Kamis, 05 Januari 2012

Filsafat Pendidikan Islam

IMAM AL-GHAZALI (450-505 H) :
Kajian Filsafatnya Terhadap Pendidikan Islam

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I


A.    Pendahuluan
FALSAFAH, Sebagai hasil pemikiran para filosof, proses pertumbuhan filsafat dalam rentang waktu yang dilaluinya telah melahirkan berbagai macam pandangan. Terkadang pandangan tersebut bersifat saling mendukung, tetapi tak jarang pula yang saling bertentangan. Hal ini dapat dimaklumi karena hasil pemikiran seorang filosof bukan merupakan komponen yang dapat berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pendekatan yang dipakai serta situasi dan setting social yang pemikiran filosof tersebut dilahirkan.
Rangkaian kata (filsafat) yang secara tata bahasa disandarkan pada pemaknaan cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan atau kebenaran itu, telah menjadi suatu kajian yang mau tidak mau harus merangkul berbagai system dan kajian ilmu pengetahuan di muka bumi ini. upaya mencari kebenaran bisa dikatakan masih relative, sebab masih ada ketergantungan dari faktor ruang dan waktu. Ini tidak berlebihan untuk dikatakan sebuah “polemik benang kusut” yang terus diupayakan terurai dengan serapi-rapi mungkin melalu kajian keilmuan yang mumpuni. “Cukup rumit, karena masing-masing kelompok bangga dengan anutannya sendiri”[1] 
Dalam dunia pendidikan, selagi kita masih bertanya : ”mengapa kita mengajar/belajar? Bagaimana kita mengajar/belajar? Selama itu pendidikan akan tetap sangat memerlukan filsafat.[2] Filsafat pendidikan merupakan kegiatan-kegiatan pemikiran yang sistematis, diambil dari system filsafat sebagai cara untuk mengatur dan menerangkan nilai-nilai tujuan pendidikan yang akan dicapai (direalisasikan), begitulah pendapat yang dipaparkan oleh Ali Khalil Abu ‘Ainaini.
Filsafat pendidikan Islam memiliki pengertian yang menghususkan kajian pemikiran-pemikiran yang menyeluruh dan mendasar tentang pendidikan berdasarkan tuntunan ajaran islam.[3] Pendidikan bukan hanya pengajaran tetapi juga merupakan semacam pembaharuan. Pendidikan menentukan kriteria yang akan menjadi acuan semua kegiatan atau proses di masa berikutnya sebagai suatu prestasi. Hal ini tentu tidak bisa terlepas dari arti pengasaan moral yang menjadikan seseorang matang secara moral dan intelektual, keperibadian yang menunjang dirinya.
Imam al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi, dan praktisi pendidikan di dunia Muslim. Kecendikiaan dan kedudukannya tidak dapat diragukan lagi. Hal ini menunjukan bahwa dia adalah seorang yang sangat hebat dan fundamental, tegas, dan ortodoks dalam arti kata yang positif.
Ghazzali telah berhasil memungut benang filsafat dari bermacam-macam sumber, merampingkan, dan mmenanaminya dengan roh kebenaran Islam dan kesadaran dinamika sejarah. Dalam filsafatnya, pendidikan, etika, dan kesadaran itu  adalah manunggal.[4] Bagaimanakah penerapan filsafat al-Ghazali ini pada zaman sekrang ini? masih perlukah atau tidak dalam dunia pendidikan kita ? berikut ini kami akan memaparkan sedikit biografi beiau beserta rancangan pemikiran filsafat beliau terhadap pendidikan Islam.

B.     Riwayat Hidup Singkat Al-Ghazali
IMAM AL-GHAZALI, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Tusi, al-Imam al-Jalil Hujat al-Islam. Ia lahir pada tahun 450 H. bertepatan dengan 1059 M. di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Tus, wilayah Khurasan. dan wafat di Tabristan wilayah propinsi Tus pada tanggal 14 jumadil Akhir 505 H. bertepatan dengan 1 Desember 1111 M. ia dijuluki abu Hamid karena mempunyai putra bernama Hamid yang meninggal sewaktu masih kecil. Tidak ada yang menyebutkan silsilah nenek moyang al-Ghazali lebih dari 3 orang yang namanya berbahasa arab. Apakah ia dari etnis persi atau Arab masih diperselisihkan, dan berakhir pada kesimpulan yang tidak pasti.[5]
Ia terkenal dengan sebutan “Al-Gazzali” (dobel “z”), dan kadang disebut “Al-Ghazali” (satu “z”). Tidak diketahui banyak tentang keluarga Al-Ghazali. Abd al-Gafir hanya menyebut nama ayah, Muhammad dan nama kakek Muhammad. Ibn Khalikan menembah nama datuk, Ahmad. Subki dan Murtada memberi informasi lebih banyak, yaitu bahwa ayah  Al-Ghazali, Muhammad, adalah seorang penenun bulu domba atau woll (Ghazzal)[6] dan menjuanya di pasar Tus. Ia wafat ketia AGhazali diduga berusia 6 tahun. Tetapi, ibunya sempat menyaksikan ketika bintang Al-Ghazali mulai menanjak dan namanya mulai popular di mata orang banyak.[7]     
Di tanah kelahirannya, Tus, Al-Ghazali memulai pendidikannya dan belajar sejumlah ilmu pengetahuan, terutama dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu, kedua kota tersebut terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. di kota Nisyafur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam Al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwainy (w. 1085 M./ 1474 H.), seorang ulama yang bermadzhab syafi’I yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.[8] Walau demikian, sebenarnya hidup dan ajaran ayahnya mempunyai pengaruh yang positif bagi pola pikir di masa kecilnya, dialah guru pertama bagi pendidikannya yang dikenal sebagai sufi yang shaleh.[9]
Di antara ilmu yang dipelajari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang  kemudian  mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiyahnya di kemudian hari. Hal ini terlihat dari karya-karyanya yang dibuat dalam berbagai bidang dalam ilmu pengetahuan. Dalam ilmu kalam Al-Ghazali menulis buku berjudul Ghayah al-Maram fi Ilm al-Kalam (Tujuan mulia dari llmu kalam). Dalam bidang tasawuf dan fiqh ia menulis buku Ihya’ Ulum ad-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), dalam ilmu hukum Islam ia menulis kitab al-Musytasyfa’ (Yang menyembuhkan), dan Dallam ilmu filsafat ia menulis Maqasid al-falasifah (Tujuan dari Filsafat) dan Tahafut al-Falasifah (Kerancauan dari Filsafat).[10]
Karena demikian banyak keahlian yang secara prima dikuasai al-Ghazali, maka tidaklah mengherankan jika kemudian ia mendapatkan bermacam gelar yang mengharumkan namanya, seperti gelar hujjah al-Islam (Pembela islam), Syaikh al-Sufiyyin (Guru besar dalam tasawuf), dan Imam al-Murabbin (Pakar bidang pendidikan). Selama tinggal di Baghdad, al-Ghazali meniti karir Akademiknya hingga mencapai kesuksesan, dan mengantarkannya menjadi seorang tokohterkenal di saentero Irak  dan selama 4 tahun, ia mengajar sekitar 300-an siswa-ulama.[11]
Di antara karya-karya al-Ghzali adalah al-Basith, al-Waqiz, Khulasah ‘ilm Fiqh, al-Munqiz fi ‘ilm al-Jadal, Ma’khaz al-Kalam, Lubab al-NNazar, Tahsin al-Ma’akhidz, dan Mawwad wa al-Ghayat fi fan al-Khalaj. Dan ditambah lagi pemikiran pendidikan al-Ghazali dalam tiga buku kaangannya, yaitu Fatihah al-Kitab, Ayyuh al- Walad, Ihya’ ‘Ulumuddin.[12]
Maqasid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah merupakan dua karya fenomenal al-Ghazali dalam bidang filsafat, hal ini menujukan penguasaannya dalam bidang filsafat. Dua kitab pemikiran filsafat tersebut sebenarnya bertujuan untuk menunjukan berbagai kesesatan atau inkoherensi dalam filsafat itu sendiri. reputasinya di bidang filsafat ini menembah tenar popularitasnya, sebab ketika itu belum pernah ada seorang teolog pun yang mampu menghantam pemikiran para filosof dengan dengan senjata mereka sendiri. dalam pada itu, kendati al-Ghazali tampak banyak mencurahkan perhatiannya pada filsafat, ia masih tetap mendalami bidang fiqh dan kalam bahkan juga menghasilkan karya-karya berkualitas dalam bidang-bidang yang lainnya.[13]   
Namun disaat popularitasnya sedang melangit dan mencaapai keemasan puncak, al-Ghazali secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad beserta dengan segala ketenaran, kemewahan, bahkan keluarganya. Hal ini terjadi pada tahun 1095-1097. selama dua tahun al-Ghazali mencoba menjalani disiplin Asketik (Ajaran teologi mengenai akhir zaman seperti hari kiamat, kebangkitan segala manusia, dan surga) serta menjalankan praktik keagamaan yang sangat keras di salah satu menara masjid Umayyah di Damaskus. Selai itu al-Gazali juga melakukan pengembaraan di berbagai tempat, terutama tempat keramat dan masjid-masjid, padang pasiir ttandus, bahkan ia dilaporkan telah mengunjungi pula Kairo dan Aleksandria.[14]  
Setelah ia mencapai tingkat tertinggi dari realitas spiritual, al-Ghazali merenungkan dekadensi moral dan religius pada masyaakat muslim kala itu, dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke masyarakat lebih-lebih ada permintaan langsung dari wazir Saljuk Fakr al-Mulk. Tidak lama di Nisabur (3 Tahun) al-Ghazali kembali ke rumahnya di Tus. Dia menulis otobiografinya, al-Munqiz, dan sebuah karya tentang teori hukum, al-Mustasfa di Tus, kemudia ia mendirikan madrasah bagi pengkaji ilmu-ilmu religius, dan Khanaqah bagi para sufi. Setiap saat diisi dengan belajar, mengajar, dan pencerahan hingga ia wafat.[15]

C.    Pemikiran pendidikan Al-Ghazali
SISTEM PENDIDIKAN al-Ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga ia dijuluki filosof yang ahli tasawuf (Failusuf al-Mutasawwifin)[16]. Sehingga bisa ditarik sebuar deskripsi bahwa dua corak ilmu yang telah berpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam system pendidikannya. Oleh karena itu sebelum kami memaparkan bagaimana komponen-komponen dalam system pendidikan Al-Ghazali, ada baiknya kami utarakan sedikit Aksiologi Filsafat ilmu Al-Ghazali. Ada beberapa kaidah/prinsip dalam penerapan ilmu dan praksisnya, antara lain adalah :
a.       Prinsip Obyektivitas-kontekstualitas
b.      Prinsip Ilmu untuk amal untuk kebahagiaan
c.       Prinsip prioritas
d.      Prinsip Proporsionalitas
e.       Prinsip tanggungjawab moral dan profesional
f.       Kerjasama ilmu-politik dan ilmu-birokrat[17]
Dari prinsip-prinsip ilmu tersebut, nantinya tentu akan berpengaruh terhadap system pemikiran Al-Ghazali dalam menyikapi pendidikan Islam, Ciri khas sistem pendidikan al-Ghazali sebenarnya terletak pada pengajaran moral religius dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.[18]

1.      Peranan pendidikan
Menuru Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Ghazali termasuk ke dalam golongan sufistik yang banyak menaruh perhatian besar terhadap pendidikan, karena pendidkan banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa. [19]
Sementara itu H.M. Arifin, seorang guru besar dalam bidang pendidikan mengatakan, bila  dipandang dari segi filosof, al-Ghazali adalah penganut paham idealisme[20] yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme[21]. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantng kepada orang tua yang mendidiknya. Seorang anak hatinya bersih dari gambaran apapun. Jika anak menerima ajaran dan kebiasaanh hidup yang baik, maka ia akkan baik. Sebaliknya jika anak dibiasakan perbuatan buruk dan jahat, maka ia akan berakhlak jelek.[22] Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah SAW yang menegaskan :
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه او يمجسانه
Setiap anak yang dilahirkan dalam kedaan bersih, kedua orang tualah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi,  Nasrani, atau Majusi.
(H.R. Muslim)

Sejalan dengan hadist tersebut, al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk, dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahad, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan ini didasarkan kepada pengalaman hidup al-Ghazali sendiri, yaitu sebagai orang yang tumbuh mnejadi ulama besar yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan.[23] 

2.      Tujuan Pendidikan
Setelah menjelaskan peranan pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan tujuan pendidikan. Menurutnya, Tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan.[24]
Rumusan tujuan pendidikan yang demikian itu sejalan dengan firman Allah SW tentang penciptaan manusia, yaitu ;
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S. Al-Dzariyat : 56)

Bagi al-Ghazali, yang dikatakan orang yang berakal adalah sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuuan akhirat, sehingga derajatnya lebih tinggi di hadapan Allah dan lebih kebahagiaanya i akhirat. Ini menunjukan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.[25] Hal ini dipahami al-Ghazali berdasarkan isyarat al-Qur’an :
4... $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ  
“Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
(Q.S. al-Hadid : 20)
äotÅzEzs9ur ׎öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$# ÇÍÈ  
“Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) [26] (Q.S. al-Dhuha : 4)

Ahmad Syar’i menambahkan tujuan pendidikan bagi al-Ghazali, menurutnya, tujuan pendidikan menurut al-Ghazali di bagi dalam dua tujuan, yaitu ; jangka pendek dan jangka penjang. Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemempuannya. Syarat mencapai tujuan itu, manusia harus memanfaatkan den mengembagkan ilmu pengetahuan sesuai dengan bakatnya.[27]   
Berhubungan dengan tujuan jangka pendek ini, al-Ghazali menyinggung masalah pangkat, keduudukan, kemegahan, popularitas, dan kemuliaan dunia secara naluri. Semua itu bukan menjadi tujuan dasar seseorang yang melibatkan dari dalam dunia pendidikan.
Adapun tujuan pendidikan (jangka panjang), menurut al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan, kegagahan, atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Jika tukang pendidikan bukan diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan.[28]    

3.      Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan mencapai tujuan sebagaimana disebut di atas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri tersebut adalah :
a)     Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
b)     Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai “tujuan utama” dari pekerjaannya (mengejar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Muhammad Saw. sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknaya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c)     Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau untuk mencapai keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
d)    Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bbermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
e)     Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, berjiwa halus, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpunyi lainnya.
f)      Guru harus mengajarkan pelajran yang sesuai dengan dengan intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
g)     Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak didiknya.
h)     Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
i)       Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didiknya tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.[29]     
Jika tipe ideal yang dikehendaki al-Ghazali tersebut di atas di lihat dari perspektif guru sebagai profesi nampak diarahkan pada aspek moral dan kepribadian guru, sedangkan aspek keahlian, profesii, dan penguasaan materi yang diajarkan dan materi yang harus dikuasainya nampak kurang diperhatikan. Hal ini dapat dimengerti, karena paradigma (cara pandang) yang digunakan untuk menentukan guru sebagai figure sntral, idola, bahkan mempunyai kekuatan spiritual, dimana sang murid sangat bergantung kepadanya.
Dengan posisi seperti ini nampak guru memegang peranan penting dalam pendidikan. Hal ini mungkin kurang sejalan lagi dengan dengan pola dan pendidikan yang diterapkan pada masyarakat modern saat ini. posisi guru dalam pendidikan modern saat ini bukan merupakan satu-satunya agen ilmu pengetahuan dan informasi, karena ilmu pengetahuan dan informasi sudah dikuasai bukan hanya oleh guru, malainkan oleh peralatan teknologi penyimpan data dan sebagainya. Guru pada masa sekarang lebih dilihat sebagai fasilitator, pemandu, atau narasumber yang mengerahkan jalannya proses belajar mengajar.[30]   
Abunin Nata secara tegas memaparkan idealitas guru yang menjadi harapan bagi al-Ghazali di zaman sekarang. Tipe ideal guru yang dikemukakan al-Ghazali yang demikian sarat dengan norma akhlak itu, masih dianggap relevan jika tidak dianggap hanya itu satu-satunya model. Melainkan juga harus dilengkapi dengan persyaratan akademis dan profesi. Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan keperibadian sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan  dilengkapi dengan persyaratan akademis serta professional.[31]       

4.      Murid
Dalam persoalan murid ini, Abudin Nata juga mengutipkan dalam kitab At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha karya Muhammad Athiyyah al-Abrasi.  Baginya, Sejalan dengan prinsip bahwa manuntut ilmu pengetahuan itu merupakan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka  bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut :
a)     Memuliakan guru dan sikap rendah hati aau tidak takabbur. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan tinggi, dan bimbingan dari guru.
b)     Merasa satu bangunan dengan murid yang lainnya, sehingga merupakan satu bangunan dengan murid yang lainnya yang saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang.
c)     Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan pikiran.
d)    Tidak hanya mempelajari satu jenis ilmu yang bermanfaat saja, melainkan berbagai ilmu dan berupaya bersungguh-sungguh sehingga mencapai tujuan dari tiap ilmu tersebut.[32]  
Ciri-ciri murid yang demikian masih nampak juga adanya perspektif tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri tersebut untuk masa sekarang tentu masih perlu ditambahkan dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreativitas dan kegairahan dalam belajar. 

5.      Kurikulum
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan, ia membagi ilmu pengetahuan ke dalam tiga bagian, yaitu ; ilmu yang terlarang/tercela dan ilmu yang terpuji serta ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam. [33]
a)     Ilmu yang tercela, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, azimat, nujum, dan ilmu perdukunan atau tentang ramalan nasib. Bila dipelajari akan membawa mudharat dan meragukan kebenaran adanya Tuhan.
b)     Ilmu yang terpuji, yaitu ilmu tauhid dan ilmu agama atau ibadah. Baik sedikit ataupun banyak, lebih terpuji jika banyak, ilmu ini terpuji secara mutlak karena akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dan mendekatkan diri kepada Allah.
c)     Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, tetapi jika mendalaminya tercela, karena ilmu ini dapat membawa kepada keguncangan iman dan ilhad (meniadakan tuhan) seperti ilmu filsafat, terutama pada filsafat Naturalisme[34]. Menurut al-Ghazali, ilmu-ilmu tersebut jika diperdalam akan menimbulkan kekacauan pikiran dan keraguan, dan ahirnya cenderung mendorong manusia kepada kufur dan ingkar.[35] 
Dari segi kepantingannya, al-Ghazali membagi lagi ilmu menjadi dua kelompok, yaitu :
(1)  Ilmu yang wajib (fardhu ‘ain), yang wajib di pelajari oleh setiap individu, yakni ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitab Allah.  
(2)  Ilmu yang  fardhu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Jika sampai tidak tidak seorang pun diantara kaum muslimin dalam kelompoknya mempelajari ilmu yang dimaksud, maka mereka akan berdosa. Diantara ilmu yang tergolong  fardhu kifayah adalah ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian, pertenunan, politik, pengobatan tradisional, dan jahit menjahit.[36]  Dari pembagian tersebut, sangat tampak jika kurikulum pendidikan Al-Ghazzali adalah fiqqih bercorak sufistik dan pendekatan manfaat, ada kecondongan pada paham okosionalistik sebagaimana pandangan mayoritas teolog Sunni.

  1. Metode dan media
Mengenai metode dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajran. Metode pengajaran tidak boleh monoton demikian media atau alat pengajaran. 
Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat pendapat al-Ghazali tentang metode dan media pengajaran. Untuk metode, misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, penddidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media/alat yang digunakan dalam pengajaran, beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman (reward and punisment), disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia.[37]
Adapun pengklasifikasiannya, Al-Ghazali membagi metode pendidikan ke dalam dua bagian:
Petama, metode khusus pendidikan Agama, metode khusus pendidikan agama ini memiliki orientasi kepada pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan pendidkan umum lainnya, karena pendidikan agama menyangkut problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan personality peserta didik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Zakiyyah Derajat bahwa : pembinaan agama dalam arti pembinaan keperibadian sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan.[38]
Kedua, metode khusus pendidikan Akhlaq, al-Ghazali mengungkapkan : “sebagaimana dokter, jikalau memmberikan pasiennya dengan satu macamm obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukan jalankepada muridnya dengan xati macam jalan saja dari latihan,  niscaya membinasakan hati mereka. Akan tetapi seyogyanyalah memperhatikantentang penyakit murid, tentang keadaan murid, sifat tubuhnya, dan latihan apa yang disanggupinya. Berdasarkan yang demikian itu, dibina dilatih”[39]
Dari keterangan di atas, al-Ghazali menerangkan bahwa untuk membuat diagnosis dan melakukan perbaikan (modification) akhlak tercela anak adalah dengan menyuruhnya dengan melakukan perbuatan sebaliknya. Layaknya bila badan sakit, obatnya ialah dengna cara menurunkan panas atau obatnya ialah dengan membuang penyakit itu.
 
  1. Proses pembelajaran
Mengenai proses pembelajaran, al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh upaya tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin sehingga dapat menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang hidup penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberikan materi pengajaran yang justru merusak aqidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaranyang dapat mengarahkan kepada akhlak mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada tahap pertama adalah ilmu agama dan syari’at, terutama al-Qur’an.[40]

D.    Penutup/Kesimpulan
  Sebagaimana pembahasan sebelumnya,  Sistem pendidikan al-Ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga ia dijuluki filosof yang ahli tasawuf (Failusuf al-Mutasawwifin). Sehingga bisa ditarik sebuar deskripsi bahwa dua corak ilmu yang telah berpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam system pendidikannya.
Saripati filsafat penndidikan Ghazali adalah bahwa Islam merupakan suatu realitas yang harus menjadi acuan bagi kesesuaian realitas hidup ; realitas (Islam) adalah suatu standard an criteria yang menjadi tujuan akhir bagi bangkitnya diri seseorang. Standar kriteria tersebut tidak akan menampung manusia. Filsafat pendidikannya bukan hanya suatu persiapan di dalam hidup (sekarang),tetapi juga untuk hidu di akhirat, bukan hanya satu peran serta dalam hidup ini, tetapi juga untuk menjadi suatu upaya mencari kehidupan yang abadi dengan segala keagungan yang menyertainya.
Seorang yang yang dididik dalam aturan-aturan Ghazali adalah orang yang tidak hanya melakukan kesatuan nikmat pendangan dan emosi dengan kumpulan masyarakat kaum mukminin, tetapi juga mencapai keunikan pandangan dan kehebatan merasakan sebagai suatu hasil dari perkembangan yang harmonis dalam kepribadiaannya. Dia (Ghazali) adalah seorang yang jujur, berpikir disiplin, jiwanya bersih shaleh, dan bercahaya. Dia diilhami oleh Tuhan, “mabuk” karena Tuhan, dan bekerja bersama dengan Tuhan. Dengan demikian kehadirannya menjadi berkah bagi semuanya (terutama umat Islam).
Sebagai apresiasi integritas terhadap aturan-aturan yang telah diungkapkan oleh al-Ghazali di atas, pada kesempatan akhir makalah ini ada baiknya jika kita menukil simpulan dari kutiban Abudin Nata terhadap Muhammad Munir Mursi, sebuah usulan al-Ghazali terhadap beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah, antara lain :
1.      Ilmu al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqh, hadis dan tafsir.
2.      sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj secara lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu Ilmu agama.
3.      ilmu-ilmu fardhu kifayah , yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
4.      ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.[41]

Jika diamati secara seksama, nampak al-Ghzali menggunakan dua pendekatan dalam membagi ilmu pengetahuan. Pertama, pendekatan fiqh yang melahirkan pembagian ilmu pada yang wajib dan fardhu kifayah. Kedua, pendekatan tasawuf (akhlak) yang melahirkan pembagian ilmu pada yang terpuji dan tercela. Hal ini akan semakin jelas jika dihubungkan dengan tujuan pendidiikan tersebut di atas. Yaitu pendekatan diri pada Allah. 
Dari keseluruhan pendekata uraian tersebut dapat di simpulkan, bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang menaruh perhatian cukup tinggi terhadap pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak selain sistematis, komperhensif juga secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadian sebagai seorang sufi.
Konsep pendidika al-Ghazali tersebut merupakan aplikasi dan responsasi dari  jawabannya terhadap permasalahan social kemasyarakatan yang dihadapinya saat itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang nampak sebagian masih ada yang sesuai dan sebagian yang lainnya ada yang perlu disempurnakan. Itulah watak hasil pemikiran manusia yang selalu menuntut penyempurnaan.
Demikianlah sajian makalah kami ini, semoga menjadi kesegaran tersendiri di pagi hari dengan ditemani kehadiran al-Ghazali hujah al-Islam di tengah-tengah forum tafakkur  wa tadabbur kita. Kurang sempurnanya makalah ini adalah batu loncatan –untuk tidak mengatakan tanggung jawab– kita semua. Wallahu A’lam

***

  

PENDAMPING MAKALAH
Al-Ghazali, 2003, Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat), Achhmad Maimun (penj.), Yogyakarta:  Islamika
Abud, Abd. Ghani, 1982,  Al-Fikr al-Tarbawi ‘inda al-Ghazali, Beirut : Dar al-Fikr
Al-Syaibany , Omar Muhammad Al-Toumy, 1979, Falsafah Penndiidikan Islam, Hasan Langgulung (penj.), Jakarta : Bulan Bintang
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, tt., Al-Tarbiyah fi Islam, Mesir : Dar al-Misriyyah.
Anwar, Saeful, 2007, Filsafat Ilmu Al-Ghazali (Dimensi Ontologi, dan Aksiologi), Bandung : Pustaka Setia.
Arifin, H.M., 1991, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Khan , Syafique Ali, 2005, FilsafatPendidikan Al-Ghazali :Gagasan, Konsep, Teori, dan Filsafat Ghazali Mengenai Pendidikan, Pengetahuan dan Belajar, Bandung : CV Pustaka Setia
Nasution, Harun, 1978, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Nata, Abudin, 2005, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), Jakarta : Gaya Media Pratama
Ramayulis & Samsul Nizar, 2009, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta : Kalam Mulia
Sibawaih, 2008, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur rahman, Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer, Yogyakarta : Islamika
Sulaiman, Fathiyah Hasan, 1986, System Pendidikan Versi al-Ghazali, Bandung : PT. al-Ma’arif.
Said, Jalaludin Usman, 1994, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Shaleh, A. Khhairuddin, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Syar’i, Ahmad, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus.


[1] Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat), Achhmad Maimun (penj.), (Yogyakarta:  Islamika, 2003), hlm. xxx 
[2] Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Penndiidikan Islam, Hasan Langgulung (penj.), (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 33
[3] Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009), hlm. 4
[4] Syafique Ali Khan, FilsafatPendidikan Al-Ghazali :Gagasan, Konsep, Teori, dan Filsafat Ghazali Mengenai Pendidikan, Pengetahuan dan Belajar, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2005), hlm. 9
[5] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali (Dimensi Ontologi, dan Aksiologi), (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 50
[6] Istilah ini (Ghazzal) juga salah satu penyebab ia dijuluki al-Ghazzali. Lihat. A. Khhairuddin Shaleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 80
[7] Ibid. hlm. 50-51
[8] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 209
[9] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005) hlm. 96
[10] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978) hlm. 43
[11]Sibawaih, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur rahman, Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer, (Yogyakarta : Islamika, 2008), hlm. 37
[12] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, ... hlm. 98
[13] Ibid, hlm. 38
[14] Tentang tempat-tempat yang dikunjungi al-Ghazali, tidak ada kepastiian, kecuali dua tahun pertama di Syria. Lihat M. Saeed, Syeikh, Al-Ghazali :Methaphysics, A History of Muslim Philosophy. 586.   
[15] Sibawaih, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur rahman, ... , hlm. 46
[16] Abd. Ghani Abud, Al-Fikr al-Tarbawi ‘inda al-Ghazali, (Beirut : Dar al-Fikr, 1982), hlm. 47
[17] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali (Dimensi Ontologi, dan Aksiologi), …, hlm. 332
[18] Fathiyah Hasan sulaiman, System Pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung : PT. al-Ma’arif, 1986),hlm. 24
[19] Ahmad Fuad  al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi Islam, (Mesir : Dar al-Misriyyah, tt.), hlm. 234
[20] Idealisme termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh aliran ini adalah Plato (427-347 SM), aliran ini menekankan moral dan realitas spiritual sebagai sumber-suber utama di alam ini. dalam pendidikan Islam, Paham Idealisme mengutamakan atau bertitik tolak pada kkemutlakan roh dan mengabaikan hal-hal yang bersifat materi (Fisik), sehingga dapat tercapai kehidupan yang seimbang, baik keseimbanagn antara roh dan jasad, keseimbanagn antara materil dan spiritual, keseimbangan anatar individu dan masyarakat, serta keseimbangan dunia dan ukhrawi.  Lihat di Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009), hlm. 17
[21] Empirisme : teori yang berdasarkan pada pengalaman (terutama yg diperoleh dr penemuan, percobaan, pengamatan yg telah dilakukan)
[22] Ahmad Syar’i, Filsafat pendiddikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 98
[23] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 212
[24] Ibid.
[25] Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009), hlm. 273
[26] Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ula dengan arti kehidupan dunia.
[27] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005) hlm. 98-99
[28] Ibid, hlm. 99
[29] H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hlm 103-104
[30] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ...., hlm. 215
[31] Ibid.
[32] Ibid. hlm. 215-216
[33] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, .... hlm. 100;  Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, …. hlm. 273 ; Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ...., hlm. 216
[34] Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam.
[35] Jalaludin Usman said, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994),hlm. 142-143
[36] Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,….  hlm. 275
[37] Ibid. hlm, 278-279
[38] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005) hlm. 101
[39] Ibid.
[40] Fathiyah Hasan Sulaiman, system pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung : PT. al-Ma’arif, 1986),hlm. 24
[41] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar