dipakai untuk berperang. Maksudnya adalah dia akan disiram dengan cairan tembaga yang meleleh kemudian dinyalakan api pada mereka sehingga seperti pakaian tembaga. Bersamaan itu pula baunya sangat busuk dan berkudis. Kondisi yang demikian akan terus dirasakan oleh pelaku niyahah.[9]
Dari pemaparan tersebut tentu unsur bahya pada niyahah semakin terang adanya, karena niyahah pada jenazah merupakan salah satu karakter Jahiliyyah. Hal ini dimaksudkan karena adanya larangan untuk tasyabbuh dengan orang-orang Jahiliyyah. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan tentang empat sifat dan perangai Jahiliyyah dalam hadits ini dalam rangka memperingatkan umatnya supaya tidak terjatuh ke dalamnya.

ü  Bantahan Aisyah Radliyallahu ‘anha terhadap Hadis Nabi Saw. 
Ada sebagian orang yang berkata bahwa apabila terdapat sebuah hadits yang bertentangan dengan ayat Al-Qur’an maka hadits tersebut harus kita tolak walaupun derajatnya shahih. Mereka mencontohkan sebuah hadits : “Sesungguhnya mayit akan disiksa disebabkan tangisan dari keluarganya.” Mereka berkata bahwa hadits tersebut ditolak oleh Aisyah Radliyallahu ‘anha dengan sebuah ayat dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 18 :
Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 2t÷zé& 4 ...
”Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.” (Q.S Fathir :; 18)
Menurut Syaikh Al-Albany: ”Mengatakan ada hadits shahih yang bertentangan dengan Al-Qur’an adalah kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin Rasulullah SAW yang diutus Allah memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan Allah sebagai yang mengutus, bahkan sangat tidak mungkin hal itu terjadi. Dari segi riwayat/sanad, hadits di atas sudah tidak terbantahkan lagi ke-shahih-annya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Umar bin Khattab dan Mughirah bin Syu’bah, yang terdapat dalam kitab hadits shahih (Bukhari dan Muslim).” Adapun dari segi tafsir, hadits tersebut sudah ditafsirkan oleh para ulama dengan dua tafsiran sebagai berikut : 
a.       Hadits tersebut berlaku bagi mayit yang ketika hidupnya dia mengetahui bahwa keluarganya (anak dan istrinya) pasti akan meronta-ronta (nihayah) apabila dia mati. Kemudian dia tidak mau menasihati keluarganya dan tidak berwasiat agar mereka tidak menangisi kematiannya. Orang seperti inilah yang mayitnya akan disiksa apabila ditangisi oleh keluarganya. Adapun orang yang sudah menasihati keluarganya dan berpesan agar tidak berbuat nihayah, tapi kemudian ketika dia mati keluarganya masih tetap meratapi dan menangisinya (dengan berlebihan), maka orang-orang seperti ini tidak terkena ancaman dari hadits tadi.
Dalam hadits tersebut, kata al-mayyit menggunakan hurul alif lam (isim ma’rifat) yang dalam kaidah bahasa Arab kalau ada isim (kata benda) yang di bagian depannya memakai huruf alif lam, maka benda tersebut tidak bersifat umum (bukan arti dari benda yang dimaksud). Oleh karena itu, kata “mayit” dalam hadits di atas adalah tidak semua mayit, tapi mayit tertentu (khusus). Yaitu mayit orang yang sewaktu hidupnya tidak mau memberi nasihat kepada keluarganya tentang haramnya nihayah.
Demikianlah, ketika kita memahami tafsir hadits di atas, maka kini jelaslah bagi kita bahwa hadits shahih tersebut tidak bertentangan dengan bunyi ayat :”Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.”  Karena pada hakikatnya siksaan yang dia terima adalah akibat kesalahan/dosa dia sendiri yaitu tidak mau menasihati dan berdakwah kepada keluarga. Inilah penafsiran dari para ulama terkenal, di antaranya Imam An-Nawawi.

b.      Adapun tafsiran kedua adalah tafsiran yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah di beberapa tulisan beliau bahwa yang dimaksud dengan adzab (siksa) dalam hadits tersebut adalah bukan adzab kubur atau adzab akhirat melainkan hanyalah rasa sedih dan duka cita. Yaitu rasa sedih dan duka ketika mayit tersebut mendengar rata tangis dari keluarganya.
Tapi menurut Syaikh Al-Albani, tafsiran seperti itu bertentangan dengan beberapa dalil. Di antaranya adalah hadits shahih riwayat Mughirah bin Syu’bah : “Sesungguhnya mayit itu akan disiksa pada hari kiamat disebabkan tangisan dari keluarganya.”  Jadi menurut hadits ini, siksa tersebut bukan di alam kubur tapi di akhirat, dan siksaan di akhirat maksudnya adalah siksa neraka, kecuali apabila dia diampuni oleh Allah, karena semua dosa pasti ada kemungkinan diampuni oleh Allah kecuali dosa syirik. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãÏÿøótƒ br& x8uŽô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótƒur $tB tbrߊ y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8ÎŽô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #uŽtIøù$# $¸JøOÎ) $¸JŠÏàtã ÇÍÑÈ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’ : 48).

Banyak hadits-hadits shahih dan beberapa ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa seorang mayit itu tidak akan mendengar suara orang yang masih hidup kecuali saat tertentu saja. Di antaranya (saat-saat tertentu itu) adalah hadits riwayat Bukhari dari shahabat Anas bin Malik Radliyallahu ‘anhu :”Sesungguhnya seorang hamba yang meninggal dan baru saja dikubur, dia mendengar bunyi terompah (sandal) yang dipakai oleh orang-orang yang mengantarnya ketika mereka sedang beranjak pulang, sampai datang kepada dia dua malaikat.”
Kapan seorang mayit itu bisa mendengar suara sandal orang yang masih hidup ?. Hadits tersebut menegaskan bahwa mayit tersebut hanya bisa mendengar suara sandal ketika baru saja dikubur, yaitu ketika ruhnya baru saja dikembalikan ke badannya dan dia didudukkan oleh dua malaikat. Jadi, tidak setiap hari mayit itu mendengar suara sandal orang-orang yang lalu lalang di atas kuburannya sampai hari kiamat. Sama sekali tidak. 
Demikianlah, secara umum mayit yang ada di dalam kubur tidak bisa mendengar apa-apa kecuali saat-saat tertentu saja. Sebagaimana yang sudah diterangkan dalam beberapa ayat dan hadits di atas.[10]
ü  Tangisan Ala Rasulullah
Rasulullah Saw tentu adalah seorang manusia biasa yang memiliki sifat yang sama dengan manusia yang lainnya, naluri menagis dan rasa sedih tentu ada pada siapa saja (sebagaimana uraian sebelumnya tentang “Menangis menurut Psikolog”). Rasulullah yang diutus untuk memberikan uswah tauladan pada ummatnya tentu telah memberikan pedoman contoh yang baik setelah beberapa Hadis Beliau yang menjustifikasi sebuah sikap “Tangisan” terhadap Jenazah, ternyata mafhum mukhalafah dari larangan tersebut seolah tampak dari sikap (Fi’lun) Rasul terhadap Tangisannya Beliau sendiri di beberapa tempat dalah udara yang penug sedi dan duka. Jawaban dari larangan tentu adalah anjuran yang menjauhi dari larangan tersebut dengan sikap lain yang benilai beda (diisunahkan Nabi), Sebagaimana dalam Riwayatnya ;   
حدثنا أبو كامل الجحدري. حدثنا حماد (يعني ابن زيد) عن عاصم الأحول، عن أبي عثمان النهدي، عن أسامة بن زيد. قال:  كنا عند النبي صلى الله عله وسلم. فأرسلت إليه إحدى بناته تدعوه. وتخبره أن صبيا لها، أو ابنا لها، في الموت. فقال للرسول: "ارجع إليها. فأخبرها: إن لله ما أخذ وله ما أعطى. وكل شيء عنده بأجل مسمى. فمرها فلتصبر ولتحتسب" فعاد الرسول فقال "إنها قد أقسمت لتأتينها".
قال فقام النبي صلى الله عليه وسلم. وقام معه سعد بن عبادة ومعاذ بن جبل. وانطلقت معهم. فرفع إليه الصبي ونفسه تقعقع كأنها في شنة. ففاضت عيناه. فقال له سعد: ما هذا ؟ يا رسول الله ! قال "هذه رحمة. جعلها الله في قلوب عباده. وإنما يرحم الله من عباده الرحماء".

Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra., ia berkata: Kami sedang berada di dekat Rasulullah saw. ketika seorang di antara putri beliau menyuruh seseorang memanggil beliau dan memberi kabar bahwa anak putri beliau itu sedang menghadapi maut, Rasulullah saw. bersabda kepada utusan tersebut: Kembalilah dan kabarkan kepadanya bahwa apa yang Allah ambil dan Allah berikan adalah milik-Nya semata. Segala sesuatu di sisi-Nya adalah dengan batas waktu tertentu. Suruhlah ia untuk bersabar dan mengharap pahala. Utusan itu kembali dan berkata: Dia berjanji akan memenuhi pesan-pesan itu. Lalu Nabi saw. berdiri diikuti oleh Saad bin Ubadah dan Muadz bin Jabal. Aku pun (Usamah bin Zaid) ikut berangkat bersama mereka. Kepada Rasulullah saw. anak (dari putri beliau) diserahkan dan jiwanya bergolak seperti berada dalam qirbah (tempat air) tua. Kedua mata Rasulullah saw. menitikkan air mata. Lalu Saad bertanya: Apa arti air mata itu, ya Rasulullah? Rasulullah saw. bersabda: Ini adalah rahmat (kasih sayang) yang diletakkan Allah dalam hati para hamba-Nya. Sesungguhnya Allah mengasihi para hamba-Nya yang pengasih.
(Shahih Muslim No.1531)

حدثنا يونس بن عبدالأعلى الصدفي وعمرو بن سواد العامري. قالا: أخبرنا عبدالله بن وهب. أخبرني عمرو بن الحارث عن سعيد بن الحارث الأنصاري، عن عبدالله بن عمر. قال:  اشتكى سعد بن عبادة شكوى له. فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم يعوده مع عبدالرحمن بن عوف وسعد بن أبي وقاص وعبدالله بن مسعود. فلما دخل عليه وجده في غشية. فقال " أقد قضى ؟ " قالوا: لا. يا رسول الله ! فبكى رسول الله صلى الله عليه وسلم. فلما رأى القوم بكاء رسول الله صلى الله عليه وسلم بكوا. فقال " ألا تسمعون ؟ إن الله لا يعذب بدمع العين، ولا  بحزن القلب، ولكن يعذب بهذا (وأشار إلى لسانه) أو يرحم".

Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:Saad bin Ubadah mengalami sakit keras, lalu Rasulullah saw. menjenguknya bersama Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abu Waqqash dan Abdullah bin Masud. Ketika beliau tiba, beliau mendapatinya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Rasulullah saw. bertanya: Apakah ia telah meninggal dunia? Orang-orang yang hadir di sana menjawab: Belum, ya Rasulullah. Kemudian Rasulullah saw. menangis. Ketika para sahabat melihat tangis Rasulullah saw., mereka ikut menangis. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Tidakkah kalian mendengar bahwa sesungguhnya Allah tidak menyiksa karena air mata dan atau karena kesedihan hati. Tetapi Dia menyiksa atau mengasihi sebab ini. Beliau menunjuk ke lidah beliau (maksudnya karena ratapan yang diucapkan lidah karena menolak qada dan takdir Allah atas si mayit).
(Shahih Muslim No.1532)

Sangat jelas bahwa Rasulullah juga menangis dalam berduka atau menghadapi bencana lainnya, karena memang itu adalah naluri Nabi sebagai manusia biasa, namun tela’ah terhadap dua hadis di atas telah memberi ilustrasi tegas tentang tangisan yang memiliki batasan (agar tidak berlebihan sebagaimana kaum Jahiliyyah dulu), hanya sekedar tetesan air mata dan kesedihan hati yang dibalut dengan rasa kasih sayang, kesabaran, dan mengharapkan pahala dari Allah Swt yang diuswahkan oleh Baginda Rasulullah saw, dan tentu karena hal tersebut bukanlah yang menjadi penyebab lahirnya adzab bagi mayit/jenazah, melainkan penyelamat bagi keluarganya yang telah wafat dengan kasih sayang Allah yang diberikan dalam kondisi sedih seperti Rasulullah Saw. Berikut ini adalah saat-saat yang lainnya, ketika Rasulullah Saw “mengangis” :
1.      Rasulullah Saw. menangis ketika menjenguk Sa’ad bin Ubadah yang sedang sakit, dan orang-orang pun ikut menangis. Lalu beliau berkata, “Tidakkah kalian mendengar? Allah tidak mengadzab seseorang karena tetesan air mata, tidak pula karena kesedihan hati. Akan tetapi Allah mengadzab atau merahmati seseorang karena ini (beliau menunjuk ke lidah beliau) ”.
2.      Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, juga Sunan Abi Dawud dan Ibn Majah: Anas berkata, “Kami masuk bersama Rasulullah Saw., sementara Ibrahim (putra Rasul Allah saw) dalam keadaan sakratul maut. Wajah Rasulullah Saw. basah dengan linangan air mata. Melihat itu, Abdurrahman bin Auf berkata, “Engkau, ya Rasul Allah, (menangis) ?” Beliau menjawab, “Wahai Ibnu Auf, ini adalah rahmat.” Kemudian beliau menjelaskan lagi, “Mata menangis, hati bersedih, tapi kita tidak mengucapkan apa pun kecuali yang diridhai oleh Allah. Dan kami sangat sedih dengan perpisahanmu, wahai Ibrahim.”
3.      Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, juga Sunan Abu Dawud dan Nasâi, diriwayatkan bahwa salah seorang putri Rasulullah Saw. mengutus seseorang kepada beliau memberitakan bahwa anaknya meninggal, seraya meminta kepada beliau agar datang untuk melihat. Rasulullah segera berangkat dan ditemani oleh Sa’ad bin Ubadah dan beberapa sahabat lainnya. Jenazah anak itu diserahkan kepada Rasulullah yang sedang menagis terisak-isak, dan air mata beliau jatuh berderai. Sa’ad berkata, “Apa ini, wahai Rasul Allah?”. Beliau menjawab, “ Ini adalah rahmat, yang Allah ciptakan di dalam hati hamba-hamba-Nya. Allah hanya menyayangi hamba-Nya yang penyayang”. 
4.      Tangis Rasulullah Saw. untuk paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib. Dalam kitab Thabaqât Al-Kubrâ karya Ibnu Sa’ad dan Maghâzî Al-Wâqidi dikisahkan bahwa setelah perang Uhud, Rasulullah Saw. mendengar tangisan kaum perempuan Anshar yang menangisi keluarga mereka yang gugur syahid. Lalu Rasulullah saw berkata, “Akan tetapi Hamzah tidak ada yang menangisinya ”. Mendengar ucapan beliau itu, Sa’ad bin Muâdz mengajak kaum perempuan dari Bani Abdul Asyhal agar berkumpul untuk menangisi paman Nabi itu, yakni Hamzah ra. Sejak saat itu, setiap kali mereka akan menangisi mayit maka mereka memulai dengan menangisi Hamzah. 
5.      Rasulullah Saw. juga menangisi para syuhada yang gugur dalam perang mu’tah. Beliau telah lebih dahulu mengetahui gugurnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawâhah dan memberitahukan hal itu kepada penduduk Madinah dengan berlinangan air mata. 
6.      Secara khusus demi Ja’far bin Abi Thalib, Rasulullah Saw. mengumpulkan anak-anak Ja’far. Beliau menciumi mereka seraya kedua mata beliau bercucuran air mata. Asmâ, istri Ja’far bertanya, “Apa yang membuatmu menangis ?, Apakah berita tentang Ja’far dan pasukannya telah sampai kepadamu? “. Rasulullah Saw. menjawab, “Benar, mereka semua (para panglima itu) telah gugur hari ini.” Asmâ pun bangun dan berteriak lalu mengumpulkan kaum perempuan. Fatimah as masuk dalam keadaan menangis seraya berseru, “Aduhai pamanku.” Rasulullah Saw. berkata, “Menangislah orang yang akan menangis untuk orang seperti Ja’far ”. 
7.      Dalam Shahih Muslim dan lain-lain, dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berziarah ke pusara ibunda beliau. Di situ beliau menangis, sehingga membuat semua orang yang bersama beliau ikut menangis.
Pada dasarnya, dari sekian momen Rasulullah Saw menagis tersebut, ada penekanan yang terang dari Rasulullah Saw pada akhir hadis yang kedua (yang diriwatka oleh Abdullah bin Umar ra.) saat Beliau Saw memberi isyarat pada lidah Beliau sebagai tanda bahwa yang mendapatkan adzab adalah sebab lidah tersebut yang berlebihan meratapi jenazah tanpa ladasan akan substansi makna إنا لله و إنا إليه راجعون  (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.). Inilah sebenarnya yang telah dianjurkan oleh Allah Swt dalam FirmanNya pada Q.S Al-Baqarah : 155-156
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur &äóÓy´Î/ z`ÏiB Å$öqsƒø:$# Æíqàfø9$#ur <Èø)tRur z`ÏiB ÉAºuqøBF{$# ħàÿRF{$#ur ÏNºtyJ¨W9$#ur 3 ̍Ïe±o0ur šúïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÎÈ tûïÏ%©!$# !#sŒÎ) Nßg÷Fu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB (#þqä9$s% $¯RÎ) ¬! !$¯RÎ)ur Ïmøs9Î) tbqãèÅ_ºu ÇÊÎÏÈ   
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang Sabar.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[11] (Q.S Al-Baqarah : 155-156)
     
Jadi bukan hanya sekedar ucapan lisan yang tidak berakar ke hati, tapi bagaimana rumus dengan prinsip إنا لله و إنا إليه راجعون  bisa di aplikasikan dan menemani kita dalam kehidupan sehari, sehingga jika kita terkena musibah maka kita dapat langsung kembali pada prinsip إنا لله و إنا إليه راجعون  .  

D.            Kesimpulan

Kiranya Sari pemahaman terhadap sekompleksnya hadis tentang Adzab pada jenazah sebah tangisan kerabatnya, mulai cukup jelas dengan pemaparan hadis-hadis tersebut yang detil dan naratif pada ulasan sebelumnya.
Menangisi jenazah karena sayang kepadanya dan sedih karena kepergiannya adalah perkara yang wajar dan biasa bagi manusia. Karenanya Islam membenarkannya dan tidak melarangnya, karena hal itu sudah menjadi tabiat dasar manusia. Hanya saja, yang namanya tabiat pasti ada batasnya, dan semua tabiat yang sudah melewati batasnya tidak bisa ditolerir dalam Islam. Misalnya sifat marah, tertawa, bergurau, dan seterusnya yang masih bisa dibenarkan selama dia masih dalam batas yang wajar.
Demikian halnya menangisi jenazah, kapan dia melewati batas keluar dari batasan tabiat menjadi ratapan[12] atau raungan maka itu sudah menjadi tangisan yang diharamkan dalam Islam karena menunjukkan ketidaksabaran pelakunya dalam menghadapi takdir Allah Ta’ala. Akan tetapi selama dalam batas yang wajar, maka sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri -bersamaan dengan tingginya beliau dan sempurnanya keridhaan beliau terhadap takdir Allah- telah menangisi anak dan cucu beliau ketika keduanya meninggal. Bahkan bisa dikatakan menangisi orang yang jenazah dengan tangisan yang wajar menunjukkan adanya kasih sayang di dalam hati orang tersebut. Dan itu menunjukkan kabar gembira yang lain, yaitu Allah Ta’ala akan senantiasa merahmati orang yang di dalam hatinya ada sifat rahmat dan kasih sayang dan memegang kuat terhadap prinsip إنا لله و إنا إليه راجعون  , Sehingga terkesan tidak ber-tasyabbuh pada kaum jahiliyyah.
Metode pemahaman terhadap Hadis   إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه ('Sesungguhnya mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya atasnya) bisa dikaji melalui pendekatan historis (Asbabul Wurud)[13] dan perpaduan terdap hadis-hadis yang serupa. Pendekatan terhadap sosiologis dan antropologis tidak begitu menentukan terhadap analisa Hadis ini, salah satu sebabnya adalah kata kunci hadis ini (tangisan/ratapan) merupakan unsur naluriah (psikologis) manusia, siapapun dan dalam kondisi ruang dan waktu tertentu (berduka misalnya) pasti mengalaminya, sehingga penekanannya adalah pada sikap kesadaran pada akhlaq nabi serta ta’abbudiyyah akan ajaran Rasulullah Saw. 
Hadis nabi tersebut bersifat antisipatif dalam kelompok (namun lebih baik bila dimulai dari personal individual), sehingga penerapannya dalam individual bisa lebih sejati dengan adanya inisiatif antara sesama muslim, terutama dilingkungan keluarga. Karena pelimpahan siksaan akibat tangisan tidak hanya pada mayat saja, lebih jauh dari hal tersebut, yang meratapi/menagisi tersebut juga bisa dilimpahkan siksaan tersebut akibat kekeliruannya sendiri.
Karena hadis ini tidak terikat pada sosio-antropologis hadis (karena memang tidak diperlukan) maka alasan memanjakan hadis tersebut dengan sebab “terpaksa”[14] seperti pembolehan pada larangan-laranggan lainnya, sehingga seolah-olah kemungkinan besar menagis mayat karena alasan terpaksa “sulit terjadi” karena adanya hal naluria dan refletif dari manusia tersebut. Justru denggan adanya keterpaksaan ini, maka niat awal tangisan tersebut telah menafikan fungsi Hadis nabi tersebut.  
Disinilah kemudian diharapkan adanya upaya men-tadabbur-i firman Allah Swt dalam menjaga rohani keluarga secara bersama-sama terhadap rasa taqwa pada Allah Swt dan Rasul-Nya. Firman Allah Swt : 
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR...... ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka....”
(Q.S. At-Tahrim : 6)
Demikian pembahasan makalah kami ini, dan cukup sampai disini, jika kita memaksakan diri bertanya tentang ruh yang menjadi salah satu obyek  pembahas kita saat ini, maka jawabannya adalah : “Roh itu termasuk urusan Allah Swt”[15].  Akhirnya dengan tidak sanggupnya kami memaprkan hal-hal yang lebih detil dan sempurna terhadap pemahaman kami, kami harapkan adanya pembenahan wawasan yang masih kurang di dalam makalah ini, sebagai bahan tela’ah kami selanjutnya.   
Wallahu A’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Ad-Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al-Husain Al-Hanafi, terjm. Suwarrta Wijaya, Zafrullah Salim, 2006, Asbabul Wurud, Latar Belakang Historis imbulnya Hadis-Hadis Rasul, Jilid 2. Jakarta: Kalam Mulia.
Al-Khotib, Muhammad ‘Ajjaj, 1989, Ushul Hadis wa Musthalahuhu Beirut, Dar al-Fikr.
As-Suyuthi , Jalaluddin, t.th. Al-Luma’ Fi Asbabil Hadis, Beirut: Dar Al-Fikr
Ismail, Syahudi, 1995, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Perss.
Munawwar , Said Agil Husain, 2001 Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi, Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yokyakarta: Pustaka Pelajar
Syukur, Suparman, 2004, Etika Religius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
---------
Al-Qur’an Al-Kariem (Softwere Digital Versi 2.1)
Baraqbah, Abdurrahman, Menangis Sunnah Rasulullah (Artikel) (Posting ;14 Mei 2010, 06:48) http://www.ikmalonline.com/ [diakses: 24/01/2011]
Efendi, Sofyan, Softwere HadistWeb, Kumpulan Dan Referensi Belajar Hadist, website http://opi.11omb.com

Hamzah, Abu Sa’id,  Empat Perangai Jahiliyyah Yang Masih Menjangkiti Umat Ini (Catatan Kajian LKIBA) lihat di : http://www.assalafy.org

http://www.perpustakaan-islam.com/fatawa/detail.php?kategori=Manhaj &id_fatawa=8 [diakses pada 24 Januari 2011] 


[1] Syahudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Perss, 1995), hlm. 14
[2] Penulis menyamakan dua istilah tersebut (Hadis dan Sunnah) sebagaimana jumhur muhaddisin, lih. Muhammad ‘Ajjaj al-Khotib, Ushul Hadis wa Musthalahuhu (Beirut, Dar al-Fikr, 1989),  agar jelas dengan penekanan yang diambil oleh para ahli ushul fiqh yang lebih cenderung menggunakan istilah “Sunnah” daripada Hadis.
[3] Said Agil Husain Munawwar, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi, Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yokyakarta: Pustaka Pelajar,2001). Hlm. 25
[4] Imam Muslim menambahkan dalam satu riwayat: "pada hari kiamat", dan ini tidak bertentangan dengan tambahan di muka: "di dalam kuburnya". Karena, antara keduanya dapat dikompromikan, yaitu dia disiksa di dalam kuburnya dan pada hari kiamat. Tambahan Muslim ini menolak penafsiran "azab" (siksa) dengan penderitaan sebagaimana pendapat sebagian imam. Silakan periksa buku Kitabul Janaiz.
[5] Penulisan tebal (Bold) pada kalimat-kalimat tersebut adalah sebagai penekanan pada Maqolul Qoul Nabi (isi sabda Nabi), ringkasan terjemah hadis ini bisa dilihat/diunduh di website http://opi.11omb.com dalam bentuk softwere HadistWeb, Kumpulan Dan Referensi Belajar Hadist, karya Hamba Allah, Sofyan efendi.
[6] Lihat. Artikel Karya Abdurrahman Baraqbah (Posting ;14 Mei 2010, 06:48) http://www.ikmalonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=106:menangis-sunah-para-nabi&catid=48:jurnal-hawzah2&Itemid=45 [diakses: 24/01/2011]

[7] HR. Muslim no. 934 dalam Kitabul Jana’iz, Bab Ancaman yang Keras Terhadap Perbuatan Niyahah.
[8] Niyahah adalah meratapi sampai mencabik-cabik baju di dada, ini termasuk perbuatan jahiliyyah, sebagaimana tergambar dalam Syair Tharfah Ibnu Abad : -bila aku mati, ratapilah mayatku karena aku berhak atas ratap itu – robeklah baju di dada hai ummu Ma’bad. Inilah yang kemudian dilarang oleh Nabi, boleh jadi karena mayat merasa terusik mendengar tangis orang ketika dia menghadapi sakaratul maut. Lihat. Ibnu Hamzah Al-Husain Al-Hanafi Ad-Damsyiqi, terjm. Suwarrta Wijaya, Zafrullah Salim, Asbabul Wurud, Latar Belakang Historis imbulnya Hadis-Hadis Rasul, Jilid 2. (Jakarta: Kalam Mulia, 2006). Hlm. 26
[9] Pembahasan     Kitab    At-Tauhid Bab   Maa Ja-a   Fil  Istisqa’ bil  Anwa’   yang    disampaikan      oleh    Al-Ustadz Abu Sa’id Hamzah pada kajian LKIBA Ahad, 24 Muharram 1431 / 10 Januari 2010. lih. http://www.assalafy.org/mahad/?p=428#more-428

[10] Dikutip dari “Kaifa yajibu ‘alaina annufasirral qur’anil karim” edisi bahasa Indonesia “Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur’an”
[11] kalimat Ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.

[12] Disinilah kami paparkan perbedaan yang jelas antara menagisi (بكى- يبكى) ; tangisan biasa, hanya meneteskan air mata dan meratapi (ناح - ينُوح) ; tangisan yang berlebihan hingga meraung, bahkan menyobek-nyobek pakaian dengan berbagai kata-kata yang berlebihan terhadap si mayat, lengkapnya kembali lihat footnote no.8.
[13] Hal ini diperlukan sebagai pijakan awal dan menjadi tombak analisa untuk menargetkan takhsis (pengkhususan) dari yang ‘am, membatasi yang muthlaq, memerinci yang global, dan menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan hukum), menjelaskan i’lat (alasan) dan membantu menjelaskan hadis yang musykil. Lih. Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Luma’ Fi Asbabil Hadis (Beirut: Dar Al-Fikr t.th.), hlm 11-17 
[14] (Jika kita ke ilmu fiqh) Dalam penetapan hukum syari’at yang mengikat, kaidah fiqhiyyah bisa datang meringankannya dengan alasan yang bisa diterima oleh syar’i, kkaidahnya adalah الضرورات تبيح المحضورات  (keadaan yang terpaksa membolehkan hal-hal yang dilarang) lih. Suparman Syukur, Etika Religius (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 219
[15] Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Isra’ [17]: 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar