Kamis, 05 Januari 2012

Pemberdayaan SDM dan Personalia Pend. Islam

STRATEGI PEMBERDAYAAN SDM dan
PERSONALIA PENDIDIKAN ISLAM
(Analisa Penempatan/Penugasan Tenaga kependidikan)

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I


A.    Pendahuluan
APA JADINYA, jika suatu posisi/jabatan dikelolah oleh orang yang bukan pakarnya atau paling tidak yang kurang berkompempeten di situ? “The right man on the right place”, orang yang tepat pada tempat yang tepat pula. Simpan, renungkan dan ajaklah kalimat principle tersebut “dalam-dalam” sebelum kita membahas lebih lanjut obyek kajian kita saat ini. sebuah prinsip yang jelas dan terang maksudnya itu seolah menjadi “bomerang” bagi realitas pendidikan Islam di negeri kita yang acapkali tampak mengabaikan atau bahkan sengaja untuk tidak mau tahu tentang prinsip penting ini. prinsip ini seirama dengan sabda Rasulullah SAW dalam salah satu hadisnya,
“Jika suatu urusan tidak diserahkan pada ahlinya
maka tunggulah kehancurannya”

Salah satu tantangan penting yang dihadapi sekolah, perguruan tinggi maupun universitas adalah bagaimana mengelolah sebuah mutu. Mutu bagi setiap institusi merupakan agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas yang paling penting. Secara umum, Tom Peters dan Nancy Austin menyatakan bahwa mutu adalah sebuah hal yang berhubungan dengan gairah dan harga diri.[1]
Namun, mutu hanya akan menjadi teka-teki yang makin membingungkan  jika komponen dasar yang dinamakan “manusia” mengalami error sindrum dalam pengembangan sumber dayanya. Sehingga lebih kondusif-solutif jika sumber daya manusia penting untuk dikembangkan. Dimulai dengan pengembangan manusia (human development), Pengembangan  sumber daya manusia (human resources development) hingga ke tahapan Manajemennya (human resources management). [2]
Bagaimanakah tela’ah terhadap konsep serta problematika penempatan tenaga pendidik yang selama ini juga cukup mempengaruhi terhadap out put dan out come dunia pendidikan selama ini? dengan kata lain kebutuhan kualitas sumber daya manusai telah meneruh perhatian yang kuat dalam pengembangan pendidikan, sebab telah banyak merespon sumber daya manusia yang berakar dari lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri.

B.     Hantaran tentang Sumber Daya Manusia
1.      Pengertian Sumber Daya Manusia                 
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah paling sempurna dengan struktur jasmaniah dan rohaniah terbaik di antara makhluk lainnya. Muzayyin Arifin mengatakan bahwa dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang yang menurut aliran psikologi behaviorisme disebut pre potence reflex (kemampuan dasar yang secara otomatis berkembang).[3]
Kemampuan dasar tersebut kemudian dikenal dengan istilah sumber daya manusia atau disingkat dengan SDM. Sumber Daya Manusia (SDM) secara konseptual memandang manusia sebagai suatu kesatuan jasmani dan rohani. Oleh sebab itu, kualitas SDM yang dimiliki oleh suatu bangsa dapat dilihat sebagai sinergistik antara kualitas rohani dan jasmani yang dimiliki oleh individu dari warga bangsa yang bersangkutan.
Kualitas jasmani dan rohani tersebut oleh Emil Salim, seperti dikutip oleh Anggan Suhandana, disebut sebagai kualitas fisik dan non fisik. Lebih lanjut, wujud kualitas fisik ditampakkan oleh postur tubuh, kekuatan, daya tahan, kesehatan, dan kesegaran jasmani. Dari sudut pandang ilmu pendidikan, kualitas non fisik manusia mencakup ranah (domain) kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kualitas ranah kognitif digambarkan oleh tingkat kecerdasan individu, sedangkan kualitas ranah afektif digambarkan oleh kadar keimanan, budi pekerti, integritas kepribadian, serta ciri-ciri kemandirian lainnya. Sementara itu, kualitas ranah psikomotorik dicerminkan oleh tingkat keterampilan, produktivitas, dan kecakapan mendayagunakan peluang berinovasi.[4]
Sebenarnya tiga kata yang terdapat dalam istilah sumber daya manusia, yaitu: sumber, daya, dan manusia, tak ada satupun yang sulit untuk dipahami. Ketiga kata itu tentu mempunyai arti dan dengan mudah dapat dipahami artinya. Secara sederhana dapat didefinisikan sebagai daya yang bersumber dari manusia. Daya ini dapat pula disebut kemampuan, tenaga, energi, atau kekuatan (power).[5]
Walaupun demikian, istilah sumber daya manusia telah didefinisikan bermacam-macam oleh para pakar pendidikan maupun psikologi. Diantaranya ialah apa yang telah diutarakan oleh Yusuf Suit yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sumber daya manusia adalah .kekuatan daya pikir dan berkarya manusia yang masih tersimpan dalam dirinya yang perlu dibina dan digali serta dikembangkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan kehidupan manusia.[6]

2.      Karakteristik Sumber Daya Manusia (SDM) yang Berkualitas
Para pakar khususnya futurolog pendidikan telah menyusun berbagai skenario mengenai karakteristik manusia atau masyarakat abad 21, salah satunya sebagaimana pendapat Robert Reich yang dikutip oleh Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed., mengemukakan bahwa manusia berkualitas yang cerdas itu memiliki ciri-ciri antara lain:
a.       Added Values (memiliki nilai tambah, keahlian, profesionalisme)
b.      Abstraction System Thinking (mampu berpikir rasional, mengabstraksikan suatu persoalan secara sistematis melalui pendekatan ilmiah objektif)
c.       Experimentation and Test (mampu berpikir di balik data-data dengan melihat dari berbagai sudut)
d.      Collaboration (mampu bekerja sama, bersinergi).

Gambaran di atas jelas merupakan suatu karakteristik nilai-nilai mentalitas yang harus tampak pada profil dan penampilan (performance) sumber daya manusia (SDM) abad 21. Dalam tingkat tertentu gambaran rumusan di atas relevan dengan ciri manusia modern seperti dirumuskan oleh Alex Inkeles sebagaimana dikutip oleh Syahrin Harahap, yaitu: kecenderungan menerima gagasan-gagasan baru, kesediaan menyatakan pendapat, kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah lalu, rasa ketepatan waktu lebih baik, keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi, menghargai kekuatan ilmu dan teknologi serta keyakinan bahwa keadilan bisa ditegakkan.[7]
Nanang Fattah menyebutkan bahwa SDM terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi kualitatif dan dimensi kuantitatif. Dimensi kualitatif mencakup berbagai potensi yang terkandung pada setiap manusia, antara lain pikiran (ide), pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memberi pengaruh terhadap kapasitas kemampuan manusia untuk melaksanakan pekerjaan yang produktif sedangkan dimensi kuantitatif adalah terdiri atas prestasi dunia kerja yang memasuki dunia kerja dalam jumlah waktu belajar. Jika pengeluaran untuk meningkatkan kualitas SDM ditingkatkan, nilai produktifitas dari SDM tersebut akan menghasilkan nilai balik (rate of return) yang positif.[8]
Tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain ditandai dengan adanya unsur kreatifitas dan produktifitas yang direalisasikan dengan hasil kerja atau kinerja yang baik secara perorangan atau kelompok. Permasalahan ini akan dapat diatasi apabila SDM mampu menampilkan hasil kerja produktif secara rasional dan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang umumnya dapat diperoleh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas SDM.[9]
Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan memberikan manfaat pada lembaga berupa produktifitas, moral, efisiensi kerja, stabilitas, serta fleksibilitas lembaga dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun dari luar lembaga yang bersangkutan. Fungsi dan orientasi pendidikan dan peningkatan kualitas SDM telah dibuat dalam suatu kebijakan Depdiknas dalam tiga strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu: 1) Pemerataan kesempatan endidikan, 2) Peningkatan relevansi dan kualitas pendidikan dan 3) Peningkatan kualitas manajemen pendidikan.[10]       
Dari batasan ini dapat disimpulkan bahwa proses pengembangan sumber daya manusia itu terdiri dari perencanaan (planning), pendidikan dan pelatihan  (educationand training), dan pengelolaan (management). 

C.    Analisis Jabatan : Sebuah Strategi Perekrutan Dan Penempatan.
ORGANISASI ataupun instansi terdiiri dari posisi-posisi yang harus diisi. Analisis jabatan (Job Analysis) merupakan prosedur yang melaluinya anda dapat menetapkan tugas-tugas dari posisi ini dan karakteristik untuk orang yang hendak diangkat untuk itu. Analisis menghasilkan informasi ttentang tuntutan jabatan, yang selanjutnya digunakan untuk mengembangkan uraian jabatan-job description (apa yang terkandung dalam jabatan) dan spesifikasi jabatan-job specification (orang macam apakah yang harus digaji dalam jabatan tersebut).[11]
Dari analisa jabatan ini kemudian menghasilkan uraian jabatan. Hal ini merupakan suuatu daftar tugas-tugas, tanggung jawab, hubungan laporan, kondisi kerja, tanggung jawab kepenyeliaan (kepangawasan) suatu jabatan. Selain uraian jabatan tersebut, analisis jabatan juga menghasilkan spesifikasi jabatan yang menjadi suatu  daftar dari “tuntutan manusiawi” suatu jabatan yakni, pendidikan, keterampilan, kepribadian, dan lain-lain yang sesuai.[12]
Analisis  jabatan ini pada dasarnya sudah masuk dalam basis kegiatan manajemen SDM. Hal ini tentu akan menghasilkan banyak informasi yang saling terkait yang berguna dalam mengambil keputusan jabatan –upah  dan gaji, penilaian kinerja, keputusan perekrutan dan seleksi, hingga tuntutan ppelatihan selanjutnya bagi karyawan dalam jabatan/posisi barunya. Semisal kompensasi (dampak gaji dan bonus) yang menjadi prakiraan nilai untuk masing-masing jabatan, hal ini dikarenakan kompensasi tergantung pada keterampilan dan tingkat pendidikan yang ditunntut dari suatu jabatan, resiko keselamatan, tingkat tanggung jawab, dan lain-lain –semua factor ini dinilai mmelalui analisis jabatan.[13]  

D.    Konsep umum Penempatan karyawan                        
TUJUAN DARI SEBUAH SELEKSI adalah untuk memilih individu terbaik untuk sebuah posisi kerja tertentu dari sekian banyak calon yang tersedia. Setelah proses seleksi atau pemilihan tersebut selesai, maka langkah penting berikutnya adalah menindak lanjuti prosedur seleksi tersebut dengan sebuah program penempatan kerja yang terakomodasi dengan baik. Langkah ini ada hubungannya dengan mencocokkan orang yang tepat pada posisi kerja yang tepat pula.
Penempatan merupakan tindakan pengaturan atas seseorang untuk menempati suatu posisi atau jabatan. Meskipun tindakan penempatan ini mengandung unsur uji coba yang menyebabkan adanya tindakan penempatan kembali namun pada dasarnya penempatan tenaga kependidikan ini merupakan tindakan yang menentukan keluaran dan komposisi ketenagaan dilihat dari kepentingan keseimbangan struktur organisasi pendidikan nasional. Juga tindakan penempatan ini merupakan tindakan terpadu antara apa yang dapat tenaga baru perlihatkan (kerjakan) dengan tuntutan-tuntutan pekerjaan, kewajiban-kewajiban dan hal-hal yang ditawarkan dari jabatan tersebut.
Karena itu suatu prinsip yang mengatakan “the right man on the right place” (orang yang tepat pada tempat yang tepat) haruslah dipenuhi. Selain itu Penempatan juga merupakan proses penanganan pegawai baru yang sudah melaksanakan pendaftaran ulang untuk diberi tahu pada bagian seksi mana mereka ditempatkan.
Dalam konteks penempatan ini, adanya mutasi (perpindahan pegawai) dari satu daerah ke daerah lain atau dari satu bidang kerja ke bidang kerja yang lain dapat dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat berkenaan dengan kebutuhan kuantitas maupun kualitas. Mutasi atau perpindahan di kalangan tenaga kependidikan dapat menjadi alternatif penting untuk pengembangan organisasi.
Penempatan ini merupakan proses penugasan/pengisian jabatan atau penugasan kembali pegawai pada tugas/jabatan baru atau jabatan yang berbeda.[14] Penempatan/Penugasan ini dapat berupa :
  1. Penugasan pertama bagi pegawai madrasah yang baru direkrut tetapi dapat juga melalui promosi. Promosi adalah menaikkan jabatan seorang pegawai madrasah ke jabatan lain yang memiliki tanggung jawab lebih besar
  2. Pengalihan (transfer). Transfer adalah pemindahan pegawai madrasah dari satu jabatan ke jabatan yang lain yang memeliki tangggungjawab yang sama, gaji yang sama dan level yang sama.
  3. Penurunan jabatan (demosi). Demosi adalah pemindahan pegawai madrasah dari jabatan lain yang memiliki tanggg jawab yang lebih rendah, gaji rendah dan level madrasah yang lebih rendah.
  4. Pemutusan hubungan kerja bagi pegawai yang telah bekerja.[15]

Penetapan atas calon-calon yang diterima ini dapat diputuskan oleh atasan langsung atau oleh bagian personalia/ kepegawaian. Keputusan ini merupakan akhir dari kegiatan penyelenggaraan seleksi. Artinya tenaga-tenaga kependidikan yang baru diterima itu, merupakan tenaga-tenaga yang paling baik menurut standar seleksi yang ditetapkan, kecuali seleksi untuk maksud-maksud promosi atau mutasi, berdasarkan standar, seleksi ini memungkinkan keputusan penerimaan tidak memperlihatkan terpenuhinya kebutuhan tenaga kependidikan walaupun dilihat dari jumlah pelamar sangat memungkinkan melebihi jumlah yang dibutuhkan.
Biasanya hal ini terjadi karena sebagian pelamar tidak dapat memenuhi standar seleksi yang ditentukan. Terhadap para pelamar yang tidak dapat diterima itu, sebaiknya diberitahu secara tertulis beserta alasan-alasannya. Suatu proses seleksi yang telah diselenggarakan sebenarnya belum menjamin bahwa produktivitas segera diperoleh karena memang tenaga baru yang belum dipekerjakan. Namun demikian, seleksi seharusnya memperlihatkan bahwa potensi organisasi menjadi lebih besar dan lebih kuat.

E.     Penempatan Dan Penugasan  Dalam Tataran Pegawai Negeri
Menurut dari undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1999 pokok-pokok kepegawaian terdapat klasifikasi sebagai berikut :
1.      Pegawai Negeri, yaitu mereka yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat dengan gaji menurut aturan pemerintah yang berlaku dan dipekerjakan dalam suatu jabatan negerioleh pejabat Negara atau badan Negara yang berwenang.
2.      Pegawai Negara, yaitu pegawai atau pejabat yang diangkat untuk menduduki jabatan Negara untuk satu periode tertentu, misalnya presiden, menteri, angggota DPR/MPR, kepala daerah, anggota DPA dan lain sebagainya. [16]
Untuk pejabat tersebut berlaku satu peraturan khusus. Peraturan yang dikenakan kepada mereka bukanlah peraturan pegawai negeri karena mereka ini bukan pegawai negeri.
Selanjutnya pegawai negeri sendiri terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan militer yang mana bagi pegawai militer berlaku peraturan khusus. Untuk pegawai negeri sipil maka dapat di klasifikasikan atas beberapa jenis, yaitu[17] :
1.      Pegawai harian
a.       Pegawai yang digaji berdasarkan upah harian tertenntu, yang diterima sekali dalam sebulan atas seminggu berdasarkan banyaknya hari dia bekerja (jika libur atau pamit maka tidak digaji)
b.      Kedudukan sebagai pegawai masih sangat lemah karena dapat diberhentikan sewaktu-waktu jika sudah tidak diperlukan.
c.       Haknya masih sedikit.
Pegawai harian atau tenaga harian dibedakan atas :
1)      pegawai harian lepas atau pegawai tidak organik yang gajinya biasanya diambil dari uang belanja barang
2)      pegawai harian organik yang gajinya didasarkan atas peraturan gaji yang berlaku dan uangnya diambil dari anggaran belanja pegawai.
2.      Pegawai bulanan
a.       Pegawai yang menerima gaji secara penuh setiap bulan tampa melihat adanya hari libur atau sakit.
b.      Pegawai yang diangkat dengan surat keputusan.
c.       Gaji yang diterima berasal dari anggaran belanja pegawai dan penerimaannya sudah ditambah dengan tunjangan kemahalan umum, tunjangan keluarga, dan tunjangan yang lainnya.
d.      Sudah berhak mendapat cuti.
3.      Pegawai sementara
a.       Menurut peraturan lama, minimum sudah 3 bulan baru dapat diangkat sebagai pegawai sementara (dimana sebelumnya dianggap sebagai pegawai organik). Untuk dapat diangkat sebagai pegawai sementara, harus menempuh lulus ujian tes kesehatan.
b.      Umumn ya semua peraturan kepegawaian pegawai negeri sementara, perbedaan dengan pegawai negeri adalah :
1)      Hak atas pension ditangguhkan
2)      Hak atas uang tunggu juga berbeda.
4.      Pegawai tetap
a.       (Dulu) bekedudukan sebagai pegawai selama 1-3 tahun
b.      Memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai pegawai negeri seperti yang ditetapkan pada peraturan melamar pegawai.
Calon pegawai negeri sipil yang dalam tempo 2 tahun tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka ia harus dikeluarkan dengan cara pemberhentian dengan terhormat.
Pada waktu pengangkatan pertama, seorang pegawai negeri sipil (sejak masih CPNS) diberi pangkat sesuai dengan ijasah tertinggi yang diakui sesuai dengan tugas yang diampu. Pangkat ini sekaligus menunjukan golongan dan ruang gaji untuk imbalan jerih payahnya. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam jabatan struktural antara lain dimaksudkan untuk membina karier PNS dalam jabatan struktural dan kepangkatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku.
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan.
Ada dua jenis pengangkatan jabatan PNS menurut Badan Kepegawaian Nasional (BKN), yaitu pengangkatan Jabatan structural dan pengangkatan Jabatan Fungsional. Jabatan struktural dimaksudkan untuk membina karier PNS dalam jabatan struktural dan kepangkatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku.
hal ini hanya dapat diduduki oleh mereka yang berstatus sebagai PNS. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan.
Calon Pegawai Negeri Sipil tidak dapat diangkat dalam jabatan struktural. Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara hanya dapat diangkat dalam jabatan struktural apabila telah beralih status menjadi PNS, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundangan.
Eselon dan jenjang pangkat jabatan struktural sesuai PP Nomor 13 Tahun 2002 [18]
NO
ESELON
JENJANG PANGKAT, GOLONGAN RUANG
TERENDAH
TERTINGGI
PANGKAT
GOL/RU
PANGKAT
GOL/RU
1
I a
Pembina Utama Madya
IV/d
 Pembina Utama
IV/e
2
I b
Pembina Utama Muda
IV/c
 Pembina Utama
IV/e
3
II a
Pembina Utama Muda
IV/c
 Pembina Utama Madya
IV/d
4
II b
Pembina Tingkat I
IV/b
 Pembina Utama Muda
IV/c
5
III a
Pembina
IV/a
 Pembina Tingkat I
IV/b
6
III b
Penata Tingkat I
III/d
 Pembina
IV/a
7
IV a
Penata
III/c
 Penata Tingkat I
III/d
8
IV b
Penata Muda Tingkat I
III/b
 Penata
III/c
9
V a
Penata Muda
III/a
 Penata Muda Tingkat I
III/b
Penetapan organisasi Eselon Va dilakukan secara selektif,
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) menunjukan wewenang dan tanggung jawab atas tugas yang diberikan kepadanya. Pegawai diserahi tugas dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diangkat dalam jabatan dan pangkat tertentu. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukan tingkat seorang pegawai negeri sipil dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Tahap penempatan dan penugasan merupakan tahap yang paling kritis dimana kesalahan pada penempatan dan penugasan karena akan menimbuklkan konflik pada suatu lembaga.  
Yang kedua adalah pengangkatan dalam jabatan fungsional, Jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian/dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Jabatan fungsional pada hakekatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, namun sangat diperlukan dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi Pemerintah. Jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Penetapan Jabatan Fungsional Jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut:[19]
1.      Mempunyai metodologi, teknik analisis, teknik dan prosedur kerja yang didasarkan atas disiplin ilmu pengetahuan dan/atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi,
2.      Memiliki etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi,
3.      Dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan:
a)     Tingkat keahlian, bagi jabatan fungsional keahlian,
b)     Tingkat keterampilan, bagi jabatan fungsional keterampilan.
4.      Pelaksanaan tugas bersifat mandiri.
5.      Jabatan fungsional tersebut diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi.
Jabatan fungsional dan angka kredit jabatan fungsional ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dengan memperhatikan usul dari pimpinan instansi pemerintahan yang bersangkutan, yang selanjutnya bertindak sebagai pembina jabatan fungsional.
Berikut ini adalah bentuk-pentuk kepangkatan jabatan :[20]
1.      Pengangkatan
Persyaratan untuk pengangkatan pertama dalam jabatan fungsional adalah:
a)     Berkedudukan sebagai pegawai negeri sipil,
b)     Memiliki ijazah sesuai dengan tingkat pendidikan dan kualifikasi pendidikan yang ditentukan,
c)     Telah menduduki pangkat menurut ketentuan yang berlaku,
d)    Telah lulus pendidikan dan pelatihan fungsional yang ditentukan,
e)     Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam DP-3 sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 1 tahun terakhir.
2.      Kenaikan Jabatan
Pejabat fungsional dapat dipertimbangkan untuk diangkat ke dalam jabatan yang setingkat lebih tinggi apabila memenuhi syarat:
a)     Sekurang-kurangnya telah 1 tahun dalam jabatan terakhir,
b)     Memenuhi angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan setingkat lebih tinggi,
c)     Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam DP-3 sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 1 tahun terakhir.
3.      Kenaikan Pangkat                        
Pejabat fungsional dapat dipertimbangkan untuk dinaikan kedalam pangkat yang setingkat lebih tinggi apabila memenuhi syarat:
a)     Sekurang-kurangnya telah 2 tahun dalam pangkat terakhir,
b)     Memenuhi angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan yang setingkat lebih tinggi,
c)     Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam DP-3 sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 tahun terakhir.
4.      Jenjang Jabatan Fungsional                      
Jabatan fungsional terdiri atas Jabatan Fungsional Terampil dan Jabatan Fungsional Ahli.
Untuk masing-masing jabatan tersebut di atas ditetapkan jenjang jabatan dan jenjang pangkat/ golongan ruang sebagai berikut:
a)     Jabatan Fungsional Terampil

(1)  Pelaksana Pemula, II/a, Sekurang-kurangnya berijazah Sekolah Lanjulan Tingkat Atas
(2)  Pelaksana, II/b-II/c-II/d
(3)  Pelaksana Lanjulan, III/a-III/b
(4)  Penyelia, III/c - III/d
b)    Jabatan Fungsional Ahli
(1)  Ahli Pertama, III/a-III/b, Sekurang-kurangnya berijazah Sarjana (SI) atau D-IV
(2)  Ahli Muda, III/c - III/d
(3)  Ahli Madya, IV/a-IV/b-IV/c
(4)  Ahli Utama, lV/d - IV/e

Untuk itu, Hartati Sukiman, dkk pun kembali menekankan prinsip kesesuaian tugas dengan kemampuan yang mereka miliki (The Right Man On The Right Place) dimana harus memperhatikan bidang keahlian yang dimiliki oleh tenaga kependidikan. Perwujudan penempatan yang tepat pada jabatan yang tepat, baik akan membawa hasil yang lebih baik bagi lembaga. [21]  
Menurut PP. No. 100 Tahun 2000 tentang pengangkatan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah dirubah dengan PP No. 13 Tahun 2002 bahwa pengangkatan dan penempatan harus memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan dimana akan mendukung pelaksanaan tugas dan jabatannya secara profesional khususnya dalam upaya penerapan kerangka teori, analisis mmaupun metodologis pelaksanaan tugas dalam jabatannya. Selain itu juga harus memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan. Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap prilaku yang diperlukan dalam pllaksanaan tugas jabatannya, sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara efisien dan efektif.[22] 
Disamping persyaratan tersebut, Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah perlu memperhatikan beberapa faktor, yaitu :
a.       Senioritas dan kepangkatan
Senoritas dalam kepangkatan (penempatan) apabila ada dua orang atau lebih Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural memiliki pangkat yang sama. Dalam hal ini untuk menentukan salah seorang diantara dua orang atau lebih calon tersebut dapat digunakan faktor senioritas dalam kepangkatan, yaitu Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai masa kerja yang paling lama dalam pangkat tersebut diprioritaskan. Apabila calon dimiliki kepangkatan lebih senior ternyata tidak dapat dipertimbangakan  untuk  diangkat dalam jabatan sstruktural, maka pejabat yang berwenang wajib memberitahukan alasannya seara lansung kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan baik secara lisan maupun tulisan.  
b.      Usia
Dalam menentukan prioritas dari aspek usia harus mempertimbangkan faktor pengambangann dan kesempatan yang lebih luas bagi Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan suatu jabatan struktural. Dengan demiikian yang bersangkutan memiliki cukup waktu untuk menyusun dan melaksanakan rencana kerja serta mengevaluasi hasil kerjanya.
c.       Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Jabatan
Diklat kepemimpinan (Diklatpim) merupakan pendidikan yang harus diikuti oleh Pegawai Negeri Sipil yang telah attau akan diangkat dalam jabatan struktural. Dalam hal demikian, maka yang akan diangkat untuuk pertama kali atau setingkat lebih tinggi wajib dipertimmbangkan terlebih dahulu setelah memenuhi persyaratan jabatan yang ditentukan.  
d.      Pengalaman
Pengalaman merupakan guru yang paling berharaga dimana pengalaman jabatan dapat menjadi bahan pertimbanagan dalam penempatan pegawai. Ini menjadi pertimbangan untuk Pegawai yang telah memiliki pengalaman lebih bnayak, lebih layak utnuk dipertimbangkan.[23]



F.     Fenomena Penempatan : Resonansi Kasus
KONSEP RAPI yang bejibun jumlahnya nampak bersaing dengan banyaknya problematika yang seolah membutakan konsep manajemen pendidikan bahkan konsep pengembangan sumber daya manusia itu sendiri. Praktek nepotisme semu, hingga praktek –untuk mengatakan alasan– “mumpung ada” atau “tidak ada lagi”. Kasus penempatan jabatan pada seseorang tentu akan mengalami bias dan bergeser sedikit demi sedikit pada dermaga sebuah konflik internal antara “tolong” atau “nyolong” dalam kesempatan. Inilah fenomena penempatan.
Tidak banyak sumber ilmiyah yang kami temukan sebagai contoh kasus  untuk problem penempatan ini, namun hal-hal yang kami paparkan diatas merupakan hal yang bisa dikatakan “ia adanya”. Berikut ini adalah berbagai kasus penempatan dalan dunia pegawai kependidikan.
Kasus I : Penempatan Guru Perlu Dibenahi[24]
JAKARTA, KOMPAS - Penerapan Undang-Undang Guru dan Dosen hendaknya dimaknai sebagai titik awal mewujudkan guru profesional melalui meningkatkan mutu, kompetensi, dan kesejahteraan guru.
"Namun, upaya ke arah itu tidak berdampak positif bagi perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan secara nasional jika masalah penempatan guru tidak dibenahi," ujar Dirjen Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal, Senin (17/7).
Ia menegaskan, masalah utama yang sebetulnya dihadapi dalam meningkatkan mutu, kompetensi, dan kesejahteraan guru adalah tidak meratanya penyebaran guru. Di daerah perkotaan, guru cenderung menumpuk. Sebaliknya, daerah pelosok kurang dilirik oleh guru. Belum lagi terkait kesesuaian latar belakang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang dia asuh.
Terkait dengan penerapan UU Guru dan Dosen, Ditjen Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan Depdiknas menantang daerah-daerah untuk melakukan terobosan dalam menata penumpukan guru. Daerah yang dianggap cerdas dalam membuat konsep redistribusi guru akan mendapat bimbingan teknis dari Bank Dunia atas kerja sama Depdiknas dan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Fasli menyebutkan, saat ini lima pemerintah kabupaten dinyatakan berhak memperoleh fasilitas tersebut setelah pemerintah setempat mengidentifikasi masalah penempatan guru sekaligus membuat analisa dan merumuskan solusinya. Lima kabupaten yang dimaksud adalah Merauke (Papua), Kabupaten Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Tanah Datar (Sumatera Barat), Kabupaten Gorontalo (Gorontalo), dan Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat).

Resonansi :
Kesadaran akan hal yang termaktub dalam kasus I ini, layaknya menjadi pertimbangan serius oleh semua kalangan pendidik, agar tidak terkesan bertepuk sebelah tangan antara pemegang kebijakan dan pelaksannya. Profesionalisme yang diharapkan bersarang dalam diri pendidik dan kepenndidikan masih berat hati dalam memanfaatkan otonomi. Perluasan akses idak semata-mata melihat kehendak sepihak. Jika bennar-benar ingin mengembangan kualitas pendidikan, seharusnya penetapan penempatan bisa dilaksanakan secara srentak dan merata, bukan terkotak-kotan anatar desa dan kota. Karena hal ini bisa menimbulkan penumpukan guru di satu tempat saja. Ya... penempatan guru memang perlu dibanahin dengan ketulusan, bukan dengan keterpaksaan.


Kasus II : PGRI Desak Surat Edaran Menpan Dicabut[25]
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendesak Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk segera mencabut surat edaran yang melarang penempatan guru pegawai negeri sipil (PNS) di sekolah swasta.
”Kebijakan itu melanggar konstitusi dan membuktikan terjadinya diskriminasi profesi guru sekolah swasta,” kata Ketua Umum PGRI Sulistiyo, Kamis (25/11/2010), di Jakarta.
Sulistiyo mengingatkan, penarikan guru berstatus PNS dari sekolah swasta akan mengganggu proses belajar-mengajar dan merugikan siswa. Sebab, sekolah swasta tidak bisa menyediakan guru pengganti dalam waktu cepat.
”Hilangnya guru PNS dari sekolah swasta juga menyebabkan siswa kehilangan guru bermutu,” ujarnya.
Ketua Harian PGRI Unifah Rosyidi menambahkan, penarikan guru PNS itu hanya akan membuat sekolah swasta semakin terpuruk, terutama sekolah swasta yang memiliki mayoritas siswa dari keluarga miskin. Ketiadaan guru-guru yang berkualitas di sekolah swasta ini yang dikhawatirkan akan semakin menyisihkan siswa miskin dari hak-hak mereka untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Diberitakan sebelumnya, Rabu (24/11/2010), E Baskoro Poedjinoegroho, dari Tim Advokasi Keadilan Pelayanan Pendidikan Dasar untuk Anak Bangsa, dan guru-guru swasta sedang melaporkan kasus diskriminasi pemerintah terhadap guru swasta ke MK.
Baskoro mengatakan, kebijakan pemerintah yang menarik guru-guru PNS di sekolah swasta merupakan bukti perlakuan diskriminatif pemerintah kepada sekolah swasta.

Resonansi :
MUTU, satu kata yang perlu dipertanyakan asalanya, guru yang dikatakan bermutu apakah harus cetakan dari lembaga negeri (PNS)? Menurut saya tidak demikian, seandainya surat edaran menpan itu tidak ada, seharusnya para pengelola pendidiikan lebih fokus pada pengembangan diri mereka dalam lingkungan sekolahnya. Guru seharusnya bukan dilihat dari PNS atau tidaknya, sehingga mereka memiliki hak yang sama untuk mengajar sesuai denggan profesionlaitasnya masing-masing. Saya kira semakin siap dan matang profesionalitas seorang guru, tidak masalah mau ditempatkan dimana saja. Justru menurt kami pemerintah seharusnya bisa melihat potensi dari lembaga swasta yang bisa diberdayakan menjadi PNS walau dia an sich untuk keswastaan. Penempatan guru harus melihat kualitas personalitas bukan karena kertas SK PNS-nya. Itu bukan jaminan.


Kasus III : Melukai Sekolah Swasta[26]
KOMPAS.COM, Munculnya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang penarikan guru berstatus pegawai negeri sipil yang bertugas di sekolah swasta, beberapa waktu lalu, benar-benar memprihatinkan.
Para pengelola dan lembaga penyelenggara sekolah swasta pun dibuat dag-dig-dug. Kalau para guru PNS yang bekerja di sekolah mereka benar-benar ditarik, sekolah swasta dipastikan akan banyak kehilangan SDM yang terstandar. Bagaimanapun, guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta hampir dapat dipastikan merupakan SDM yang standar; setidaknya menyangkut kualifikasi pendidikan minimal, sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.
Masalah penghargaan
Masalah keberadaan guru PNS di sekolah swasta bukan sekadar masalah penempatan. Secara historis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dengan mengacu pada dua tujuan sekaligus.
Pertama, secara ideologis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebagai wujud penghargaan pemerintah kepada pihak swasta atas perjuangan yang sudah dilakukan. Kedua, secara teknis, penempatan guru PNS di sekolah swasta bertujuan untuk memeratakan kualitas pendidikan. Sebab, dengan asumsi guru PNS memiliki standar kualitas yang memadai, penempatan mereka di sekolah swasta berarti meratakan kualitas pendidikan nasional.
Secara ideologis, siapa tak kenal Perguruan Tamansiswa? Siapa tak kenal Ma’arif NU, Muhammadiyah, Yayasan Pendidikan Katolik, Yayasan Pendidikan Kristen, dan lain sebagainya, yang sejak masa prakemerdekaan sudah menunjukkan darma bakti kepada negeri ini melalui jalur pendidikan.
Perguruan Tamansiswa, misalnya, di bawah kepemimpinan tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, pada 1922 sudah mulai berkiprah di masyarakat dengan memberikan pelayanan pendidikan yang saat itu sangat mahal harganya. Ketika itu pelayanan pendidikan diberikan oleh penjajah Belanda dan hanya dapat dinikmati oleh kaum bangsawan.
Munculnya Tamansiswa telah menumbuhkan harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Pendidikan Tamansiswa pun dapat dinikmati mulai dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata yang secara akademis melahirkan putra-putra bangsa yang cerdas dan secara politis memiliki kekuatan yang tidak bisa dipandang ringan.
Kalau kemudian pada 1932 penjajah Belanda melarang kiprah pendidikan rakyat Indonesia, dalam kasus onderwijs ordonnantie atau wilde scholen ordonnantie, hal itu menunjukkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, kaum penjajah atas makin meluasnya kiprah pendidikan bangsa Indonesia. Kalau kemudian para tokoh pendidikan Tamansiswa, NU, Muhammadiyah, Katolik, Kristen, dan sebagainya—di bawah kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara—melawan pemberlakuan larangan tersebut, hal itu merupakan bukti kekuatan politik bangsa Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara beserta para pejuang pendidikan yang lain melawan larangan tersebut dengan aksi ”diam sambil melawan” (lijdelijk verset) hingga dicabutlah larangan Pemerintah Belanda atas kiprah pendidikan rakyat Indonesia tersebut.
Ilustrasi itu hanyalah sepotong romantika sejarah ”kaum swasta” dalam membangun negeri ini melalui jalur pendidikan. Kalau kemudian Pemerintah RI mempekerjakan guru PNS di sekolah swasta, kiranya merupakan sebuah penghargaan, bukan semata soal penempatan. Jadi, kalau benar pemerintah menarik guru PNS dari swasta, kebijakan tersebut dapat dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap sekolah swasta.
Telanjur luka
Penempatan guru PNS pada sekolah swasta merupakan salah satu bentuk bantuan pemerintah kepada sekolah swasta; bantuan lainnya dapat diberikan dalam bentuk finansial, proyek, atau yang lain.
Dibandingkan dengan negara- negara lain, bantuan pemerintah kepada sekolah swasta relatif sangat minim. Sekolah-sekolah swasta di Amerika Serikat mendapatkan bantuan finansial yang relatif besar, begitu juga perguruan tinggi swastanya. Sekolah-sekolah swasta di Hongkong juga dapat bantuan finansial yang memadai dari pemerintah. Hebatnya, bantuan finansial Pemerintah AS dan Hongkong terhadap sekolah swasta bisa lebih dari separuh nilai anggaran sekolah.
Di Indonesia, bantuan pemerintah terhadap swasta relatif kecil. Bahkan, banyak sekolah swasta yang belum pernah mendapat bantuan finansial dari pemerintah; dan banyak pula sekolah swasta yang tak pernah menerima bantuan guru PNS.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh memang pernah memberikan semacam jaminan tidak akan ada penarikan guru PNS dari sekolah swasta, tentu saja sekolah swasta yang memiliki guru PNS. Jaminan ini kiranya cukup baik dan sangat bijak. Akan tetapi, kian santernya berita tentang rencana penarikan guru PNS dari sekolah swasta sudah telanjur melukai sekolah swasta itu sendiri.

Resonansi :
Kita bisa merasa sakit dan terluka yang lebih, jika bantuan tenaga pendidik “berlabel” PNS kurang profesional daripada guru-guru swasta yang ada di lembagga tersebut. Lembaga swasta maupun negeeri seharusnya bisa saling mengisi, bukan mencari “kemaluan dan kekurangannya”, tidak perlu minder jika ada penarikan, dan tidak perlu berbagga jika ada bantuan. Tetap fokus pada tujuan visi dan misi, sehingga karena sibuk mempertahankan status malu dan luka, siswa yang menjadi mutiara bangsa jadi terlewatkan.


Kasus IV : Demi Mutu, LPTK Harus Dikendalikan[27]

SOLO, KOMPAS.com - Pemerintah perlu mengendalikan keberadaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Hal itu dilakukan untuk menjaga mutu guru karena sekarang ini perkembangannya sangat pesat dari 344 menjadi 1.900 lebih.

Apabila tidak ditata mulai sekarang mutu guru akan terus menurun.
-- Furqon Hidayatullah

"Apabila tidak ditata mulai sekarang mutu guru akan terus menurun," kata pengamat pendidikan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Furqon Hidayatullah, di Solo, Rabu (18/8/2010).
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS itu mengatakan, LPTK mengambil calon mahasiswa seadanya tanpa melalui seleksi yang baik. Jika ingin menghasilkan guru yang baik, lanjut dia, kondisi yang ada saat ini harus ditata ulang.
Sebanyak 1.900 LPTK tersebut setiap tahun menghasilkan 200 ribu guru, sementara kebutuhan guru di Indonesia hanya 40 ribu per tahunnya. Untuk menata LPTK ini, kata Furqon, diperlukan tiga hal yang harus dilakukan yaitu seleksi penerimaan calon mahasiswa harus diperketat, kebutuhan guru dan lulusan harus seimbang, serta penempatan guru harus merata.
Ia menambahkan, untuk meningkatkan mutu pendidikan, terutama menyangkut penempatan guru ke daerah-daerah terpencil, juga harus ada campur tangan dari pemerintah pusat.
"Untuk guru yang baru diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) harus mau ditempatkan ke daerah terpencil dan setelah menjalani tugas sekitar lima tahun baru bisa pindah. Tidak seperti sekarang ini, semua guru menumpuk di kota," katanya.
Menumpuknya guru di kota-kota ini mengakibatkan daerah-daerah kekurangan guru. Untuk memecahkan persoalan ini perlu ikut campur tangan pemerintah pusat, karena sekarang ini sudah era otonomi daerah.

Resonansi :
Demi mutu, yang siap menjadi pendidik harus berfikir dan berjiwa besar, penempatan guru tentu tidak bsa terlepas dari kapasitas seorang guru itu sendiri, seharusnya pemeerintah sudah mammpu menganalisa, ijin pembangunan sekolah dengan pertimbangan pendidik di wilawah tertentu yang bisa membantu secara professional. Jika putra daerah  masih belum ada, bukan berarti semangat perjuangannya mencari guru yang terang-terang belum siap dimanfaatkan di lokasi yang cupuk jah (terpencil). Tapi bagi kami. Pemerataan pendidik memang dibutuhkan, dengan pertimbangan penopang fasilitas yang baik.


Kasus V : FSGI: Jangan Hanya "Anak Emaskan" PGRI[28]

JAKARTA, KOMPAS.com - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyerukan agar para guru diberikan kebebasan berserikat. Hal itu disampaikan dalam audiensi dengan Komisi X DPR yang difasilitasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Kamis (30/6/2011), di Gedung DPR, Jakarta. Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti mengatakan, politisasi terhadap guru akan tetap terjadi jika tidak dilakukan penguatan terhadap organisasi guru. Terlebih, rencana pemerintah untuk mensentralisasi pendidikan harus diikuti dengan penguatan organisasi guru.

Pemerintah cenderung melakukan PGRI-nisasi. Itu terjadi pada penempatan orang-orang PGRI dalam badan pembinaan profesi guru.

"Organisasi guru yang kuat hanya akan terbentuk jika dijaminnya kebebasan berorganisasi bagi para guru. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang (UU) No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 14 butir (h) menyatakan guru berhak memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi guru," kata Retno.
Ia menjelaskan, UU tersebut juga mengamanatkan guru untuk berorganisasi dan bebas memilih organisasi guru. Pasal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa organisasi guru tidak tunggal. "Namun, banyak kasus di daerah, misalnya di Papua Barat, PGRI menuntut Gubernur Papua Barat untuk membubarkan Serikat Guru Papua Barat dengan alasan ilegal. Selain itu, di Jawa Timur beredar surat edaran PGRI yang meminta anggotanya menandatangani pernyataan tidak pindah ke organisasi guru lain," ujarnya.
Selanjutnya, Retno menuntut pemerintah harus berlaku adil terhadap organisasi guru yang ada. Menurutnya, selama ini pemerintah (pusat dan daerah) berlaku sangat diskriminatif terhadap organisasi guru yang ada dan hanya menganakemaskan PGRI.
"Bahkan pemerintah cenderung melakukan PGRI-nisasi. Itu terjadi pada penempatan orang-orang PGRI dalam badan pembinaan profesi guru. Di beberapa daerah, APBD dialokasikan hanya untuk PGRI, tetapi organisasi guru yang lainnya tidak dan peningkatan kapasitas guru yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) didominasi dan hanya melibatkan PGRI," tandasnya.
Untuk itu, FSGI menuntut Menteri Pendidikan Nasional M Nuh beserta wakilnya untuk menyosialisasikan secara serius mengenai ketentuan-ketentuan tentang organisasi profesi guru kepada seluruh Kepala Dinas Pendidikan dan organisasi-organisasi guru.
"Sebagaimana diamanatkan dalam UU No.14 tahun 2005 yang mengatur mengenai kebebasan berserikat bagi guru, organisasi guru yang tidak tunggal dan harus diurus oleh guru serta perlindungan untuk guru dari berbagai perlakuan yang diskriminatif," tambah Retno.

Resonansi :
FSGI harusnya juga berteriak lebih kencang, “jangan anak bawangkan” non PGRI !, sebenarnya tidak ada yang “diemaskan” atau “dibawangkan” yang ada adalah mana yang professional dan mana yang tidak. Lagi-lagi masalah penempatan ini terasa “ribet”. Tapi yang jelas upaya kemendiknas dalam memajukan sumber daya manusia, telah difikirkan dengan baik, selama tidak ada manipulasi dan ilegasisasi peluang.                         


Kasus VI : SKB 3 Menteri Justru Bikin "Ribet"[29]

SEMARANG, KOMPAS.com — Pengamat pendidikan menilai, penerbitan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang pendistribusian guru tidak menjamin pemerataan penempatan guru. Hal itu justru karena SKB terlalu banyak melibatkan banyak pihak.

Demikian dikemukakan pengamat pendidikan IKIP PGRI Semarang, Muhdi, di Semarang, Jumat (21/5/2010). SKB yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara itu dinilai Muhdi hanya akan membuat proses pendistribusian guru kian berjalan rumit.

"Mengingat setiap pihak tentunya memiliki kepentingannya masing-masing terhadap keberadaan guru, apalagi dalam sistem otonomi daerah para guru berada di bawah kendali pemerintah kabupaten/kota, pemerintah pusat tidak memiliki kekuatan untuk menekan daerah dalam hal itu," ujar Muhdi yang juga Rektor IKIP PGRI Semarang ini.

Muhdi mengakui, secara koordinatif, guru memang berada di bawah naungan Kemendiknas RI. Namun, ia mengatakan bahwa kelembagaan guru faktanya merupakan "milik" pemkab/pemkot sehingga hal tersebut perlu disadari oleh pemerintah secara baik.

"Ada guru di suatu daerah tertentu yang mendapatkan tambahan kesejahteraan. Namun, tidak demikian dengan guru di wilayah lain. Apakah hal-hal semacam ini tidak menimbulkan polemik di kalangan guru?" kata Muhdi.

Apalagi, dalam sistem otonomi daerah para guru berada di bawah kendali pemerintah kabupaten/kota.

Resonansi :
Guru juga manusia, punya sumber daya dan butuh power. Pendidikan mengajarkan keadilan, jangan praktek ketidak adilan. Sturuktural itu penting, tapi cultural internal harus lebih mengenali dirinya daripada sibuk memperkenalkan dirinya. Otonomi bukan semena-mena, tapi mengambil sikap duplikasi dan modifikasi.  Penndidikan secara structural masih wajib teacheable.

Seperti Keluhan demi keluhan yang mungkin sering terdengar dari tenaga pendidikan baru yang masih ditempatkan dalam posisi “honorer” (artinya: ststusnnya masih sementara) atau problem penempatan yang berpihak pada kepentingan tertentu (nepotisme jabatan), dan lain-lain.
Guru honor merupakan profesi yang diharapkan profesional, artinya guru honor penyedia jasa tetapi jasa guru honor masih sangat jauh dari harapan bahkan dibawa upah UMR sungguh sangat memprihatinkan dan menyedihkan, apakah mungkin seorang dapat berbuat maksimal tanpa pernah mengetahui kebutuhan hidupnya, rasanya tidak mungkin di era globalisasi dan ditengah-tengah krisis multi dimensional dimana harga barang melambung tinggi mempengaruhi biaya hidup ikut tinggi. Guru honor boleh saja ikhlas mengabdi dalam mengembang tugas mengajar tetapi, guru honor juga manusia butuh dan perlu memikirkan penghidupan, ekonomi, kesejahteraan keluarganya dan dirinya sendiri dalam hidup keseharianya. Kalau kita melihat nasib dan kesejahteraan guru honor, sungguh memprihatinkan ada saja diantara mereka berprofesi sebagai mengajar ditempat lain dan kerja serabutan untuk menutupi keperluan ekonomi keluarga, belum lagi profesi-profesi yang lain memberikan dampak psikologis dimata anak didiknya dan masyarakat, ini dapat menurunkan wibawa dan martabat seorang guru.
Dalam berbagai kebijakan, perhatian pemerintah belum secara sungguh-sungguh dan serius memperhatikan nasib Guru Honor, ini justru semakin memperpanjang catatan dan masalah perjalanan nasib guru honor di negeri ini. Lahirnya UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hanya membuahkan sebuah harapan dan belum menyentuh secara baik nasib serta kesejahteraan guru honor, padahal peran dan konstribusi guru honor tidak bisa diabaikan karena mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangun sumber daya manusia disektor pendidikan. Honorer menjadi terkesan lebih cepat diberhentikan dari pada posisi karyawan tetap.
Kasus lainnya adalah nepotisme jabatan yang biasa terjadi dalam institusi ini juga menimbulkan konflik keresahan dalam persaingan atau kompetensi yang terjadi dalam proses penentuan penempatan ini. Hal seperti ini biasa terjadi dalam sebuah yayasan pendidikan swasta tapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi dalam lingkungan sekolah/instansi  negeri bahkan pemerintahan dan lain sebagainya.
Inilah potensi terburuk yang mungkin akan hadir dalam usaha-usaha peningkatan mutu sumber daya manusia terutama pada tahap awal dari proses penempatan. Sumber dayanya ataukah manusianya yang keliru? Tapi yang jelas kita semua memiliki alasan yang berbeda-beda, harapan dan usaha menggapai realitas yang “tepat” sesuai dengan aturan dan norma-norma yang ada.
Penggunaan system dan peraturan yang telah diatur oleh instansi tertentu tentu bisa  sailing berbeda tergantung dengan keadaan dan kondisi lembaga tersebut. Pertimbangan yang dipegang adalah kompetensi dan kinerja. Ada yang tidak memperhatikan factor tua-muda, lama-baru, mampu-tidak mampu, mau-tidak mau, dan tidak sedikit pula yang ketat terhadap konsep ini. bahkan adapula yang tegas mempperhatikan rekomendasi dari pakar psikologi tentang personel untuk menerima tugas atau jabatan baru, dan lain sebagainya. Sehingga penting bagi kita untuk membaca sebuah kesimpulan sementara ini, sebagai sebuah solutif awal terhadap masalah yang berjibun mengitari SDM dalam pendidikan kita ini.

G.    Potensi Manusia berkualitas : Sebuah Refleksi Islami           
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai penerima dan pelaksana ajaran sehingga ia ditempatkan pada kedudukan yang mulia. Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus itu, Allah melengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia itu karena akal dan perasaan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada Pencipta.[30]
Potensi-potensi yang diberikan kepada manusia pada dasarnya merupakan petunjuk (hidayah) Allah yang diperuntukkan bagi manusia supaya ia dapat Manusia diciptakan oleh Allah sebagai penerima dan pelaksana ajaran sehingga ia ditempatkan pada kedudukan yang mulia. Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus itu, Allah melengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia itu karena akal dan perasaan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada Pencipta. [31]
Potensi-potensi yang diberikan kepada manusia pada dasarnya merupakan petunjuk (hidayah) Allah yang diperuntukkan bagi manusia supaya ia dapat melakukan sikap hidup yang serasi dengan hakekat penciptaannya.[32] Sejalan dengan upaya pembinaan seluruh potensi manusia, Muhammad Quthb berpendapat bahwa Islam melakukan pendidikan dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik dari segi jasmani maupun segi rohani, baik kehidupannya secara mental, dan segala kegiatannya di bumi ini. Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak ada sedikitpun yang diabaikan dan tidak memaksakan apapun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya. Pendapat ini memberikan petunjuk dengan jelas bahwa dalam rangka mencapai pendidikan Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi secara serasi dan seimbang.[33]
Hasan Langgulung melihat potensi yang ada pada manusia sangat penting sebagai karunia yang diberikan Allah untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Suatu kedudukan yang istimewa di dalam alam semesta ini. Manusia tidak akan mampu menjalankan amanahnya sebagai seorang khalifah, tidak akan mampu mengemban tanggung jawabnya jikalau ia tidak dilengkapi dengan potensipotensi tersebut dan mengembangkannya sebagai sebuah kekuatan dan nilai lebih manusia dibandingkan makhluk lainnya.[34] Artinya, jika kualitas SDM manusianya berkualitas maka ia dapat mempertanggungjawabkan amanahnya sebagai seorang khalifah dengan baik. Kualitas SDM ini tentu saja tak hanya cukup dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), tetapi juga pengembangan nilainilai rohani-spiritual, yaitu berupa iman dan taqwa (imtaq). 
Dari penjabaran di atas dapat dimengerti bahwa pengembangan SDM sangat penting, tak hanya dari sudut ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, tak kalah pentingnya adalah dimensi spiritual dalam pengembangan SDM. Kualitas SDM tidak akan sempurna tanpa ketangguhan mental-spiritual keagamaan. Sumber daya manusia yang mempunyai dan memegang nilai-nilai agama akan lebih tangguh secara rohaniah. Dengan demikian akan lebih mempunyai tanggung jawab spiritual terhadap ilmu pengetahuan serta teknologi. Sumber daya manusia yang tidak disertai dengan kesetiaan kepada nilai-nilai keagamaan, hanya akan membawa manusia ke arah pengejaran kenikmatan duniawi atau hedonisme belaka.
Dan jika semangat hedonisme sudah menguasai manusia, bisa diramalkan yang terjadi adalah eksploitasi alam sebesar-besarnya tanpa rasa tanggung jawab dan bahkan penindasan manusia terhadap manusia lain.[35]
Kesimpulan lengkap yang berkait dengan acuan bagi pengembangan SDM berdasarkan konsep Islam, menjadi .membentuk manusia yang berakhlak mulia, yang senantiasa menyembah Allah yang menebarkan rahmat bagi alam semesta dan bertaqwa kepada Allah.. Inilah yang menjadi arah tujuan pengembangan SDM menurut konsep Islam. begitu indah dan profesionalnya jika proses penempatan merujuk pada potensi manusia yang berkualitas ini.
Satu konsep yang perlu digarisbawahi dalam menyelesaikan problematika manusia adalah “jika ingin mengumpulkan madu, jangan tendang sarang lebahnya”, mulailah membenahi dari hal yang terkecil, yang menjadi potensi terbaik kita. Itulah yang diungkapkan oleh Dale Carnegie saat mengisahkan keteganga yang dialami oleh Crowley yang sedang dalam keadaan terkepung masalah yang rumit di daerah West end Avanue New York.[36]

H.    Kesimpulan dan penutup
MASIH HANGAT dalam ingatkan dengan prinsip yang telah kita renungkan, kita simpan, dan kita ajak pada ulasana awal makalah ini –untuk mengatakan tidak dzalim –“The right man on the right place”, orang yang tepat pada tempat yang tepat pula. Inilah kata kuncinya, pemegang kebijakan penempatan ataupun pengelola instansi harus yang “tepat” dan bersikap “tepat” karena pihan dan keputusan demi keputusan merupakan harapan besar bagi dunia penndidikan, siapapun dia (secara personalia), wajib rasanya mempraktekkan (act) prinsip ini, jika menginginkan tercapainya pemerdayaan sumber daya manusia yang memedai dan bermanfaat, serta kompetitif.
Tahap  penempatan/penugasan ini nampanya penulis bisa memperluas fungsinya, yaitu seakan berproses sebagai evaluasi-evaluasi dalam manajemen. Hal ini cukup konstruktif, sebab tampak adanya proses yang bisa berubah-rubah (change) mulai dari Penugasan pertama, Pengalihan (transfer), Penurunan jabatan (demosi), bahkan hingga Pemutusan hubungan kerja bagi pegawai yang telah bekerja. Perubahan-perubahan semacam ini tenntu berdasarkan pertimbangan yang sesuai dengan sikap personalianya dalam melaksanakan tanggung jawab. Sehingga nilai-nilai prinsip dalam rangka pengembangan SDM ini merupakan upya evaluatif-ansipatif terhadap visi dan misi institusi pendidikan.
Tantangan sumber daya manusia dan masyarakat kedepan begitu rumit dan beragam, baik dilihat secara internal maupun eksternal. Pada sisi internal pengembangan sumber daya manusia mengalami permasalahan berbagai macam kesenjangan atau ketimpangan yang dihadapi masyarakat setidaknya pada tiga aspek utama yang menjadi indicator manusia dan masyarakat, yaiut, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Pada eksternal, pengembagan sumber daya manusia mengallami tantangan yang berupa arus dan pengarahan globalisasi ekonomi, politik bahkan budaya yang semakin mencengkram kehidupan bangsa dan Negara.
Kata kunci yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat. Sudahkah itu dilakukan dengan konsep dan cara-cara yang “tepat” dan “benar” ? Harapan untuk mengembangkan sumber daya manusia agar berkualitas banyak diletakkan pada pendidikan. Mampukah pendidikan melakukan tugas mulia mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan personalia pendidikannya?
Inilah singkat bahasa paparan makalah kami yang kami akui masih banyak kekurangan referensi yang kuat untuk menerangkan masalah “penempatan” serta fungsinya dalam pengembangan SDM dalam pendidikan kita terutama pendidikan Islam. Semoga bermanfaat.
***

PENDAMPING MAKALAH
Pustaka :

Arikunto, Suharsimi & Lia Yuliana, 2008, Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya Media)
Arifin, Muzayyin, 1993, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara)
Dale Carnegie, 1995, How o Win Friens and influence People (terj.), (Jakarta : bina rupa Aksara)
Daradjat, Zakiah, 1996, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara)
Dessler, Gery, 1997, Mannajemen sumber Daya Manusia (terj) , (Jakarta : PT. Prenhallindo)
Fattah, Nanang, 2000, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya)
Haraianja, Marihot Tua Efendi, 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Grasindo)
Harahap, Syahrin, 1997, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran al-Qur.an alamKehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana)
Jalaluddin, 1996, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada)
Langgulung, Hasan, 1995,  Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna
Marimba, Ahmad D., 1989, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma.arif)
Nata, Abuddin, 1997, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
Nawawi, Hadari, 2005, Manajemen Strategic Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan, yogyakarta : Gajah Mada Press.
Sallis, Edwar, 2011, Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan (Terjemah) (Yogyakarta: Ircisod)
Suit, Yusuf, 1996,  Sikap Mental dalam Manajemen SDM, (Jakarta: Ghalia Indonesia)
Suryono, Yoyon, 2008, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Gama Media)
Suhandana, Anggan, 1997, Pendidikan Nasional Sebagai Instrumen Pengembangan SDM, (Bandung: Mizan)
Wakhudin, Tarmizi Taher; 1998,  Jembatan Umat, Ulama dan Umara, (Bandung: Granesia)
Zainun,  Buchori, 1993, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Gunung Agung)  

Jurnal, Media Massa,dan  Website :

Harun, Cut Zahri, .Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Merupakan Kunci Keberhasilan Suatu Lembaga di Era Globalisasi dan Otonomi Daerahlm., dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Diknas, No. 041, Tahun Ke-9, Maret 2003.
Harian Kompas [19 Jul 2006]

http://www. KOMPAS.com

http://www.bkn.go.id/



[1] Edwar Sallis, Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan, (Yogyakarta: Ircisod, 2011), hlm. 29
[2] Yoyon Suryono, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Gama Media, 2008), hlm. 8
[3] Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 88

[4] Anggan Suhandana, Pendidikan Nasional Sebagai Instrumen Pengembangan SDM, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. III, hlm. 151
[5] Buchori Zainun, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Gunung Agung, 1993), Cet. II, hlm. 57
[6] Yusuf Suit, Sikap Mental dalam Manajemen SDM, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), Cet. I, hlm. 35
[7] Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran al-Qur.an dalam
Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), Cet. I, hlm. 91-92
[8] Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 6
[9] Cut Zahri Harun, .Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Merupakan Kunci Keberhasilan Suatu Lembaga di Era Globalisasi dan Otonomi Daerahlm., dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Diknas, No. 041, Tahun Ke-9, Maret 2003, hlm. 177
[10] Ibid.
[11] Gery Dessler, Mannajemen sumber Daya Manusia (terj) , (Jakarta : PT. Prenhallindo, 1997), hlm 90
[12] Ibid.
[13] Ibid. hlm. 91
[14] Marihot Tua Efendi Haraianja, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Grasindo, 2005), hlm. 156 
[15] Hadari Nawawi, Manajemen Strategic Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan, yogyakarta : Gajah Mada Press, 2005. hlm.350
[16] Suharsimi Arikunto & Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya Media, 2008), hlm. 223
[17] Ibid.
[18] Pengangkatan dalam Jabatan Struktural [posting, Selasa, 23 Maret 2010]

[19] Pengangkatan dalam Jabatan Fungsional  [posting, Rabu, 24 Maret 2010] http://www.bkn.go.id/in/peraturan/pedoman/pedoman-angkat-struktural.html

[20] Ibid.
[21] Suharsimi Arikunto & Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya Media, 2008), hlm. 223
[22] Ibid. Hlm. 226
[23] Ibid.
[24] Harian Kompas [19 Jul 2006]
[26] Ki Supriyoko( Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta; Mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional) dalam:  http://nasional.kompas.com/read/ 2011/02/22/03343398/Melukai.Sekolahlm.Swasta [posting : Selasa, 22 Februari 2011]



[30] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma.arif, 1989),
Cet. VIII, hlm. 111
[31] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, hlm.3
[32] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), Cet.II, hlm.108
[33] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, hlm.51
[34] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1995, Cet. III, hlm. 57
[35] Wakhudin, Tarmizi Taher; Jembatan Umat, Ulama dan Umara, (Bandung: Granesia, 1998), hlm. 240-241
[36] Dale Carnegie, How o Win Friens and influence People (terj.), (Jakarta : bina rupa Aksara, 1995), hlm. 23

1 komentar:

  1. ijin copy,, makalah yang sangat bagus..terimakasih, makalah ini sangat membantu penyelesaian tugas kuliah saya.

    BalasHapus