Kamis, 05 Januari 2012

Pendekatan dalam pengkajikan Islam

GENERAL REVIEW
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam
Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I

  1. Urgensitas Studi : Ringkasan Singkat Konseptual
Agama dan kehidupan beragama merupakan fenomena yang tak terlepaskan dari kehidupan dan perjalanan sejarah kehidupan manusia. Setidaknya ada lebih dari 5 agama besar berbeda yang yang mempunyai penganut di seluruh dunia. Agama-agama ini tumbuh dan berkembang sebagaimana yang disampaikan oleh penganutnya secara turun temurun. Walaupun secara garis besar agama-agama ini mempunyai aspek-aspek yang sama seperti Sistem keimanan, ritual, norma, namun sifat dan detailnya tentu berbeda. Ada yang inklusif pluralis ada pula yang eksklusif, ada yang missionary ada pula yang non-missionary. Penelitian agama perlu dilakukan untuk mengetahui fenomena agama dalam kehidupan dan mengetahui perbedaan antar agama agar bisa menentukan sikap yang seharusnya diambil oleh penganut agama masing-masing.
Terdapat sebuah pertanyaan menarik yang sampai sekarang belum menemukan jawaban yang solutif.
لماذا تأخر المسلمون وتقدم غيرهم؟
“Mengapa umat Islam terbelakang, sementara yang lainnya maju?”
Sebenarnya Islam adalah agama yang membawa peradaban dunia (QS. Al-Baqoroh:143). Namun, Keterbelakangan Islam menurut hemat penulis, diantaranya disebabkan kerena pemeluknya hanya mau kengkaji Islam secara normatif saja bahkan ada yang tidak mau mengkaji Islam sama sekali dengan alasan tunduk dan patuh kepada aturan yang sudah ada. Inilah yang membuat Islam kita semakin mundur dan berpikir primitif, serta tidak produktif.
Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan baru.
Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.
Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial.
Teori dasar mengenai proses peneitian yang bisa kami peroleh adalah adanya hubungan antara origin, change, dan development . dalam memahami agama, perlulah memunculkan “apa agama itu?” dan “apakai islam itu?”. Melalui sebuah teori dan pendekatan dalam kajian agama, kita dapat dibekali dalam mengambil ta’rif, atau definisi tentang agama, dan islam. disinalah kemudian diperlukan sikap absolutisme bukan essensialist definition, karena kita harus bisa membedakan mana keimana dan mana tradisi. inilah suatu sikap Dalam berfikir secara normative ataupun deskriptif.
Dalam proses penelitian, peneliti biasanya akan ditabrakkan oleh dua teori pendekan (Approach) yaitu ; idealist approach dan reductionalist approach, hal ini bisa muncul disebabkan agama bisa bersifat substantive, fugsional, dan simbolik. Sehingga penelitian agama seharusnya bukan sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhannya, tetapi juga dituntut mampu memahami gejala-gejala structural yang menyertainya.
Segala pendekatan dalam memahami keberagamaan boleh dilakukan, baik itu pendekatan sejarah, antropologi, sosiologi, dan berbagai pendekatan lainnya namun yang terpenting adalah bagaimana mengedepankan sisi humanisme dengan tujuan belajar hidup bersama dalam kedamaian meskipun berbeda agama, bangsa,, suku dan ras. Inilah hubungan religion & society terhadap theology dan humanistik.
Dalam memahami kitab suci (secripture), teori dan kerangkanya telah ada dalam pendekatan dalam pengkajian agama, bagaimana ada pertimbangan dalam memahami kitab suci tersebut, hubungan itu adalah, filsafat, sebagai penentu obyektifitas dan subyektifiitas yang memerlukan Building Bridge sebagai perantara keduannya. Selain itu pengaruh sejarah, antropologi, dan sosiologi juga merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam pemahaman kitab suci agama. Dan sebisa mungkin memudahkan umat islam dalam memahami dan bagaimana cara memahami kitab sucinya.
Metodologi berfikir secara multidiisipliner (Fenomenologi) dilakukan tidak lain untuk mencapai pemahaman secara essensial, inilah yang dipahami sebagai upaya penggabungan / inter subjektif antara obyektif dan subyektif. 
Teks sebagai salah satu sumber yang mendukung terhadap proses penelitian, juga menjadi kajian dalam tema ini, kitab suci yang bersifat non falsifiable tentu berbeda dengan hasil tefsiran terlebih lagi hasil kaya manusia. Teori yang muncul untuk membantu proses ini adalah, menhubungkan konsep teks, auther dan reader.
Kajian fikh merupakan hal yang masuk dalam sel-sel keagamaan, terutama Islam. bagaiaman proses pengambilan hukum yang dilakukan oleh individu maupun kelembagaan, pembentukan fatwa, tentu telang mengalami perubahan (change) dan countineuitas terhadap sumber hukum yang ada. Hal ini menjadi tuntutan yang disebut dengan The rise of education, jika perubahan zaman berkembang, maka keilmuan juga akan berkembang.
Dalam kajian agama islam, kita tidak bisa memfokuskan kajian semata-mata bersumber dari orang isalam itu sendiri, karena tidak menutupo kemungkinan pemahaman island dari kacamat luar islam atau bisa dikatan bersumber dari outsider, bisa meminimaliisir bias subjektifitas. Dalam hal ini, kita bisa memadukan beberapa posisi peneliti  agama, yaitu, complete participant, complet observer, observer as participant, dan participant as observer. Itulah yang diungkapkan oleh gagasan Kim Knot. Begitupun dalam pemahan dan pengkajian terhadap ritual dan tafsirnya.
Dalam kajian ritual keagamaan, ritual dapat dipahami dengan 3 teori kajian M. Danny, inilah kerangka teori yang ingin dibagikan oleh beliau : Topscosmos, Rite de Faasege, dan Liminalitas. Dan tentu, ketiganya dapat dipahami melalui konsep deskriptif  dan hubangan timbal balik terhadap General Pattern dan Partikular Pattern.
Sedangkan dalam kajian tafsir, misalnya dalam penelitian Federspiel yang mengambil lokasi penelitiannya di wilayah Indonesia, ia mampu memetakan secara methodology terhadap beberapa hubungan antara Firman Allah (kitab suci), kultur bangsa Arab, dan terhadap lingkaran ritual yang berkembang saat itu. dengan adanya pengaruh yang tajam dari pemikiran satu komunitas, yaitu Sunni yang memang cenderung tekstualis dan selalu bertengger pada pemegang kekuasaan. Dari sini, selain mampu meberikan gambaran peta klasifikasi,  Federspiel juga memberikan informasi, bahwa ada batasan yang perlu ditegaskan anatara mana yang disikapi sebagai contineuitas dan mana yang bertindak sebagai change dalam segala problematika penafsiran yang lahir saat itu.  
   
  1. Resonansi Hipnotisasi : Refleksi perkuliahan

ISLAM, masih berlangsung sampai detik ini, kita mengaku sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, tetapi dalam kenyataannya di bumi tersungkur, dimainkan pihak lain dan kitapun rapuh tak berdaya. Terlalu berjibun masalah yang mengitari kita, di manapun di sudut dunia, tetapi perpecahan umat dan perselingkungan ulama dan penguasa yang semakin memperburuk keadaan belum juga usai. Untuk berapa lama lagi suasana sekarat semacam ini “setia” bersama kita? Kita lah yang akan menjawabnya bersama-sama. Jawaban solutif yang diungkap Syafii Maarif berdasarkan yang terbaca dalam “Jawab-i Syikwah” adalah beracu pada syarat tunggal : beriman dan berislam secara autentik di bawah bimbingan kenabian. Bukan yang lainnya. Jawaban yang terasa mahal, tetapi menuntut ketulusan dan sikap hati yang bening. Karena ada kekhawatiran menempuh jalan di luar itu, hanya akan menyeret kita ke dalam “lingkaran setan” yang tak jelas ujung pangkalnya. 
Ilustrasi resonansi  tadi (entah) sedikit mengantarkan kita pada satu titik opini realitas tentang teologis dan normatifis yang selama ini menjadi panorama “mimpi indah” bagi kalangan umat beragama (terutama umat muslim). Lalu bagaimana kita memahami Islam secarah universal jika selama ini Islam banyak dipahami dari segi teolgis dan normative saja. Karena sifatnya (teolgis dan normative) yang partikularistik, M. Amin Abdullah-pun mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.
Berdasar pada probema tersebut, berbagai upaya solutif telah dicoba dalam kajian dan penelitian agama-agama, tentu ada banyak pendekatan yang kemudian muncul sebagai titik cahaya berkedap-kedip bagi tujuan esensial dari agama itu sendiri (baca : Islam), muncul berbagai pendekatan lain seperti Antropologis, Sosiologis, Filosofis, Historis, kebudayaan, hingga Psikologis. Inilah yang kemudian mengokohkan Abudin Nata untuk memuntahkan argumentasinya, bahwa agama dapat dipahami bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normative belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.
Studi terhadap “Pendekatan Dalam Pengkajian Islam” bagi kami merupakan salah satu cara yang bisa membuka paradigma pemahaman yang sempit menjadi universal, agama islam tidak mutlak dipahami sebagai doktrinisasi sepihak saja, butuh bantuan kerangka teori sistematik dan metodologik yang detail, yang kemudian dengan mudahnya kita duplikasikan dalam aplikasif maupun transfer of knowlage sesuai dengan problematika keagamaan yang muncul di sekitar kita. Konsep dan kerangka teori mengenai pemahaman agama islam, sedikit banyak telah kami dapatkan dalam mata kuliah ini.
Kami sedikit tegang dalam mengikuti proses perkuliahhan yang bersifat universal absolutisme ini, bagaimana tidak, pisau pemikiran yang telah kami peroleh sejauh ini masih diasah dari lingkungan luar kampus dan telah mencetak kami menjadi fanatif akan islam, tapi yang disayangkan fanatic ternyata belum tahu secara essensial pemahaman dan efek solsial serta antropologinya, pada saat itu kami sadar bahwasanya humanitas adalah kepentingan bersama, bukan kelompok atau individu tertentu saja.
Penyaringan keilmuan yang seharusnya, bukanlah membuang ampas karena perbedaan dari segala aspek, terutama beda agama. Agak sulit untuk menjustifikasi diri dari dalam diri, islam dari dalam islam. dalam perkuliiahan ini, kami bisa menggunakan berbagai “kaca mata” pandangan penelitian, tidak ada yang salah dalam hal ini, karena kami pribadi masih sulit dan bingung untuk mengkondisikan secara subyektif. Multidisipliner inilah yang bisa menjadi jembatan, mengurangi dampak bias yang terkesan normatisme fanatik. Hal ini dikarenakan pola piker yang masih cenderung bertahan dalam teologis saja, tidak mmengenal saintifikasi religiuitas, dan religiuitas santifik.
Selain fungsinya secara aplikatif, pada dasarnya mata kuiah ini telah melatih mahasiswa untuk mampu melakukan Change and Contineu secara berkala dalam kajian agama. Kita terlatih untuk selalau menghadirkan kerangka teeori sebelum beropini, dan bahkan selalu mempertimbangkan tujuan dan manfaat kajian itu, apakah memiliki contribusi to knowledge atau sebaliknya. Inilah bibit  faramework  yang butuh disiangi dan diremajakan terus menerus, terutama kami sebagai agent of islamic research. Tuntutan keilmiyahan menjadi pilihan, dan itu butuh konsep dan kerangka teori yang telah sukses memberika kontribusinya bagi kalangan ilmuan.
Essensi yang paling essensial dari perkuliahan ini adalah efek dari kajian terhadap social humanity, sudah munculkah pangeran-pengeran pembawa peacefulness and trustworthiness , sudah lahirkah muslim yang multidisipliner and intersubjektif ? belum tidaknya bisa dilihat secara fenomenologis agama, masih berjamur atau tidak kekerasan anatar sesama manusia, bukan sesama  agama. Bagaimana menyelesaikannya secara nalar dan sikap, masiih berbau normative ataukah deskriptif. Para sarjana muslim-lah yang akan menjawabnya mulai detik ini.


  1. Implikasi terhadap Design Tessis
Design tesis yang telah kami rancang cukup dipengaruhi oleh alur cerita perkuliahan “Pendekatan Dalam Pengkajian Islam”. judul tesis yang rencananya akan kami angkat dalam proposal Tessis adalah :
PENDIDIKAN PESANTREN
BERBASIS KARYA DAN KEWIRAUSAHAAN
(Studi Kasus dan Manajemen di Pesantren Basmala Indonesia-Ngaliyan Semarang)
           
Dalam diskusi perkuliahan (Metodologi Penelitian Pendidikan Islam) yang telah membahas rancangan proposal kami ini, masih nampak sikap normative terhadap hakikat pesantren sebagai pencetak ulama. Hal ini terbukti dari beberapa tanggapan kekhawatiran adanya pesantren berbasis karya dan kewirausahaan ini yang justru kehilangan jati diri “pesantren yang sejatinya pesantren”, karena menurut sebagian orang, pesantren terkesan untuk ilmu akhirat saja, kalau sudah bedampak ke usaha mengejar dunia berarti pesantren sudah megalami pergeseran bias makna dan essensinya.
Dari sisni peran sikap perkuliahan “pendekatan dalam pengkajian islam” menjadi begitu penting dalam mengokohkan rencana kami ini, satu kata yang menjadi kata kunci yang menjadi solusi adalah “ekonomi”. Kata inilah yang menjadi kegelisahan kami selama ini. pesantren sebenarnya bisa dikatakan embrio dalam memakmurkan agama, dan bangsa. Sesuai dengan teori perkuliahan ini, bahwasanya perkembangan zaman akan mempengaruhi pola piker keilmua seseorang, dan teori ilmu pengetahuan itu berkembang sesuai dengan data-data yang dimiliki oleh peneliti.
Agama dengan iman dan kepercayaannya diharapkan ada pada garda terdepan perubahan sosial dan perbaikan derajat hidup dan kehidupan umatnya. Mungkin tidak berlebihan menempatkan nilai-nilai iman yang emansipatif menjadi obor penerang ritual sosial yang membangkitkan bangsa. Pada batasnya, tugas mulia hadirnya agama adalah untuk membangkitkan umat dari ketertinggalan. Ketertinggalan yang berarti kemiskinan dalam Islam dianggap sebagai persoalan serius sekaligus berbahaya, karena kemiskinan terkadang menjadikan tingkat keimanan menjadi terganggu dan justru dikhawatirkan hilang atau dengan kata lain menjadi kafir.  
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tidak hanya di desa-desa, namun juga di kota-kota. Di balik kemewahan gedung-­gedung pencakar langit di kota, misalnya, tidak terlalu sulit dijumpai rumah-­rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan. Berbagai program sudah dilakukan untuk mengatasi persoalan sosial tersebut, tetapi anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru semakin bertambah. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia.
Terlepas dari makna “miskin” itu sendiri, baik bersifat absolute, relative, cultural, maupun structural. Ada identitas status yang berbeda di balik kata itu, yaitu “kaya”. Pemaknaan kata kaya inipun butuh pemahan yang menguras tenaga, karena kaya juga bisa bermakna secara absolute, relative, cultural, maupun structural pula. Bagaimana kita menyikapi kedua kata itu. Tentu butuh rekonstrusi kebijakan dan strategi, serta pemanfaatan pendekatan kajian islamnya. Seperti basic needs approach, income approach,  human capability approach, and objective and subjective approach (the welfare approach).  Ada banyak fenomena yang bisa dilirik kami lirik mmengenai pesantren terkain dengan problemmatika “perut” dan “hati”. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Amin Abdullah dalam salah satu tulisannya mengenai “Usaha Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional Ditinjau Dari Agama”, dalam memberikan isu-isu staratigis dalam penanggulangan “kemiskinan” melalui pendidikan, yaitu :
1.      Pesantren sebagai center for community development yang efektif untuk akselerasi penyejahteraan masyarakat muslim pedesaan.
2.      Pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan berbasis pesantren atau lembaga-lembaga keagamaan sejenis dan pentingnya konservasi lingkungan hidup.
3.      Pesantren masyarakat, dan kewirausahaan
4.      Pengembangan Ekonomi Pesantren melalui Paradigma Integrasi dan Interkoneksi Keahlian
5.      Pengembangan Ekonomi masyarakat pedesaan, pesantren dan potensi pariwisata

Selain potensi pesantren yang bisa  mengembangkan urusan “hati dan dompet”, kita dan pesantren sudah saatnya melihat realitas kasus keterbelakangan Negara. Karena dari sana akan lebih tampak jika peran pesantren dalam pengembangan ekonomi begitu berarti, berikut ini adalah beberapa realita keterpurukan bangsa, dan kebingungan bangsa harus memulai dari mana.
Realita saat ini jumlah pengangguran semakin membengkak, Kemendiknas mencatat, tahun lalu (2010) jumlah penganggruan tersebut tidak kurang dari 8,7 juta jiwa[1], sedangkan jumlah wirausaha yang mampu bersaing dan diharapkan mampu menekan pengangguran masih minim, sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syarifuddin Hasan saat berkunjung di Sulawesi Barat, meliau mengatakan bahwa : "Jumlah wirausaha di Indonesia masih perlu digenjot karena dianggap masih sangat rendah sehingga tidak dapat mendukung tumbuhnya perekonomian di Indonesia," Ia juga  mengatakan, jumlah wirausaha di Indonesia hanya sekitar 0,24 persen dari jumlah penduduk di Indonesia yang sekitar 238 juta jiwa. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan jumlah wirausaha di beberapa negara luar yang tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi. Menurut dia, jumlah wirausaha di luar negeri, seperti Amerika Serikat yang merupakan negara maju di dunia, mencapai sekitar 11 persen. Jumlah wirausaha di Singapura juga tinggi, mencapai 7 persen, dan di Malaysia mencapai 5 persen. Syarifuddin Hasan mengatakan, melihat perbandingan jumlah wirausaha di negara maju dengan jumlah wirausaha di Indonesia, maka wajar jika ekonomi di Indonesia juga masih melambat. Oleh karena itu, ia mengatakan, Pemerintah Indonesia sedang berfokus meningkatkan jumlah wirausaha agar dapat berperan dalam mendukung ekonomi negara agar lebih maju pada masa mendatang. Lebih tegas pula Syarifuddin Hasan mengharapkan :
"Generasi muda di semua daerah harus mengembangkan sektor kewirausahaan dengan mendorong mereka menjadi pengusaha dan mendapat dukungan pemerintah, masyarakat di Indonesia harus diubah agar tidak lagi menjadi pencari kerja, tetapi menyediakan lapangan kerja melalui kreasi dan kreativitas yang bermanfaat bagi ekonomi Negara.[2]

Pengembangan entrepreneurship (kewirausahaan) adalah kunci kemajuan. Mengapa? Itulah cara mengurangi jumlah penganggur, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomi. Lebih jauh lagi dan politis, meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat.[3] Dalam ranah pendidikan, persoalannya menyangkut bagaimana dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia terampil dari sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang inspiratif-pragmatis. Praksis pendidikan, lewat kurikulum, sistem dan penyelenggaraannya harus serba terbuka, eksploratif, dan membebaskan. Tidak hanya praksis pendidikan yang link and match (tanggep), yang lulusannya siap memasuki lapangan kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja. 
Hasil pengamatan Panelis Agus Bastian,  lebih jauh lagi memotret lemahnya jiwa kewirausahaan. Data yang diperoleh, untuk sarjana yang relatif potensial terserap di lapangan kerja pun, sampai pertengahan tahun lalu 70 persen dari 6.000 sarjana pertanian lulusan 58 perguruan tinggi di Indonesia menganggur. Merekalah bagian dari 9,43 juta atau 8,46 persen jumlah penduduk pada Februari 2008. Tidak imbangnya jumlah pelamar kerja dan lowongan kerja, gejalanya merata di seluruh pelosok—bahkan jumlah penganggur terdidik semakin membesar—menunjukkan kecilnya jiwa kewirausahaan. Para lulusan lebih tampil sebagai pencari kerja dan belum sebagai pencipta lapangan kerja.[4]
Melihat kompleksnya probelamtika diatas dan berangkat dari kerangka pemahaman tersebut, perubahan dari stagnasi lembaga pendidikan di Indonesia terutama pesantren sebagai lembaga yang memiliki inisiatif kemandirian, kedekatan dengan grassrtoot masyarakat, dan kekuatan ideologis. Perubahan dimaksukdkan membewa harapan untuk mendorong pesantren ke tengah dari posisi marginal sebelumnya, menempatkannya sebagai elemen penting pembangunan melalui optimasi peran emansipatorik.
Mengkait situasi kekinian nampaknya perekonomian menjadi isu penting pembangunan yang memprioritaskan kesejahteraan masyarakat, maka wajar bila diantara perubahan yang terjadi bersentuhan dengan bidang garapan perekonomian. Pemberdayaan ekonomi lebih tampak pada tipe pesantren mutakhir (modern).

  1. Penutup
Demikianlah general review yang bisa kami paparkan, pemahaman terhadap apapun, terutama terhadap problematika agama, saat ini sangat membutuhkan kerangka teori yang sistemik (framework), hal ini agar dapat membantu terciptanya islam yang universal karena pada dasarnya agama selalu mencakup dua entitas yang tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan, yaitu pertama, normativitas yang  menyangkut teks, ajaran, belief, dan dogma. Kedua historisitas yang menyangkut praktik dan pelaksanaan ajaran, teks, belief, dogma  tersebut dalam kehidupan konkrit di lapangan, seperti di lingkungan kehidupan komunitas  seperti organisasi sosial keagamaan,  masyarakat pedesaan (rural) atau  perkotaan (urban),  situasi konteks politik (regim pemerintahan order lama, orde baru, dan orde reformasi),  jaman yang berbeda (abad tengah, modern, postmodern), dan masih banyak lagi potensi polemic yang bisa muncul dalam beberapa kesempatan. Semoga dengan adanya studi “pendekatan dan pengkajian islam” ini, menjadi jawaban dan pengantar tercapainya kedamaian dan kesejahteraan ummat dan bangsa baik di dunia dan di akhirat.


                               

               
Kontak Silaturahmi:
Nama       : M. alfithrah Arufa, S.Pd.I
Alamat     : Jl. Rambutan No. 26, Kendari, Sulawesi Tenggara, 93117
Phone      : 081332219181 (Simpati) / 087738946046 (XL)
Email       : alfithrah_syauqi@yahoo.com



[2] Erlangga Djumena,  Jumlah Wirausaha Indonesia Masih Rendah, Harian Kompas Edisi Minggu (26/2/2011).
[3] Sularto, Urgensi Pendidikan Kewirausahaan, Harian Kompas Edisi Jum’at (09/04/2010)
[4] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar